-->

Rukun Islam dan Rukun Iman?

Oleh Alfa RS.

Malam ini tidak seperti kemarin, lebih sepi. Sunyi. Kata paman, ini faktor habis hujan lebat. Sampai-sampai dedaunan pun enggan menggerakkan badan. Entahlah. Mungkin paman benar, mungkin juga karena perasaanku yang sedang tidak karuan.
Kesunyian selalu mengingatkanku kembali akan masa itu. Dimana aku untuk pertama kalinya berkenalan dengan dia. Sedari awal, tak ada niatan untuk menjalin hubungan yang lebih. Karena memang aku belum terbiasa dengan hubungan semacam itu, meski teman-teman seusaiku sudah berulang kali.
Bukan karena alasan aku punya kelainan. Hanya saja, rasanya jika harus mengikuti mereka pun, tidak merubah banyak hal. Karena aku yakin, kehidupanku akan berjalan begini-begini saja. Tak ada yang spesial, kecuali keluarga yang sangat mengagumkan. Setidaknya bagiku.
Ah, kenapa harus mengingat masa itu. Aku sekarang sudah berumur dan mudah-mudahan saja sudah dewasa. Itu kenangan masa lalu, jauh. Sebelum aku tahu ternyata warna biru lebih menyejukkan mata daripada merah muda. Tapi aku senang selalu mengingatnya. Mengenang dia.
Aku masih ingat senyum itu. Suara candamu sering kali masih berirama merdu di telingaku. Aku akan selalu mengenangnya, gairah bangun tengah malam yang selalu kau gelorakan. Aku tak mungkin lupa, pelajaran kesederhanaan yang kau contohkan. Sungguh, sebuah keniscayaan aku bisa mengenalmu. Selalu mengingatmu dalam setiap detak jantungku.
Kau memang bukan malaikat, putih tanpa bintik, aku sadar itu. Karena suatu ketika kau juga masih manja, malah kadang tingkahmu menampakkan keegoisan. Tapi itulah kamu. Dirimu yang seutuhnya aku terima, setelah aku memohon bantuan menanyakannya pada Tuhan, pada orang yang aku yakin Tuhan mau membocorkan kamu padanya. Sedari itu aku bilang, bismillah.
”Cie cie, awas loh. Malam-malam gini kok ngelamun,” suara Isyqi, sahabatku, seketika membuyarkan lamunan.
”Iiiiih...apa sih. Gak ngelamun kok,” jawabku sedikit tersipu sambil menutup bungkusan yang sedari tadi aku perhatikan.
”Alaaah. Udah ngaku aja. Itu juga apa tuh, kok pake disembunyiin segala,” Isyqi tambah meledek. Aku hanya tersenyum. Aku bergegas menuju lemari. Menyimpan kembali bungkusan itu. Sebuah cinderamata dari dia.
”Ya sudah kalau tidak mau cerita. Ayo kita ke ndalem. Tadi kata Mbak Zulva kita berdua dipanggil bunyai.” Aku hanya tersenyum dan langsung mengajak Isyqi keluar kamar, menghadap bunyai.
***
Malam masih sepi. Bulan pun entah kenapa masih asyik bersembunyi, mungkin masih asyik chatingan sama bintang.
Setelah melewati dua blok asrama, kami berdua sampai di depan ndalem. Kami semakin bergegas, khawatir ada hal penting yang ingin bunyai sampaikan. Tapi kali ini kami harus bersabar dan harus menerima kalau nanti bunyai komentar, ”Lagi repot ya. Kok lama.” Karena kami berdua tertahan di balik pintu. Kebetulan, ternyata waktu itu bunyai sedang ada tamu.
Mengamati sandal yang terparkir, mungkin di dalam ada mbak-mbak yang sedang soan didampingi keluarganya. Kalau bertamu malam gini, aku yakin ada hal istimewa yang harus disampaikan ke bunyai. Karena memang bukan jamnya para santri diperbolehkan menghadap.
”Nduk, soal jodoh itu tak usah kau risaukan. Bukankah rukun islam itu cuma ada lima. Dan kamu juga tentunya tahu, rukun iman itu tak lebih dari enam.”
Samar-samar aku dengar suara itu keluar dari bawah pintu. Suaranya tak asing, jelas suara bunyai. Tapi kok bunyai sedang bicara jodoh. Emang yang sedang menghadap itu siapa? Terus juga apa hubungannya jodoh dengan rukun islam dan rukun iman?
Niung niung niung niung niung niung...
Ah, kenapa sih harus ada ambulan atau sirine apalah itu. Kenapa juga itu mobil harus bersuara. Kenapa juga jalan raya itu dekat dengan ndalem. Dalam batin aku berucap, ”Bunyai, saged diulang mboten. Wau kulo mboten mireng...”
________________ 
Kediri, 19 April 2014
NEXT ARTICLE Next Post
PREVIOUS ARTICLE Previous Post
NEXT ARTICLE Next Post
PREVIOUS ARTICLE Previous Post