Oleh Alfa RS.
Malam ini tidak seperti kemarin,
lebih sepi. Sunyi. Kata paman, ini faktor habis hujan lebat. Sampai-sampai
dedaunan pun enggan menggerakkan badan. Entahlah. Mungkin paman benar, mungkin
juga karena perasaanku yang sedang tidak karuan.
Kesunyian selalu mengingatkanku
kembali akan masa itu. Dimana aku untuk pertama kalinya berkenalan dengan dia. Sedari
awal, tak ada niatan untuk menjalin hubungan yang lebih. Karena memang aku
belum terbiasa dengan hubungan semacam itu, meski teman-teman seusaiku sudah
berulang kali.
Bukan karena alasan aku punya
kelainan. Hanya saja, rasanya jika harus mengikuti mereka pun, tidak merubah
banyak hal. Karena aku yakin, kehidupanku akan berjalan begini-begini saja. Tak
ada yang spesial, kecuali keluarga yang sangat mengagumkan. Setidaknya bagiku.
Ah, kenapa harus mengingat masa
itu. Aku sekarang sudah berumur dan mudah-mudahan saja sudah dewasa. Itu kenangan
masa lalu, jauh. Sebelum aku tahu ternyata warna biru lebih menyejukkan mata
daripada merah muda. Tapi aku senang selalu mengingatnya. Mengenang dia.
Aku masih ingat senyum itu. Suara
candamu sering kali masih berirama merdu di telingaku. Aku akan selalu
mengenangnya, gairah bangun tengah malam yang selalu kau gelorakan. Aku tak
mungkin lupa, pelajaran kesederhanaan yang kau contohkan. Sungguh, sebuah
keniscayaan aku bisa mengenalmu. Selalu mengingatmu dalam setiap detak
jantungku.
Kau memang bukan malaikat, putih
tanpa bintik, aku sadar itu. Karena suatu ketika kau juga masih manja, malah kadang
tingkahmu menampakkan keegoisan. Tapi itulah kamu. Dirimu yang seutuhnya aku
terima, setelah aku memohon bantuan menanyakannya pada Tuhan, pada orang yang
aku yakin Tuhan mau membocorkan kamu padanya. Sedari itu aku bilang, bismillah.
”Cie cie, awas loh. Malam-malam
gini kok ngelamun,”
suara Isyqi, sahabatku, seketika membuyarkan lamunan.
”Iiiiih...apa sih. Gak ngelamun
kok,” jawabku
sedikit tersipu sambil menutup bungkusan yang sedari tadi aku perhatikan.
”Alaaah. Udah ngaku aja. Itu juga
apa tuh, kok pake disembunyiin segala,” Isyqi tambah meledek. Aku hanya tersenyum. Aku bergegas
menuju lemari. Menyimpan kembali bungkusan itu. Sebuah cinderamata dari dia.
”Ya sudah kalau tidak mau cerita.
Ayo kita ke ndalem. Tadi kata Mbak Zulva kita berdua dipanggil bunyai.” Aku hanya tersenyum dan langsung
mengajak Isyqi keluar kamar, menghadap bunyai.
***
Malam masih sepi. Bulan pun entah
kenapa masih asyik bersembunyi, mungkin masih asyik chatingan sama bintang.
Setelah melewati dua blok asrama,
kami berdua sampai di depan ndalem. Kami semakin bergegas, khawatir ada hal
penting yang ingin bunyai sampaikan. Tapi kali ini kami harus bersabar dan
harus menerima kalau nanti bunyai komentar, ”Lagi repot ya. Kok lama.” Karena
kami berdua tertahan di balik pintu. Kebetulan, ternyata waktu itu bunyai
sedang ada tamu.
Mengamati sandal yang terparkir,
mungkin di dalam ada mbak-mbak yang sedang soan didampingi keluarganya. Kalau bertamu
malam gini, aku yakin ada hal istimewa yang harus disampaikan ke bunyai. Karena
memang bukan jamnya para santri diperbolehkan menghadap.
”Nduk, soal jodoh itu tak usah
kau risaukan. Bukankah rukun islam itu cuma ada lima. Dan kamu juga tentunya
tahu, rukun iman itu tak lebih dari enam.”
Samar-samar aku dengar suara itu
keluar dari bawah pintu. Suaranya tak asing, jelas suara bunyai. Tapi kok bunyai
sedang bicara jodoh. Emang yang sedang menghadap itu siapa? Terus juga apa
hubungannya jodoh dengan rukun islam dan rukun iman?
Niung niung niung niung niung
niung...
Ah, kenapa sih harus ada ambulan
atau sirine apalah itu. Kenapa juga itu mobil harus bersuara. Kenapa juga jalan
raya itu dekat dengan ndalem. Dalam batin aku berucap, ”Bunyai, saged
diulang mboten. Wau kulo mboten mireng...”
________________
Kediri,
19 April 2014