Oleh Alfa RS.
Proses kehidupan mengharuskan segala sesuatu berubah.
Sebagaimana bumi yang dulu tidak ada, kemudian nyata dan selanjutnya ditiadakan.
Pun begitu dengan kita; manusia. Dari hubungan suami istri, berlanjut menjadi
darah kental, daging kental, lalu berbentuk sebagaimana yang dikehendaki Sang
Pencipta. Dalam kelanjutannya, kita tentu tak asing dengan kata remaja. Ada
yang mengartikan sudah dewasa, bukan kanak-kanak lagi atau pun sudah sampai
umur untuk kawin.
Dalam postingan kali ini, Akibasreet sekedar mau sedikit
berbagi tentang, betapa fase remaja banyak diartikan oleh generasi muda bangsa
ini sebagai masa tanpa beban, waktu untuk bersenang-senang. Padahal?
Dari obrolan dengan mereka yang paham literatur Islam, ternyata,
manusia dalam kacamata agama hanya memiliki dua fase; Anak-anak dan dewasa.
Masa kanak-kanak, simpelnya, adalah dimana saat seorang anak manusia (yang
tumbuh normal; tidak cacad) ketika makan, mandi, berak, memakai pakaian, dan
segala aktifitas lain harus dengan bantuan orang tuanya. Kalau memakai patokan
usia, kurang dari sembilan tahun bagi perempuan (belum mengalami menstruasi)
dan bagi laki-lai kurang dari dua belas tahun (belum bermimpi mengeluarkan
sperma).
Ketika anak manusia telah menginjak usia lebih dari
batasan di atas, maka dia sudah dikatakan dewasa atau baligh. Bersamaan
dengan ini, maka timbal balik atau akibat dari segala apa yang dia kerjakan,
mutlak menjadi tanggungjawabnya. Mulai dari yang berurusan dengan Tuhannya (ibadah)
atau dengan masyarakat sekitar.
Jika demikian adanya, mestinya, fase remaja adalah saat
dimana seseorang telah tumbuh menjadi sosok yang terus mencoba menjadi lebih
baik. Karena tentu, saat itulah untuk pertama kalinya dia ”berdiri di atas kaki
sendiri”.