-->

Belajar Rukun dari Sejarah

Oleh Alfa RS.

Ada ungkapan bahwa pengalaman adalah guru yang sangat berharga. Dan tentunya, banyak dari kita yang setuju dengan ungkapan tersebut. Karena dengan berkaca pada pengalaman, kejadian yang tidak diharapkan bisa diminimalisir dan kondisi yang mendukung makin dapat ditingkatkan keberhasilannya.

Termasuk dari pengalaman, menurut penulis, adalah sejarah. Alasannya sederhana, karena Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) memberikan arti kata pengalaman sebagai setiap sesuatu yang pernah dialami (dijalani, dirasai, ditanggung, dsb.). Maka meskipun tidak pernah kita alami sendiri, sejarah tetaplah fakta atau peristiwa yang dialami oleh generasi terdahulu kita. Dan sebagaimana manfaat pengalaman, sejarah juga mampu memberikan kontribusi pada kita, itupun jika kita mau menjadikannya sebagai guru. Lantas, mengapa kita harus mengaca pada sejarah?

Sudah maklum, semenjak kejadian di Cikeusik, Pandeglang, Banten, ketentraman kehidupan berbangsa kita terancam. Terbukti setelah kejadian itu, di beberapa daerah kembali terjadi aksi-aksi anarkis yang tentunya sangat memprihatinkan. Terlebih dengan teror bom yang kembali mencuat beberapa waktu lalu, makin memperingatkan kita akan ancaman keutuhan bangsa Indonesia.

Banyak spekulasi terkait kejadian tersebut. Bila diikuti, maka spekulasi tentang dalang dan motifnya akan terus berkembang. Tetapi apapun motif dan siapapun dalangnya, agaknya teror yang terjadi sudah mencapai tujuan. Tujuan utama yang tak lain adalah mengacaukan masyarakat dan membuat resah seluruh lapisan masyarakat.

Kemudian jika ditengok lebih dalam, teror itu bersentuhan dengan satu hal, keyakinan. Terkait keyakinan, mari kita simak firman Allah; ”Dan (ingatlah), ketika Tuhanmu mengeluarkan keturunan anak-anak Adam dari sulbi mereka dan Allah mengambil kesaksian terhadap jiwa mereka (seraya berfirman): ’Bukankah Aku ini Tuhanmu?’ Mereka menjawab: ’Betul (Engkau Tuhan kami), kami menjadi saksi’. (Kami lakukan yang demikian itu) agar di hari kiamat kamu tidak mengatakan: ’Sesungguhnya kami (bani Adam) adalah orang-orang yang lengah terhadap ini (keesaan Tuhan)’,” (QS. Al A'raaf: 172). Dengan ayat ini, secara naluriah manusia di muka bumi ini memiliki satu keyakinan, meyakini keesaan Allah swt. dan manusia pun berharap agar dapat memperoleh kebahagiaan, termasuk kebahagiaan di hari esok.

Selanjutnya, muncullah banyak perbedaan tentang apa yang sebenarnya mengantarkan manusia pada gerbang kebahagiaan tersebut. Yang kemudian tumbuhlah berbagai macam golongan, sekte, atau firqoh-firqoh.

Dan telah disepakati oleh umat Islam bahwa masa awal Islam merupakan masa terbaik, karena saat itu cahaya kenabian masih berdampingan dengan umat. Ketika masa terus bergulir, manusia semakin jauh dengan cahaya itu. Bisa dikata, umat berada dalam remang-remang pemahaman ajaran Islam, pemahaman yang semakin melenceng dari aslinya. Benarkah demikian?

Kiranya hal itu benar adanya. Hal ini bisa dibuktikan dengan pertanyaan klasik, dimanakah pijakan kaki kita? Di atas firqoh yang selamat, ataukah yang celaka? Tentunya, pertanyaan ini telah dialami oleh generasi terdahulu kita, dan rasanya juga akan dialami oleh anak cucu kita.

Membicarakan firqoh-firqoh, kita tentunya akan dihadapkan pada siapa sih sebenarnya golongan yang telah dijanjikan Baginda Nabi akan selamat. Dan disini penulis tidak akan mengulas tentang ahlu sunnah wal jamaah, karena disamping penulis bukan ahlinya, banyak pakar telah menjelaskan hal tersebut. Maka, penulis akan mengajak pembaca kembali pada tema tulisan.

Nabi Muhammad mencitrakan ‘peradaban Cina’ sebagai salah satu garda depan pemilik khazanah cahaya (ilmu) peradaban yang tinggi. Dan harus diakui, sumbangsih peradaban Cina terhadap bentuk peradaban Indonesia begitu besar. Begitu pula dengan peradaban India yang masuk ke Nusantara melalui jalan asimilasi dan akulturasi dengan mengagumkan. Lahirnya kerajaan-kerajaan besar; Kerajaan Kutai, Tarumanegara, Sriwijaya dan kerajaan-kerajaan Hindu Budha yang berklimaks di Kerajaan Majapahit pada era pemerintahan Hayam Wuruk dengan Mahapatih Gajahmada merupakan bukti sejarah kebangsaan dan peradaban nusantara yang tinggi.

Dalam fase ini, penulis belum menemukan catatan tentang terjadinya bentrokan yang mengatas namakan keyakinan. Bisa dikata, sesepuh-sesepuh kita hidup harmonis, menjalankan betul apa itu kerukunan antar penganut agama. Dengan tidak ditemukannya perang agama di Indonesia, berarti kerukunan memang ada di negeri ini. Meskipun toh kemudian (di zaman penjajahan), memang ada kekerasan antarpenganut agama. Misalnya kekerasan Katolik dengan Protestan atau NU dengan Muhammadiyah. Dulu bisa saling lempar, tapi setelah merdeka, tak lagi ditemukan.

Sejarah juga mencatat, dalam bangsa ini meraih kemerdekaannya, bukan dihasilkan dari perjuangan golongan tertentu, tapi seluruh bangsa. Maka sangatlah wajar jika kemudian negara Republik Indonesia ini bukan milik satu golongan, tetapi milik semua orang, dari Sabang sampai ke Merauke. Dan wajar juga, jika kemudian putra Mbah Hasyim, Wahid Hasyim, tidak melakukan ’tindakan’ ketika butir pertama Piagam Jakarta diganti.

Maka ketika beberapa tahun belakangan sering terjadi bentrok yang mengatasnamakan golongan, perlu kiranya kita menelaah, ada apa dengan bangsa ini. Apakah memang bangsa ini telah kehilangan jatidirinya? Ataukah itu hanyalah babak baru penjajahan?
Penulis pilih istilah penjajahan bentuk baru untuk gesekan-gesakan itu bukan tanpa alasan. Al-Quran telah menjelaskan bahwa diantara cobaan yang Allah berikan pada makhluknya adalah kekurangan harta, jiwa dan buah-buahan. Dan kita tahu, Indonesia adalah negeri yang amat kaya. Maka disadari atau tidak, bentrokan-bentrokan yang terjadi memberi masukan nominal pada oknum atau pihak tertentu (meskipun jujur, penulis tidak punya data otentiknya). Para penjajah itu sadar, tidak mungkin untuk terang-terangan menggempur negeri ini, seperti halnya penjajahan sebelum merdeka. Jalan yang paling aman adalah melewati celah perbedaan suku, agama, ras dan golongan. Dengan alasan ini, setidaknya cukup bagi penulis mengatakan bahwa saat ini kita memang sedang dijajah.

Walhasil, dengan merenungkan sejarah panjang bangsa ini, setidaknya kita terbangun dari mimpi untuk menang-menangan atau ingin menguasai. Karena jika itu tetap terjadi, energi bangsa ini terbuang sia-sia. Yakinlah, dengan konflik-konflik itu, di suatu tempat, para penjajah tertawa gembira. Karena kita menghancurkan diri sendiri, masyarakat, bangsa, dan negara Indonesia. Mari kembali menyatukan barisan untuk kejayaan negeri tercinta.
NEXT ARTICLE Next Post
PREVIOUS ARTICLE Previous Post
NEXT ARTICLE Next Post
PREVIOUS ARTICLE Previous Post