Oleh Alfa RS.
”Tinggalkan apa
yang kau ragukan menuju sesuatu yang kau yakini”, Sabda Nabi.
Sampai
saat ini, banyak yang masih memandang bahwa mencari pengetahuan di pesantren
adalah kurang tepat. Atau dalam bahasa kasarnya, tidak sedikit yang menilai
bahwa menjadi seorang santri adalah sebuah kekeliruan.
Ketika
hal itu keluar dari luar kalangan pesantren, penulis kira wajar. Tapi ketika
hal itu diungkapkan oleh masyarakat pesantren (baik ungkapan itu disadari
ataupun tidak), tentunya sangat disayangkan. Memang, secara ”lantang” mungkin
tidak ada yang berani. Tapi faktanya?
Diusia
pesantren setua ini, lembaga ini tentunya telah memiliki banyak alumni. Jika
dihitung 50 tahun saja, anggap tiap tahunnya hanya meluluskan 5000 santri, berarti
sudah ada 250.000 alumni. Lantas anggap saja, mereka adalah alumni yang saat
ini telah berkeluarga dan memiliki keturunan yang sudah memasuki masa belajar. Jika
masing-masing dari 250.000 alumni itu punya satu keturunan saja, berarti di lembaga
ini mestinya dihuni oleh santri dengan jumlah lebih dari angka itu. Karena
selain keturunan para alumni, harus diakui pula banyak ”orang luar” yang baru mempercayakan
masa depan keturunannya pada pesantren.
Nah,
dengan kenyataan yang demikian, menurut penulis, secara tidak langsung
masyarakat pesantren sedang berbicara seolah menjadi santri adalah salah.
Logika
sederhananya begini, ketika sepasang orang tua (atau hanya salah satunya),
telah merasakan kenikmatan masakan sebuah rumah makan, pada akhirnya dia
berlangganan membeli makanan di tempat itu. Kenikmatan tempat itu pun mereka
kabarkan pada kerabat dan kolega. Dan ketika keluarga itu kemudian dianugerahi
keturunan, maka tentu kita tahu, merekapun akan mengajak sang anak untuk ikut
makan di tempat favorit orang tuanya.
Ketika
si anak juga merasa nyaman, tentu diapun akan mengenalkan tempat itu pada teman,
kenalan dan keturunannya kelak, ketika orang tua mereka telah tiada. Begitulah
seterusnya.
Sekarang
hitung saja. Di setiap daerah–kalau memang di daerah Anda ada alumni pesantren,
berapa persenkah alumni yang memasukkan anaknya ke pesantren dan berapa yang tidak.
Anda tentu tahu jawabannya.
Menilik
sabda Nabi di atas, penulis mengajak untuk mari bersama-sama meyakini, bahwa
sejatinya apa yang saat ini dilakoni oleh mereka (baca: menjadi seorang santri)
adalah sebuah pilihan. Mereka mesantren bukan karena keterpaksaan, kebetulan
dan sungguh sangat disayangkan kalau pesantren dijadikan pelarian. Kita harus
mengamini bahwa menjadi santri adalah pilihan. Pilihan hidup yang tentunya
sejalan dengan apa yang digariskan Tuhan. Bukankah kata Nabi, man yurid
allahu khoiron yufaqqihhu fi addiin, barang siapa yang Allah kehendaki
kebaikan pada dirinya, maka Allah akan memberikan kepahaman dalam urusan agama
padanya? Dan untuk memahami agama, bukankah tempat yang paling ideal adalah
pondok pesantren salaf? Kira-kira begitu.
Dengan
demikian, seorang santri harusnya punya keyakinan teguh bahwa saat ini dia
sedang dijalur yang sangat ”strategis”. Artinya, dengan dia berstatus sebagai
seorang santri, itu merupakan indikasi bahwa ia akan menjadi orang yang
dianugerahi kebaikan oleh Sang Pencipta. Namun yang menjadi pertanyaan, santri
yang bagaimanakah itu?
Ini
menarik, bukan hanya bagi Anda. Jujur, penulis juga terus meraba santri
bagaimanakah yang dimaksudkan itu. Entahlah. Mungkin pembaca lebih ahli tentang
hal itu daripada penulis. Yang jelas, seperti yang sering penulis dengar, ada
semacam keharusan bagi santri untuk menyebarkan apa yang telah diperolehnya. Dan
dengan ungkapan itu, menurut penulis, kiranya itulah barometer sederhana yang
coba dikemukakan oleh para muassis pesantren untuk menjadi ”santri
sukses”.
Terkait
hal tersebut, di era 2012 yang sudah sedemikian rupa, sepatutnyalah kalau ”penyebaran”
itu diejawantahkan menjadi dua. Pertama, penyebaran dalam arti ”tekstual”.
Yang mana santri diharuskan selalu berusaha menularkan pengetahuannya pada lingkungan
sekitar. Bisa di mimbar-mimbar, di pojok surau atau sekedar membantu anak-anak
tetangga memahami ilmu agama.
Kedua, santri juga
harus mengartikan penyebaran secara ”kontekstual”. Artinya, sudah saatnya para
santri ”mengintip tempurung” dengan ikut berpartisipasi dalam pergerakan
multimedia seperti saat ini. Bisa dengan sekedar mengulas masalah agama dalam
situs jejaring, blog, website, koran, majalah, tabloid atau bahkan dengan
menulis buku.
Untuk
sekedar membuat blog, penulis kira sangatlah mudah. Apalagi berselancar di
situs jejaring yang dewasa ini sudah menjadi gaya hidup. Sedang untuk membuat website, ada baiknya jika Anda konsultasikan dengan Bang Babastudiao. Bukan
sebatas itu, Babastudio juga bisa menjadikan Anda ahli dalam dunia website,
karena selain memberikan jasa pembuatan website, Babastudio juga
memberikan training.
Kembali
kemasalah penyebaran tadi, memang, harus ada keinginan untuk mengubah paradigma
bahwa dakwah hanya dilakukan di atas mimbar. Bila kita renungkan, tentu dakwah
bukan hanya ceramah. Dakwah bukan hanya berarti membuat pengajian dan halaqah
dengan jumlah pendengar yang terbatas. Seharusnya, dakwah adalah segala bentuk
kegiatan –dengan cara benar tentunya– yang memberikan pemahaman ajaran Islam
kepada siapapun. Dan banyak alasan kenapa seorang santri harus menulis. Utamanya
demi tujuan tadi, dakwah.
Sebenarnya,
apa sih nilai plus berdakwah dengan menulis? Pertama, harus diakui bahwa
pengaruh tulisan lebih dalam dari sekedar suara lisan ahli pidato. Bukankah muassis
pesantren mengajarkan untuk membaca dan menulis? Seperti yang saat ini
dinikmati orang banyak; Karya-karya spektakuler ulama besar.
Kedua, dengan bahasa
tulisan kita hanya bertutur sekali, meski penulisannya memakan waktu
berulang-ulang. Tulisan berbicara satu kali dan akan melekat terus menerus
dalam hati serta bisa menjadi buah tutur setiap hari. Ketiga, bahasa
tulisan lewat media cetak lebih rapi dan lebih teratur daripada bahasa lisan,
karena sejatinya, menulis adalah bepikir dengan teratur. Keempat, sasaran
bisa membaca berulang-ulang gagasan kita hingga meresapinya. Dan kelima,
lebih menguatkan dijadikan referensi.
Lantas,
sulitkah dunia menulis itu? Jawaban sederhananya, kadang ya, tapi juga bisa
tidak. Kenapa, karena menulis sejatinya tidak butuh banyak teori. Tapi praktek,
praktek dan praktek.
Bagi
kita yang saat ini masih berstatus santri dengan segala ”lika-likunya”, tidak
perlu berlebihan dengan apa yang penulis paparkan. Karena sejatinya, semakin
banyak yang masuk di kepala, maka semakin banyak pula yang akan keluar.
Artinya, teruslah belajar dengan mengikuti semua kegiatan yang telah ditetapkan
oleh pengurus. Dan jika memang tertarik menekuni dakwah bil tulisan,
seminggu sekali, tuangkan rentetan kejadian dalam seminggu itu dalam sebuah
catatan. Santai saja. Jangan berpikir menulisnya dengan gaya yang ribet seperti
dalam sebuah karya ilmiah. Ceritakan mengalir sebagaimana novel atau cerpen
kegiatan yang dialami mulai hari Sabtu sampai Kamis. Mulai kegiatan remeh
seperti ketika mau mandi yang enggak kebagian gayung, sampai suasana
panasnya berdebat di dalam kelas.
Waktu
untuk menulisnya juga enggak usah spesial. Cukup satu jam saja. Satu jam
itu, maksimalkan. Sejelek dan berapa barispun tulisan yang kita bisa buat,
simpan. Tidak usah juga kemudian kita baca ulang. Kenapa harus demikian?
Seperti
yang telah disinggung tadi, menulis hanya butuh praktek, praktek dan praktek.
Teorinya, cukup dengan berbekal buku bahasa Indonesia dengan ejaan yang telah
disempurnakan. Jika rutinan mencatat kegiatan mingguan ini berjalan
berbulan-bulan, penulis yakin, di akhir tahun Anda akan mendapatkan evaluasi
yang sangat berguna untuk tahun depannya. Terutama, ”kerenyahan gaya bahasa.” Apalagi
jika tulisan itu Anda upload ke sebuah blog atau Anda sudah mampu membuat website, Anda pasti tidak percaya. Karena selain kita akan mendapat
pelajaran banyak saat membacanya, kita mungkin tidak akan percaya ketika
tulisan-tulisan itu mendapat komentar dari tamu yang singgah.
Nah,
terkait judul tulisan, kiranya kita mengerti betapa saat ini dibutuhkan
coretan-coretan Kang Santri. Coretan yang tentunya mengajak kepada jalan
kebenaran. Sebuah kegiatan dakwah yang tentunya tidak bisa mereka tawar. Karena
dengan memilih jalan hidup menjadi seorang santri, secara langsung mereka
terpilih menjadi da’i; Berkewajiban menyampaikan sesampainya di daerah
masing-masing.
Dan
ternyata, seperti paparan di atas, untuk membuat sebuah tulisan tidak sesulit
yang kita bayangkan. So... Ayo buat website. Kalau belum mampu, konsultasi
dengan jasa pembuatan website. Tidak mampu juga, membuat blog bisa jadi
alternatif. Karena ternyata pula, dengan menulis kita bisa meraup rupiah.
Semoga
bermanfaat serta selamat menggoreskan tinta dan bermain dengan keyboard Anda.