-->

Meraba Tabir Emansipasi Kartini *

Oleh: Alfa RS.

Seperti beberapa tahun kebelakang, tentunya peringatan Kartini tahun inipun tidak lepas dari gema emansipasi. Emansipasi yang mulai diperluas pemaknaannnya dan kerap dikaitkan dengan isu-isu kesetaraan gender atau feminisme, seharusnya harus kita kaji ulang jika mengaitkannya dengan sosok Kartini.

Isu yang kini mulai menjadi semacam ideologi atau doktrin yang menghendaki kesetaraan antara laki-laki dan perempuan baik dalam ranah sosial maupun politik, yang identik dengan westernisasi –karena paham ini muncul pertama kalinya di negara Barat. Tepatnya di Middelburg, Belanda, tahun 1785, semestinya tidak bisa dikatakan sejalan dengan apa yang perjuangkan Kartini.

Perjuangan Kartini semasa hidupnya, lebih terfokus pada masalah pendidikan dan kepedulian sosial. Tidak tepat jika melekatkan gelar pejuang gender pada Kartini, karena putri Jepara ini menyoroti gaya hidup wanita Indonesia yang terhegemoni dengan pola hidup orang Belanda waktu itu. Balutan sejarah berbicara Kartini terkesan melawan perempuan hasil perkawinan silang antara Jawa dan Belanda. Perempuan yang dalam setiap pesta terbiasa memakai pakaian tidak sopan menurut perspektifnya dan adat Jawa. Menurut Kartini, perempuan kala itu seolah kehilangan harga diri dan jati dirinya sebagai wanita terhormat dan bermartabat. Dengan berkebaya, semisal, betapa ia membuktikan bahwa dirinya tetaplah wanita Jawa dengan semua anggah-ungguhnya.

Entah apa reaksi Kartini jika ia menyaksikan perjuangannya disalahartikan, kesetaraan yang telah dimaknai sebagai persamaan di segala bidang. Mungkin ia akan tersedu melihat banyak wanita meninggalkan adat, atau bahkan aturan agama yang dianggap kolot serta ketinggalan zaman. Aktivis gender banyak yang tidak segan merobek tradisi, bahkan membongkar norma-norma agama yang sudah mapan. Bahkan dalil agama yang –menurut pejuang emansipasi– dianggap sebagai bentuk diskriminasi bagi wanita harus dipahami ulang atau bahkan dibekukan. Seperti halnya permasalahan jilbab yang mulai digugat sebagai budaya lokal Arab dan membatasi karir perempuan.

Pemahaman tersebut jelaslah bertentangan dengan perjuangan Kartini yang memosisikan wanita sesuai kodratnya. Langkah yang ditempuh Kartini jelas berbeda dengan isu kesetaraan gender yang cenderung salah kaprah dan mengada-ada.

Benar adanya jika penindasan dan ketidakadilan adalah sesuatu yang harus ditentang. Tak dipungkiri pula, upaya membebaskan wanita dari berbagai belenggu kehidupan adalah langkah mulia. Namun berdasar perbedaan kodrat antara laki-laki dan perempuan, apakah penyetaraan gender dapat berlaku dalam berbagai bidang kehidupan?

Kartini adalah sumber inspirasi yang tak pernah kering. Pemikiran revolusionernya selalu menarik untuk dikaji dan diteliti. Dan lebih dari sekedar emansipasi, dari perjuangannya setidaknya kita bisa mengambil beberapa hal.

Pertama, Kartini adalah seorang wanita yang tangguh dan memiliki kepedulian sosial yang sangat tinggi. Ia selalu optimis, tidak sekedar meratapi nasib disaat para wanita kala itu hidup dalam ketidakberdayaan melawan kungkungan tradisi. Tetapi ia tampil berjuang melawan kemunduran dengan mendirikan sekolah untuk para kaumnya.

Kedua, Kartini memiliki pemikiran yang tidak kaku dan terbuka. Selalu mencari ide segar dan inovasi baru untuk melakukan perubahan bagi masyarakat. Tanpa harus meninggalkan semua adat dan budayanya, dia mengambil sisi positif dari siapa saja, termasuk 'membaca' nilai budaya Barat.

Ketiga, Kartini adalah wanita yang kreatif dan rajin menulis. Gagasan-gagasan perubahan ia tulis dalam berbagai surat untuk para sahabatnya. Mengapa harus tulisan? Karena jangkauan tulisan lebih luas ketimbang sekadar orasi ilmiah. Ia akan selalu dapat dibaca, dikaji, dikritisi dan didiskusikan.

Walhasil, mari kita renungi bersama perbedaan kodrat serta naluri antara pria dan wanita. Perbedaan yang semestinya bisa disikapi dengan bijak dan saling melengkapi. Perbedaan yang akhirnya memberi pelajaran mendudukkan permasalahan sesuai dengan porsinya. Yang pada akhirnya, mengembalikan harga diri dan jati diri perempuan sebagai wanita terhormat dan bermartabat.

*) Tulisan ini dimuat Majalah Nur Muslimah, Edisi 5, April 2010.
NEXT ARTICLE Next Post
PREVIOUS ARTICLE Previous Post
NEXT ARTICLE Next Post
PREVIOUS ARTICLE Previous Post