-->

Leadership Yang Hilang, Mungkin.

Oleh: Alfa RS.
Pelaksanaan Ujian Nasional (UN) tidak lepas dari praktik kecurangan. Standarisasi kelulusan UN sering kali dijadikan alasan terjadinya pelanggaran terhadap proses ujian akhir tersebut. Tidak heran jika pelaku kecurangan tidak hanya melibatkan siswa, juga pengelola dari sekolah yang bersangkutan.

Bila kita harus menyalahkan, sebenarnya pihak mana yang lebih bertanggung jawab, pelajar? Ya, pasti. Namun di sini jangan kita sepelehkan peran pengajar, staf sekolah dan sudah barang tentu keluarga. Seorang siswa yang rajin, mungkin saja akibat motivasi yang diberikan keluarga, staf sekolah dan tidak sedikit dari mereka yang memang sudah membawa karakter itu semenjak lahir. Dari sini dapat kita pastikan, sebenarnya setiap pelajar itu memiliki potensi untuk maju. Namun sayangnya banyak di antara mereka yang tidak mengetahui potensi itu. Maka, disinilah fungsi adanya pihak ketiga, pihak yang mampu membangunkan mata hatinya, potensinya.

Dalam konteks sekolah, pihak ketiga disini adalah staf sekolah, pengajar, lebih sakral lagi adalah kepala sekolah. Namun sayangnya fakta menunjukkan, mereka tidak mampu melakukan rotasi iklim belajar mengajar, mereka tidak punya inisiatif yang mampu membangkitkan gairah belajar. Mainstrem yang terbentuk begitu kuat, bahwa mereka selalu bergantung kepada putusan pemerintah, mereka seolah enggan untuk mengambil keputusan, seakan tidak memiliki kemandirian.

Bila kita cermati, lagi-lagi fakta menjawab, staf-staf yang amat sakral justru tidak bisa memberdayakan komponen sekolah, kurang memanfaatkan elemen-elemen yang terkait dengannya. Secara finansialpun mereka terlalu bergantung pada pemerintah, jarang kita temukan kepala sekolah mau merogoh kocek sendiri demi kemajuan sekolah. Dengan kata lain, dapat kita pastikan bahwa, jiwa leadership yang semestinya dimiliki oleh pihak-pihak ketiga, pihak yang mampu memompa pelajar, sangat minim adanya.

Kalau saja mereka mau merenung sejenak, pastinya tidak mungkin ditemukan siswa yang dengan senang hati mau ngendog, anda pasti merasakan, tiga tahun bukanlah waktu yang singkat, masa yang cukup panjang, pun menghabiskan biaya yang tidak sedikit. Mereka pasti merasakannya, karena dulu mereka juga sekolah.
Sebagai seorang pelajar, dan tentu diharapkan oleh setiap wali murid, mereka tentu mengharapkan akan adanya staf pengajar yang mumpuni dalam bidangnya. Logikanya, rugikan kalau kita belajar karate sama koki yang hanya pintar masak. Namun, kemapanan dalam suatu bidang belum tentu menjadi modal terbesar guna mengentaskan orang lain dalam bidang yang sama, kita harus yakin itu.

Dalam diri seorang kepala sekolah, tentunya para staf mengharapkan akan adanya sikap yang mampu mendorong kinerjanya untuk lebih berkembang secara optimal. Merekapun tentu ingin ajudannya seorang yang pandai mencari ide-ide segar demi kemajuan bersama. Seorang kepala sekolahpun lalu dituntut akan adanya sikap pragmatis dalam menetapkan kebijaksanaan, mengarahkan target sesuai dengan kemampuan yang dimiliki sekolah. Orang yang mampu mendelegasikan tugas pada staf yang sesuai dengan kemampuan.

Adaptasi dan fleksibel juga termasuk sikap yang akhir-akhir ini dikesampingkan, situasi kerja yang sebenarnya sangat memudahkan para staf sekolah. Pelajarpun tidak jauh demikian, mereka mengharapkan pimpinan yang mampu mendorong keterlibatan semua pihak dalam setiap kegiatan, seorang bapak kepala yang bisa diajak kerja sama dengan semua elemen, orang yang mampu mengintegrasikan semua kegiatan dan semestinya merekapun butuh akan adanya tindakan ataupun keputusan sekolah yang berdasarkan rasio, mereka selalu mengidamkan sosok yang mampu menjadi teladan.
Dalam hal ini kitapun harus memasukkan andil keluarga, iklim keluarga yang mampu mendorong pelajar untuk terus belajar dan belajar, karena semangat setinggi apapun, tentunya akan terkikis bila keluarga tidak mendukung.

Kini mungkin kita baru tersadar, gelar, sudah tidak mampu lagi menjadi dasar pihak ketiga. Apalah arti sebuah titel, bila kenyataannya tidak mampu mengisi kekurangan suatu lembaga. Konstruktif, kreatif, partisipatif, delegatif, integrative, rasional dan obyektif, pragmatis dalam menetapkan kebijakan, mungkin semua itu kian menjadi sesuatu yang sakral dalam pengentasan sumber daya manusia yang benar-benar unggul. Kiranya kesakralan itu semua belum berarti banyak bila tidak ditunjang keteladanan, adaptable dan fleksibel dari kepala sekolah.

Dengan begitu kita berharap, semoga tidak lagi ditemukan kasus kepala sekolah tertangkap polisi gara-gara mencuri naskah UN dan mata hati pelajar Indonesia terbuka, dapat memupuk potensi-potensi yang mereka miliki sehingga dapat melahirkan sumber daya manusia yang sarat kebudayaan, intelektual, generasi yang dapat mengentaskan pertiwi dari krisis multidimensi yang tidak kunjung usai.
NEXT ARTICLE Next Post
PREVIOUS ARTICLE Previous Post
NEXT ARTICLE Next Post
PREVIOUS ARTICLE Previous Post