Oleh Alfa RS
Harian Kompas edisi Sabtu,
29/03/2014 memberitakan kegiatan Debat Calon Presiden dan Tokoh Bangsa. Pada acara
yang diselenggarakan Ikatan Alumni Universitas Indonesia itu, muncul pemikiran
bahwa korupsi mirip kejahatan teroris. Sama-sama memiliki daya rusak sangat
tinggi, sehingga hukuman untuk para koruptor pantas disetarakan dengan teroris.
Selain diancam hukuman mati, koruptor juga perlu mendapat bentuk hukuman lain,
seperti pemiskinan dan pencabutan hak perdata.
Menurut Jusuf Kalla, ”Tak ada
yang menolak korupsi jadi bagian yang harus diberantas. Namun, kita mesti
menciptakan cara agar pemberantasan korupsi tidak menimbulkan ketakutan luar
biasa.”
Sedangkan menurut Mahfud MD,
persoalan korupsi bukan karena kebutuhan, melainkan lebih pada keserakahan. Tokoh
ini mengusulkan, hukuman koruptor disetarakan dengan teroris berupa hukuman
mati.
Menurut Marzuki Ali beda lagi. Katanya,
”Daripada dihukum mati yang tidak menghasilkan apa-apa, (lebih baik) koruptor
dibuang ke pulau kecil. Dia disuruh bertani, beternak, dan melakukan kegiatan
untuk kebutuhannya. Jangan korupsi, dipenjara, dan dibayar kehidupannya oleh
negara lagi. Betapa ruginya negara ini.”
Bagi kami orang awam yang tidak
berpendidikan, melihat berita seperti itu hanya bisa menepak jidat. Miris bacanya.
Kenapa?
Pertama, mereka para elit yang
seharusnya berdiri di garda terdepan untuk memperjuangkan nasib bangsa, jelas
sekali masih setengah-setangah memberantas korupsi. Baca saja, seorang ketua
DPR, perwakilan rakyat model apa yang menganggap memenjarakan koruptor itu tidak
ada manfaatnya. Seorang mantan wakil presiden, menggiring kita untuk memberantasan
korupsi dengan halus. Entah apa maksud dari bapak yang terhormat ini.
Kedua, semestinya, menurut kami
pemberantasan korupsi sudah saatnya melanggar hak asasi manusia. Karena nyatanya,
tindakan korup itu jauh dari prilaku manusiawi. Semestinya, jika toh tidak
dihukum mati, harus ada penjara khusus para koruptor. Keganasan sel mereka
dibedakan dengan jumlah kerugian negara akibat ulah mereka. Semakin besar
korupsinya, maka sel mereka pun semakin sadis. Bila perlu, ada sel yang penuh
tikus dengan lantainya penuh sampah dan becek.
Selain itu, keluarga mereka juga
harus dibuat jera. Karena sudah barang tentu, ketika seseorang melakukan
tindakan korup, dia tidak menikmatinya sendirian. Dan tidak menutup kemungkinan,
mereka melakukan tindakan korup karena alasan ingin membahagiakan orang-orang
terdekatnya. Jika sudah demikian, keluarga koruptor juga harus diberi
pelajaran. Hal itu bertujuan agar orang-orang terdekat, keluarga, atau kerabat mereka
juga ikut mengingatkan supaya yang bersangkutan tidak melakukan korupsi.
Jika suami atau istri dan anak-anak
koruptor dilarang masuk universitas dan sekolah negeri, mereka dilarang juga
pergi keluar negeri, setelah divonis bersalah wajah mereka sekeluarga dipajang
pada media massa baik cetak maupun elektronik, apakah mereka masih diam saja
ketika ada kerabatnya coba-coba melakukan tindakan korup?
Jujur saja, kalau kami disuruh
menjawab pertanyaan di atas, maka hanya ada satu kata, entahlah. Kita lihat
saja, bagaimana sejarah bangsa akan menjawabnya.