-->

Haji ’Keluar’

Oleh: alfa RS.

”Tiada pahala haji mabrur kecuali surga,” HR. Thobroni.[1]

Mengenai awal diwajibkannya haji masih terjadi pertentangan antar ulama. Ada yang mengatakan sebelum Nabi Muhammad pindah ke Madinah dan ada pula yang mengatakan setelah Beliau hijrah. Yang berpendapat setelah Rasul di Madinah juga masih memperselisihkan tahunnya. Beragam pendapat, ada yang bilang tahun ke lima, enam, delapan dan sembilan tahun setelah Nabi hijrah.[2]

Ada pula yang berpendapat bahwa haji telah ada sejak jaman Nabi Adam As. Dikatakan, orang yang pertama kali pergi haji ke Baitullah adalah Adam As. Beliau melaksanakan haji sebanyak empat puluh kali dengan berjalan kaki dari tanah Hindi.[3]

Terlepas dari itu, haji yang secara bahasa berarti menyengaja, sudah maklum dari agama bahwa wajib hukumnya bagi yang sudah memenuhi syarat. Sebagaimana ritual umrah menurut pendapat yang jelas. Dalam firman-Nya Allah mengatakan, ”…Mengerjakan haji adalah kewajiban manusia terhadap Allah, yaitu (bagi) orang yang sanggup mengadakan perjalanan ke Baitullah…” (3:97). Orang yang sanggup di sini adalah mereka yang mendapatkan perbekalan, transportasi, sehat jasmani dan amannya perjalanan.

Dari kesemuanya, faktor dominan bagi masyarakat yang berada jauh dari Makkah adalah perbekalan. Namun melihat perkembangan zaman, syarat tersebutpun mudah untuk ditemukan bila kita mempunyai bekal. Dengan kondisi perekonomian Indonesia saat ini –tanpa mengesampingkan mereka yang kekurangan– hal itupun tidak menjadi halangan. Terbukti tahun ini di padang Arafah lebih dari 200.000 jamaah haji Indonesia. Dengan jumlah ini, Indonesia berada di urutan kedua mengalahkan India yang hanya mengirimkan 164.000 jamaah saja.[5] Nah, dari segitu banyaknya jamaah kita, rasanya tidak mungkin –tanpa mengurangi kemuliaan para jamaah– jika semuanya berburu ’mabrur’ semata.

Mabrur berarti baik atau diterima Allah memang harapan setiap muslim yang berhaji. Alangkah menyesalnya mereka yang berhaji jika ternyata ketika kembali tidak memperoleh mabrur, itupun kalau disadarinya.

Gelar primordial sebagai manusia fitrah tidak dengan sendirinya sempurna hanya karena kita berhaji. Haji bukan pula simbol status kesalehan, karena kerap ditemukan pengeksploitasian haji untuk mendapatkan keuntungan duniawi. Haji bukan sekedar untuk saleh-salehan tanpa mempedulikan lingkungan sosial. Dan lingkungan sosial terdekat dengan kita adalah keluarga.

Bila membicarakan masalah haji, tentu tidak lepas dari kisah keluarga saleh; Ibrahim, Hajar dan Ismail As.

Sebagai orang tua, sosok Ibrahim sudah jarang kita temukan. Allah berfirman, ”…Hai anak-anakku! Sesungguhnya Allah telah memilih agama ini bagimu, maka janganlah kamu mati kecuali dalam memeluk agama Islam,” (2:132). ”…Ya Tuhanku, jadikanlah negeri ini (Mekkah), negeri yang aman, dan jauhkanlah aku beserta anak cucuku daripada menyembah berhala-berhala.” (14:35). ”Ya Tuhanku, jadikanlah aku dan anak cucuku orang-orang yang tetap mendirikan shalat, ya Tuhan kami, perkenankanlah doaku,” (14:40). ”…Wahai bapakku, mengapa kamu menyembah sesuatu yang tidak mendengar, tidak melihat dan tidak dapat menolong kamu sedikitpun? Wahai bapakku, sesungguhnya telah datang kepadaku sebagian ilmu pengetahuan yang tidak datang kepadamu, maka ikutilah aku, niscaya aku akan menunjukkan kepadamu jalan yang lurus. Wahai bapakku, janganlah kamu menyembah setan. Sesungguhnya setan itu durhaka kepada Tuhan Yang Maha Pemurah. Wahai bapakku, sesungguhnya aku khawatir bahwa kamu akan ditimpa azab dari Tuhan Yang Maha Pemurah, maka kamu menjadi kawan bagi setan,” (19:42-45). ”…Hai anakku sesungguhnya aku melihat dalam mimpi bahwa aku menyembelihmu. Maka fikirkanlah apa pendapatmu?…” (37:102).

Dari sini kita melihat, bagaimana beliau mengajarkan pada anak cucunya akan pentingnya sebuah keyakinan untuk menjalani kehidupan, bisa juga diartikan mengajarkan pendidikan keagamaan. Namun begitu, beliau tidak serta merta mengharuskan anak cucunya mengikuti apa yang beliau kehendaki. Ibrahim mengajarkan adanya komunikasi di dalam keluarga, bermusyawarah ketika hendak memutuskan sesuatu. Sebagaimana tawaran beliau kepada ayah dan anaknya.

Sosok Hajar juga patut direnungkan oleh kaum wanita, baik yang sudah berumah tangga ataupun lainnya. Dalam Shahih Bukhari disebutkan, ketika Ibrahim hendak pergi meninggalkan Hajar dan Ismail di tanah tandus yang belum berpenghuni, Hajar berusaha mencegatnya. Dia mencari kejelasan akan apa yang Ibrahim lakukan. Hajar sempat berpikir, tega betul suaminya meninggalkan dia dan Ismail yang masih menyusui di tanah gersang tanpa persediaan yang mencukupi. Namun dia sadar. Hajarpun bertanya, ”Apakah Allah memerintahkanmu melakukan ini?” Suaminya menjawab, ”Ya.” Mendengar jawaban itu, Hajar melepas kepergian Ibrahim. Karena dia yakin Allah tidak mungkin menyengsarakannya.

Lihatlah, bagaimana sejarah merekam kepatuhan Hajar pada seorang suami. Patuh dengan catatan, mengikuti apa yang telah diperintahkan Allah. Seorang istri yang mampu ’menyetir’ pasangannya dan mau ’disetir’ olehnya. Bukan istri manja dan patuh tanpa memilah kepatuhannya.

”…Hai bapakku, kerjakanlah apa yang diperintahkan kepadamu; insya Allah kamu akan mendapatiku termasuk orang-orang yang sabar…,” (37:102). Inilah sosok Ismail. Anak yang patuh atas perintah orang tua demi mendapatkan ridha Allah.

Dalam sebuah keluarga, orangtua sudah seharusnya memerhatikan pendidikan anak-anaknya. Baik pendidikan formal (memasukkannya ke dalam lembaga), maupun non formal (keseharian dalam keluarga yang mengarahkan mereka pada kebaikan). Bukan hanya masalah fisik si anak. Sabda-Nya, ”Hai orang-orang yang beriman, peliharalah dirimu dan keluargamu dari api neraka yang bahan bakarnya adalah manusia dan batu; penjaganya malaikat-malaikat yang kasar, keras, dan tidak mendurhakai Allah terhadap apa yang diperintahkan-Nya kepada mereka dan selalu mengerjakan apa yang diperintahkan,” (66:6).

Mengacu pada kisah keluarga di atas, patut disayangkan jika kesucian dan kemulyaan haji tercemar akibat kelalaian kita akan lingkungan. Mestinya, sudah sewaktunya untuk menjalankan kesalehan dua arah. Kedalam dan keluar.

Kedalam berarti bagaimana kita mampu meningkatkan ketakwaan pada Allah. Sedang keluar, menyakinkan kita tentang keharusan merawat lingkungan sekitar. Karena kita harus meyakini, kita bukanlah satu-satunya makhluk yang paling benar dan disayang Tuhan.

Jika kita harus memilih, menggunakan air untuk berwudhu dan memberikan air itu minumnya hewan mulia –kambing semisal-, manakah yang harus kita dahulukan. Berwudhu, yang berarti melaksanakan kesalehan kedalam. Ataukah sebaliknya? Ternyata fikih mengajarkan memilih yang kedua. Memberikan air itu untuk minumnya hewan. Sekarang, siapkah kita ’berhaji keluar?’ Wallahu A’lam.

Footnote:
[1]. Jalaluddin, al Jaami’ al Shaghir, Dar al Kotob al Alamiyah, Lebanon, 2006, cet III, Juz II, hal. 231.
[2]. Hasyiyatan; Qulyubi-A’mairah, Dar el-Fikr, Bairut, juz II hal. 107.
[3]. Ibrahim, Hasyiyah al Bajuri, Haromain, Juz I, hal. 308.
[5]. Saudi Gazette, Edisi Selasa, 24 November 2009.
NEXT ARTICLE Next Post
PREVIOUS ARTICLE Previous Post
NEXT ARTICLE Next Post
PREVIOUS ARTICLE Previous Post