-->

Toleransi; Kunci Keutuhan Indonesia

Oleh; Alfa RS

Sudah banyak spekulasi tentang dua kasus (kerusuhan di Priuk dan Batam) yang terjadi beberapa hari lalu. Bahkan, ada yang berkomentar untuk tragedi di Priuk merupakan semacam pesanan dari pihak luar untuk 'mengusik' Idonesia. Sedangkan di Batam, ada indikasi kejadiannya sengaja disulut untuk memancing kerusuhan.

Jika kemudian spekulasi dan indikasi itu benar, umat muslim –khususnya yang ada di Indonesia– sudah sepatutnya berhati-hati. Karena jika Indonesia kembali bergejolak, bisa dipastikan hanya nol persennya saja persepsi dunia yang tidak mengarahkannya pada umat Islam, karena Islam adalah keyakinan mayoritas rakyat Indonesia.

Negara kita dengan kebhinekaannya, memiliki peran penting dalam tugas berat mengejawantahkan Islam sebagai agama rahmatan lil 'alamin. Jika kemudian Indonesia gagal, bisa dipastikan cap Islam adalah agama teroris akan terus melekat dan keharmonisan yang sejak dulu terbina akan sia-sia. Yang artinya, Sabang sampai Merauke yang sekarang menyatu di bawah bendera Indonesia, terancam bubar.

Ukhuwah dan Keberagaman Indonesia
Harus kita akui, secara umum terdapat persamaan antara berbagai keyakinan (agama) dalam permasalahan moral dan etika. Karena sesungguhnya sangat penting untuk membentuk karakter moral yang berperan sebagai fungsi paling mendasar dari keyakinan itu sendiri. Perlu diketehaui juga, masing-masing agama memiliki cara tersendiri untuk melakukannya. Masing-masing memberikan tekanan yang berbeda pada aspek etika dan moral dalam kehidupan manusia yang kompleks. Islam sendiri memiliki nilai etis dan konsep moral sendiri, baik yang bersifat spesifik maupun universal.

Dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara yang senantiasa menghadapi latar belakang yang beraneka ragam. Baik menyangkut identitas keagamaan, kesukuan, maupun status sosial, dibutuhkan pranata sosial yang mampu mengakomodasi semua unsur dalam satu kepentingan yang mesti dilestarikan bersama. Dalam konteks ini, al Quran menyerukan kepada seluruh lapisan manusia untuk menghindari konflik antar sesama. Sebab, lebih lanjut al-Quran dalam surat al-Baqarah ayat 213 dan surat Yunus ayat 19, menjelaskan sesungguhnya manusia merupakan satu umat. Kemudian dalam penyatuan (unifikasi) umat, Allah Swt. menegaskan untuk bersatu padu dan tidak bercerai berai, seperti yang tertera dalam al Quran surat Ali Imran ayat 103. Adalah satu kemestian bagi manusia untuk senantiasa menghilangkan kebencian, permusuhan, dan saling menghasut. Dalam kata lain, manusia diharuskan hidup damai dan bekerja sama dalam mencapai maksud hidup yang kaffah dan terjalin dalam persaudaraan (ukhuwah).

Memandang perintah kepada kita untuk saling menjaga dan mempererat tali persaudaraan dalam firman Allah Swt. surat al-Hujurat ayat 10: “Sungguh orang-orang beriman itu bersaudara. Sebab itu damaikanlah (perbaikilah hubungan) antara kedua saudaramu itu dan takutlah terhadap Allah, supaya kamu mendapat rahmat,” maka ukhuwah dapat berarti relasi (hubungan) persaudaraan antar sesama umat Islam, dan dalam konteks ke-Indonesiaan berarti mencakup keseluruhan umat Islam di Indonesia.

Kemudian dalam rangka menumbuhkan persaudaraan yang terbingkai dalam kemajemukan yang akomodatif dan inklusif adalah keniscayaan bagi setiap individu untuk mengikat persaudaraan abadi. Unsur pengikat dalam upaya menumbuhkan ukhuwah islamiyyah adalah keimanan kepada Allah Swt. dan rasul-Nya, Muhammad Saw.

Dalam konteks ini, demi terealisasinya kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara dibutuhkan pranata sosial yang mampu mengakomodasi semua unsur dalam kehidupan yang mesti dijaga bersama keutuhannya. KH. Ahmad Shiddiq, dalam Khutbah Iftitah Rais ‘Am PBNU, mengajukan tiga macam persaudaraan (ukhuwah), yaitu: (1). Ukhuwah Islamiyyah, artinya persaudaraan yang tumbuh dan berkembang karena persamaan keimanan atau tauhid, baik dalam skala nasional maupun internasional, (2). Ukhuwah Wathanyyiah, artinya persaudaraan yang tumbuh dan berkembang atas dasar nasionalisme, dan (3). Ukhuwah Basyariyyah, artinya persaudaraan yang tumbuh dan berkembang atas dasar kemanusiaan.

Dalam pandangan KH. Ahmad Shiddiq, ketiganya harus diwujudkan secara berimbang menurut porsinya masing-masing. Satu dengan yang lainnya tidak boleh dipertentangkan, sebab hanya melalui tiga dimensi ukhuwah inilah rahmatan lil‘alamin akan terealisasi. Ukhuwah islamiyyah dan ukhuwah wathanyyiah merupakan landasan bagi terwujudnya ukhuwah basyariyyah. Baik sebagai orang Islam maupun bangsa Indonesia, kita harus memperhatikan dengan serius, saksama, dan penuh kejernihan terhadap ukuhwah islamiyyah dan ukhuwah wathaniyyah. Kita tidak boleh mempertentangkan kedua macam ukhuwah ini.

Sampai di sini pandangan tentang ukhuwah islamiyyah terbatas pada lingkup sesama umat Islam, namun selanjutnya KH. Ahmad Siddiq mengatakan bahwa ukhuwah wathaniyyah dan ukhuwah basyariyyah bukanlah tambahan baru, melainkan sejak semula telah tercakup dalam ukhuwah islamiyyah sendiri. Dalam kehidupan bertetangga dengan orang lain, bukan famili, bahkan non-Muslim atau non-Indonesia, kita diwajibkan berukhuwah dan memuliakan mereka dalam arti kerja sama yang baik. KH. Ahmad Shiddiq menjelaskan bahwa persaudaraan Islam (ukhuwah islamiyyah) bukanlah persaudaraan yang bersifat ekslusif, persaudaraan yang terbatas pada umat Islam saja.

Persaudaraan Islam (ukhuwah islamiyyah) adalah persaudaraan yang luas cakupannya, bahkan meliputi orang ateis sekalipun dengan catatan selama mereka tidak berniat memusuhi umat Islam. Rasulullah Saw. memberikan contoh hidup damai penuh dengan toleransi dalam lingkungan yang plural. Saat beliau dipercaya untuk memimpin masyarakat Madinah, masyarakat yang plural (terdiri atas berbagai suku dan agama), Beliau membangun kehidupan Madinah atas dasar konsensus yang kemudian dituangkan dalam ‘konstitusi’ yang kemudian dikenal dengan Piagam Madinah. Dalam piagam Madinah ini disebutkan bahwa semua pemeluk Islam, meskipun berasal dari banyak suku, tetapi merupakan satu komunitas. Hubungan antara sesama anggota komunitas Islam dengan anggota komunitas-komunitas lain didasarkan atas prinsip-prinsip: (a) bertetangga baik, (b) saling membantu dalam menghadapi musuh bersama, (c) membela mereka yang teraniaya, (d) saling menasehati, dan (e) menghormati kebebasan beragama. Piagam Madinah juga memberikan hak yang setara terhadap warga Negara muslim dan non-Muslim, mereka sama-sama terikat untuk mempertahankan dan membela Negara.

Walhasil, kekokohan suatu bangunan bangsa dan keberagaman tak lain dengan menumbuhkan sikap sosial yang didukung dengan keimanan yang kuat. Dengan keimanan, persaudaraan antar muslim terjalin erat sehingga dalam merajut keutuhan umat dalam bingkai Islam yang kaffah menjadi indah. Sikap sosial sebagaimana dipaparkan dimuka adalah landasan moral berbangsa dan bernegara. Wallahu A’lam
NEXT ARTICLE Next Post
PREVIOUS ARTICLE Previous Post
NEXT ARTICLE Next Post
PREVIOUS ARTICLE Previous Post