-->

Politik-politikan

Oleh Alfa RS

Kata politik tentunya seringkali terdengar. Terlebih jika masa pemilihan kepala sebuah instansi atau organisasi tiba, termasuk seperti kemarin, saat Gerakan Pemuda (GP) Ansor menyelenggarakan Kongres Ke-14 di Surabaya yang salah satu agendanya memilih sang ketua untuk masa bakti 2011-2016. Nusron Wahid, politikus asal Kudus, akhirnya terpilih menggantikan Saifullah Yusuf menempati posisi Ketua GP Ansor.

Kata Iwan Fals, ”Dunia politik penuh dengan intrik, cubit sana cubit sini, itu sudah lumrah”. Namun, apasih politik itu dan benarkan seperti yang didendangkan Bang Iwan? Semoga tulisan singkat ini sedikit memberi pengetahuan dan bermanfaat suatu saat.

Politik?
Pernah terbersit, adakah Kang Santri yang ingin menekuni dunia politik? Atau setidaknya mereka mengerti lebih jauh tentang politik, sehingga pada akhirnya tidak terjerat dalam kubangan ’politik haram’?

Mungkin jawaban pertanyaan itu adalah tidak. Karena memang saat ini, akibat ulah politikus, politik sering dikonotasikan jelek atau tidak bermoral. Tapi yang jadi pertanyaan, haruskah masyarakat pesantren berpolitik?

Jawabannya, tentulah terserah mereka. Karena selain penulis tidak berhak menghakimi, tentunya mereka lebih mengerti akan apa yang terbaik bagi mereka kelak. Terlebih, tentulah mereka paham pesan Nabi Muhammad untuk meninggalkan sesuatu yang masih diragukan, da’ maa yaribuka, ila ma laa yaribuka.

Definisi politik sendiri sebenarnya sangat beragam. Pakar ilmu politik banyak memberikan arti sesuai dengan pemahaman mereka akan praktik politik itu sendiri. Kata sebagian orang sekolahan, secara etimologis, politik berasal dari kata Yunani polis yang berarti kota atau negara kota. Sedang kalau kata aktivis Bahtsul Masail, kata ’politik’ yang dalam Bahasa Arab disebut ’as-siyasah’, berasal dari kata saasa-yasuusu-siyasatan, mempunyai makna mengurus atau mengatur kepentingan orang.

Maka kalau boleh penulis coba simpulkan, politik adalah sebuah metode atau cara untuk memperjuangkan kesejahteraan umum sebuah komunitas. Dengan pemahaman seperti ini, kiranya dua definisi di atas dapat saling melengkapi. Politik adalah sebuah kegiatan mengurus orang lain dan hal itu tidak mungkin dapat dilakukan tanpa adanya bangunan kota atau Negara. Karena jika tidak, tentulah kehidupan sebuah komunitas (bangsa) akan tidak tertata. Atau dalam bahasa kasarnya, hukum rimbalah yang akan berlaku dalam komunitas tersebut.

Bahaya Politik Praktis
Sesuai hukum alam, setiap sesuatu pastilah berdampak. Atau bisa dikatakan, ada sebab dan akibat. Begitupun dengan politik, terlebih politik praktis. Ketika seseorang telah terjerembab dalam kubangannya, pastinya hal itu akan mengakibatkan beberapa hal. Namun sebelum kita membahasnya, ada baiknya kita ketahui dulu politik praktis.

Definisi politik yang penulis kemukakan adalah pengertian yang paling umum. Sebenarnya, ketika mendefinisikan politik, para pakar tidak akan terlepas dari kisaran politik praktis. Seperti ungkapan Miriam Budiarjo; politik adalah bermacam-macam kegiatan dalam suatu sistem politik atau Negara yang menyangkut proses menentukan tujuan-tujuan sistem itu dan melaksanakan tujuan-tujuan itu.

Tidak jauh beda dengannya, Tim Balai Pustaka Nasional memberikan pengertian politik sebagai (pengetahuan) mengenai ketatanegaraan atau kenegaraan (seperti tentang sistem pemerintahan, dasar pemerintahan); Segala urusan dan tindakan (kebijakan, siasat, dsb) mengenai pemerintahan negara atau terhadap negara lain; Cara bertindak (dalam menghadapi atau menangani suatu masalah).

Maka sudah dipastikan, dunia politik adalah tempat di mana seluruh kepentingan saling bersaing, bahkan konflik. Di dalamnya banyak terdapat kemungkinan dan kesempatan, menyalurkan kreatifitas lewat undang-undang, semisal. Tetapi, kubangan politik juga penuh halangan dan kendala. Karena tentunya dalam mengelola berbagai kepentingan yang saling bertabrakan tidaklah mudah.

Belum lagi, jika kita perhitungkan bahwa seorang politisi tentunya mempunyai harapan dan kepentingan sendiri. Karena sebagai manusia biasa, politisi juga butuh makan dan suka mobil mewah. Apalagi kalau masyarakat sekitar sudah melihat pangkat politisi-nya seseorang, dia tentunya akan dimintai lebih ketika musim proposal beredar. Dan dengan alasan tersebut, seorang politisi terkadang mau untuk menerima ’uang jajan’.

Landasan Politik NU
Ketika membicarakan masyarakat pesantren, tentu tidak akan lepas dari Nahdlatul Ulama (NU). Sebagai organisasi kemasyarakatan yang bertujuan menjaga Islam ala ahlu sunnah wal jamaah tetap tegar, NU juga memberikan rel-rel bagi anggotanya agar dalam menapaki arus politik tidak tersangkut hal-hal yang tidak diinginkan. Karena mau tidak mau, NU menyadari harus adanya kader mereka yang dipasang di bawah ’gawang senayan’.

Mungkin dengan latar belakang tersebut, NU merealisasikannya dengan mengeluarkan Sembilan butir Pedoman Berpolitik Warga NU yang dicetuskan dalam Muktamar NU XVIII di Krapyak Yogyakarta tahun 1989: kesembilan pedoman itu adalah; Satu, berpolitik bagi Nahdlatul Ulama mengandung arti keterlibatan warga negara dalam kehidupan berbangsa dan bernegara secara menyeluruh sesuai dengan Pancasila dan UUD 1945.

Dua, politik bagi Nahdlatul Ulama adalah politik yang berwawasan kebangsaan dan menuju integritas bangsa dengan langkah-langkah yang senantiasa menjunjung tinggi persatuan dan kesatuan untuk mencapai cita-cita bersama, yaitu terwujudnya masyarakat yang adil dan makmur lahir dan batin dan dilakukan sebagai amal ibadah menuju kebahagiaan di dunia dan kehidupan di akhirat.

Tiga, politik bagi Nahdlatul Ulama adalah pengembangan nilai-nilai kemerdekaan yang hakiki dan demokratis, mendidik kedewasaan bangsa untuk menyadari hak, kewajiban, dan tanggung jawab untuk mencapai kemaslahatan bersama.

Empat, berpolitik bagi Nahdlatul Ulama haruslah dilakukan dengan moral, etika, dan budaya yang ber-Ketuhanan Yang Maha Esa, ber-Kemanusiaan yang adil dan beradab, menjunjung tinggi Persatuan Indonesia, ber-Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmah kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan dan ber-Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.

Lima, berpolitik bagi Nahdlatul Ulama haruslah dilakukan dengan kejujuran nurani dan moral agama, konstitusional, adil, sesuai dengan peraturan dan norma-norma yang disepakati serta dapat mengembangkan mekanisme musyawarah dalam memecahkan masalah bersama.

Enam, berpolitik bagi Nahdlatul Ulama dilakukan untuk memperkokoh konsensus-konsensus nasional dan dilaksanakan sesuai dengan akhlaq al karimah sebagai pengamalan ajaran Islam Ahlussunah Waljamaah.

Tujuh, berpolitik bagi Nahdlatul Ulama, dengan dalih apa pun, tidak boleh dilakukan dengan mengorbankan kepentingan bersama dan memecah belah persatuan.

Delapan, perbedaan pandangan di antara aspirasi-aspirasi politik warga NU harus tetap berjalan dalam suasana persaudaraan, tawadlu’ dan saling menghargai satu sama lain, sehingga di dalam berpolitik itu tetap terjaga persatuan dan kesatuan di lingkungan Nahdlatul Ulama.

Sembilan, berpolitik bagi Nahdlatul Ulama menuntut adanya komunikasi kemasyarakatan timbal balik dalam pembangunan nasional untuk menciptakan iklim yang memungkinkan perkembangan organisasi kemasyarakatan yang lebih mandiri dan mampu melaksanakan fungsinya sebagai sarana masyarakat untuk berserikat, menyatukan aspirasi serta berpartisipasi dalam pembangunan.

Dengan sembilan dasar tersebut, menurut penulis, diharapkan jika terlahir politisi dari tubuh NU, akan menjadi uswah bagi pemain lainnya. Sehingga dengan begitu, paling tidak, dia mampu menunjukkan pada dunia bahwa masyarakat pesantren tidak sekolot yang diisukan. Dan akan lebih garang, ketika kemudian dunia sepenuhnya mengakui bahwa Islam memang benar-benar rahmatan lil ‘alamin.

Walhasil, pemahaman bahwa politik selalu terkait dengan kekuasaan dan uang, tidak bisa sepenuhnya disalahkan. Karena memang fakta berkata demikian. Namun, hal itu muncul dari mereka yang hanya mengenal dunia politik praktis. Yang sebenarnya merupakan sebuah bagian dari rangkaian ilmu politik itu sendiri.

Membicarakan politik membutuhkan ruang yang lebih dari sekedar halaman ini. Yang jelas, politik tetap menjadi sesuatu yang penting bagi pesantren dan tanpa mereka sadari, politik hadir dalam aktifitas hariannya. Karena sekali lagi, politik bukan hanya masalah ’menjadi calon’. Seperti peristiwa hijrahnya Nabi Muhammad saw. dari Mekah ke Madinah, jika bukan merupakan peristiwa politik dalam rangka membangun masyarakat dan pemerintah kota Madinah yang damai, tentram, adil dan makmur, kemudian disebut apakah itu?

So, ketika dunia politik telah Kang Santri yakini sebagai ’jalan hidup’, tekuni itu dengan segala profesionalitas, sehingga hal itu selain memberikan kontribusi bagi dirinya, juga bermanfaat pada dunia pesantren. Wallahu A’lam

NEXT ARTICLE Next Post
PREVIOUS ARTICLE Previous Post
NEXT ARTICLE Next Post
PREVIOUS ARTICLE Previous Post