Oleh: Alfa RS
Tahun baru telah dimulai, gundah gelisah kembali merasuk dada, pening, penat, pusing memenuhi tengkorak kita. ‘Budaya aneh’ dan ‘jadi-jadian’ semakin menjelma dalam aktivitas kita. Sudah siapkah, mampukah, sanggupkah kita menjalaninya?
Genderang perang telah bergemuruh di sudut-sudut kehidupan, memekik kala pagi dan petang, meraung di bawah teriknya matahari dan sendunya rembulan. Perang yang sebenarnya. Perang yang mengajak kita raup ribuan kenikmatan, walau kadang kita tidak sadar. Perang antara jiwa dan raga. Perang antara nafsu dan hati kita.
Kita tentu masih ingat dengan jelas ketika sanak famili, teman, kerabat-kerabat kita melambaikan salam perpisahan di ujung desa, terminal, stasiun, atau bahkan bandara. Betapa kita tahu tatapan harapan mereka tentang kita, harapan ketika kita pulang. Harapan setiap orang tua pada anaknya, harapan anak pada orang tuanya. Kita masih sadar apa yang kita emban, mengerti yang kita cari, ingat akan asa kita, visi, misi kita berkelana meninggalkan kampung tercinta. Namun… entahlah.
Setiap orang pasti berkeinginan berubah untuk lebih baik, jaya, berprilaku baik, namun dalam praktiknya sedikit sekali yang mampu, contoh, para pelajar. Tentu kita mau diberi kepandaian, pergaulannya baik dan giat berkarya. Namun faktanya, berapa persen pelajar yang nggak hobi sama belajar, malas berdiskusi, bahkan lebih parah lagi ada yang sukanya hanya nongkrong, meninggalkan pelajaran sekolah. Coba kita renungkan, benarkah kalau kita seperti itu?
Kaum pelajar, yang katanya penampuk masa depan bangsa, pengganti para tokoh ternama, kandidat figur bangsa, golongan yang mendahulukan kepentingan bersama, mestinya mempunyai nilai plus mulai dari sekarang. Baik itu masalah perut, persoalan dagu ataupun ‘lutut’. Bukan sebaliknya, mengisi perut dengan yang bukan haknya. Meletakkan dagu bukan pada tempatnya, melangkahkan kaki tak tentu arah. Masa pelajar terlibat pencurian, apalagi berbuat asusila, keterlaluan.
Teman, ini abad modern, era yang menuntut kita agresif, cekatan dalam segala bidang. Terutama masalah bekal kita di hari esok, pendidikan.
Sebenarnya, kekurangan kita adalah, seperti kata mas Aristoteles bahwa pengasahan otak tanpa adanya pengarahan hati tidak ada artinya sebuah edukasi. Kita harus sadar akan pentingnya sebuah hati. Kalau saya pernah mendengar kata pak Ustad, “baginda Nabi mengutarakan tidak ada artinya segala sesuatu tanpa didasari peranan hati, sebuah niat. Dalam diri kita ada se-onggok daging yang apabila ia baik kita pun baik, namun kalau ia rusak kita pun sama, rusak.” Itu ingatan elpe. Sekarang, masihkah kita sadar kita ini berhati.
Wahai yang sedang dinanti keluarga, mumpung masih awal tahun, selagi masih ada waktu, mari kita sama-sama merenung, menyadari kembali visi dan misi kita. Mengingat-ingat asa dan cita. Menemukan arti pelajar, orang tua, anak, yang sebenarnya. Kita tentu tahu pula, seperti kata Pak Ustad juga, “Tuhan tidak memperhitungkan jasad kita namun melihat hati kita.” Mari, kita sama-sama waspada, gunakan hati untuk menjelajah pikiran kita.
So, hati-hati dengan hatimu. He...he…he…
Tahun baru telah dimulai, gundah gelisah kembali merasuk dada, pening, penat, pusing memenuhi tengkorak kita. ‘Budaya aneh’ dan ‘jadi-jadian’ semakin menjelma dalam aktivitas kita. Sudah siapkah, mampukah, sanggupkah kita menjalaninya?
Genderang perang telah bergemuruh di sudut-sudut kehidupan, memekik kala pagi dan petang, meraung di bawah teriknya matahari dan sendunya rembulan. Perang yang sebenarnya. Perang yang mengajak kita raup ribuan kenikmatan, walau kadang kita tidak sadar. Perang antara jiwa dan raga. Perang antara nafsu dan hati kita.
Kita tentu masih ingat dengan jelas ketika sanak famili, teman, kerabat-kerabat kita melambaikan salam perpisahan di ujung desa, terminal, stasiun, atau bahkan bandara. Betapa kita tahu tatapan harapan mereka tentang kita, harapan ketika kita pulang. Harapan setiap orang tua pada anaknya, harapan anak pada orang tuanya. Kita masih sadar apa yang kita emban, mengerti yang kita cari, ingat akan asa kita, visi, misi kita berkelana meninggalkan kampung tercinta. Namun… entahlah.
Setiap orang pasti berkeinginan berubah untuk lebih baik, jaya, berprilaku baik, namun dalam praktiknya sedikit sekali yang mampu, contoh, para pelajar. Tentu kita mau diberi kepandaian, pergaulannya baik dan giat berkarya. Namun faktanya, berapa persen pelajar yang nggak hobi sama belajar, malas berdiskusi, bahkan lebih parah lagi ada yang sukanya hanya nongkrong, meninggalkan pelajaran sekolah. Coba kita renungkan, benarkah kalau kita seperti itu?
Kaum pelajar, yang katanya penampuk masa depan bangsa, pengganti para tokoh ternama, kandidat figur bangsa, golongan yang mendahulukan kepentingan bersama, mestinya mempunyai nilai plus mulai dari sekarang. Baik itu masalah perut, persoalan dagu ataupun ‘lutut’. Bukan sebaliknya, mengisi perut dengan yang bukan haknya. Meletakkan dagu bukan pada tempatnya, melangkahkan kaki tak tentu arah. Masa pelajar terlibat pencurian, apalagi berbuat asusila, keterlaluan.
Teman, ini abad modern, era yang menuntut kita agresif, cekatan dalam segala bidang. Terutama masalah bekal kita di hari esok, pendidikan.
Sebenarnya, kekurangan kita adalah, seperti kata mas Aristoteles bahwa pengasahan otak tanpa adanya pengarahan hati tidak ada artinya sebuah edukasi. Kita harus sadar akan pentingnya sebuah hati. Kalau saya pernah mendengar kata pak Ustad, “baginda Nabi mengutarakan tidak ada artinya segala sesuatu tanpa didasari peranan hati, sebuah niat. Dalam diri kita ada se-onggok daging yang apabila ia baik kita pun baik, namun kalau ia rusak kita pun sama, rusak.” Itu ingatan elpe. Sekarang, masihkah kita sadar kita ini berhati.
Wahai yang sedang dinanti keluarga, mumpung masih awal tahun, selagi masih ada waktu, mari kita sama-sama merenung, menyadari kembali visi dan misi kita. Mengingat-ingat asa dan cita. Menemukan arti pelajar, orang tua, anak, yang sebenarnya. Kita tentu tahu pula, seperti kata Pak Ustad juga, “Tuhan tidak memperhitungkan jasad kita namun melihat hati kita.” Mari, kita sama-sama waspada, gunakan hati untuk menjelajah pikiran kita.
So, hati-hati dengan hatimu. He...he…he…