-->

Bangsa(wan)


Oleh Alfa RS.

"Nak, sekolahlah yang rajin. Biar pintar. Syukur-syukur kau bisa jadi sarjana. Bahkan mungki, lebih tinggi lagi. Agar kelak kau lebih baik dari kami.”

Kalimat itu kembali merasuki benak Senggot. Bahkan malam itu lebih parah. Mata yang biasanya dianggap selalu melirikkan sorot serius oleh teman-temannya, kini basah. Berbaring bertemankan jas dan celana yang tetap berdiri dipinggir lemari setelah sesaat yang lalu selesai digosok. Senggot menatapnya dalam-dalam.

”Pak, Bu, besok anakmu ini diwisuda. Bukan hanya jadi S1 seperti Pak Lurah Samin itu. Tapi S2 Bu, Pak,” Senggot bergumam dalam hati.

Malam pun makin malam. Tapi lingkungan rumah kos Senggot semakin ramai. Entahlah, apa yang mereka kerjakan. Suatu hari sih, ketika Senggot harus serius mengerjakan sesuatu dan merasa terganggu dengan mereka, Senggot memberanikan diri menegurnya. Kata mereka, sory Bang, lagi banyak tugas yang bikin kepala pusing. Makanya jam segini masih pada nongkrong. Senggot pun ketika itu tidak banyak bicara, dia ngomong seperlunya. Meski dalam hati dia marah. Lha kenapa enggak marah, masa, katanya ngerjain tugas yang bikin pusing, tapi kok ketawa mulu. Tidak ubahnya seperti tante-tante yang sedang berburu barang di mall-mall. Malah ngumpulnya tidak seperti orang diskusi lagi; setiap cewek mesti didampingi cowok. Ya…tapi karena Senggot bawaannya pendiam, waktu itu pun bicaranya seperlunya.

Seiring dengan keramaian yang semakin berkurang, Senggot sudah terlelap dalam tidurnya. Apalagi seharian dia harus kesana-kemari. Membeli ini-itu. Kontak sana-sini, meski pada akhirnya dia harus kecewa. Karena adik satu-satunya yang kebetulan masih tinggal dikampung halaman, tidak bisa menghadiri wisudanya. Katanya sih, anaknya, yang baru berusia setahun, sedang sakit. Senggot pun akhinya harus memahami, karena adiknya sudah berkeluarga dua tahun yang lalu.

”Nak…nak…, Ayo bangun. Cepetan. Ayo kita pulang.”

Seketika Senggot terbangun. Dia kaget, suara yang membangunkannya terasa tak asing. Ya, suara yang biasanya membangunkannya ketika waktu subuh itu kembali. Suara yang sudah lama tak ia dengar.

”Bu…ibu…!!!” Senggot langsung berteriak ketika membuka mata.

”Loh…kenapa berteriak-teriak toh? Itu di musolla lagi ada orang salat dhuhur. Emang kamu mimpi apa sih Nak…?” Sang Ibu pun bergegas menghampiri Senggot.

”Bu, apa ini nyata?” Tanya Senggot.

”La menurut kamu gimana. Masa ini bukan ibumu?” Ibunya balik bertanya.

”Tidak! Kau bukan ibuku. Ibuku sudah lama meninggal?” Senggot membantah.

”Nak, ini ibumu…” Ibunya bersikeras.

”Bukan!” Senggot mulai emosi.

”Kalau kau tidak percaya juga enggak apa-apa. Tapi sudahlah, enggak penting buat dibahas. Mendingan kamu cepetan bangun, mandi, salat, terus ayo kita pulang,” ucap si Ibu.

”Pulang. Pulang kemana? Lagian aku belum waktunya pulang. Besok aku harus menghadiri acara penting, aku wisuda. Tau enggak wisuda itu apa? Enak aja ngajak-ngajak pulang. Lagi pula kau bukan siapa-siapa. Kau setan. Pergi…pergi…pergi…!!!” Senggot pun membentak-bentak.

”Sudahlah Nak… Mungkin dulu ibu dan bapak salah memberikan pelajaran kepadamu. Jangan lagi kau berpikiran ingin dimuliakan orang banyak. Seperti Pak Lurah Samin itu. Apalagi sekarang, titelmu melebihi Pak Kades. Sepengetahuan Ibu, kau satu-satunya pemuda desa kita yang bisa meneruskan sampai magister. Ayah dan ibu ikut bangga. Tapi…”

Belum sempat Senggot bertanya kenapa, ibunya melanjutkan.

”Tapi kalau akhirnya kau jadi begini, ayah dan ibu tak mau. Ayah lebih suka Senggot yang dulu. Senggot yang polos dan lugu, bukan orang yang banyak beraksi hanya untuk sebuah sesuatu yang tak abadi. Nak…yakinlah, hidup itu sama dengan mati. Karena sejatinya, setelah kau mati, saat itulah kau baru hidup. Kau harus percaya, suatu saat dirimu harus menjalani kehidupan yang abadi. Dan ketika kau telah mampu berpikir kesana, maka, selamat atas gelar yang besok kau dapatkan. Tapi, ketika hanya ’tepung tangan’ itu, sudahlah, tiada guna semua perjuanganmu,” lanjut ibunya.

”Hah! Apa maksudmu? Jangan kau sembarangan menghinaku?” Senggot kian emosi.

”Ya sudah, kalau kau tidak mau pulang. Ibu pulang sendiri saja. Hati-hati. Pikirkan perkataan ibu tadi…” Ibunya mengakhiri pembicaraan dan beranjak meninggalkan kamar Senggot.

”Hai…! Hai…!” Teriak Senggot.

Grak!!!! Pintu kamar Senggot dibuka dengan keras dari luar.  

”Got…! Got…! Kau kenapa? Kau mimpi apa?” Udin, tetangga kamar Senggot masuk. Dia yang waktu itu sedang tidur pun terbangun karena mendengar teriakan Senggot dan langsung menghampiri.

Senggot pun terdiam. Tatapan matanya kosong. Tak mampu menjawab kenapa dia berteriak-teriak.
NEXT ARTICLE Next Post
PREVIOUS ARTICLE Previous Post
NEXT ARTICLE Next Post
PREVIOUS ARTICLE Previous Post