-->

Nasib Barokah; Besok dan Lusa

Oleh Alfa RS.

"Wama yalil mudhofa ya'ti kholafa, 'anhu fil i'rabi ida ma hudifa," Ibnu Malik.

Tunas, spora, dan rhizoma, akan selalu siap maju ketika pendahulunya telah usang. Begitu juga dengan generasi muda, sudah dipastikan akan menjadi pemegang tongkat estafet bagi keluarga, agama, bangsa, dan tentunya buat peradaban. Untuk menciptakan pengganti-pengganti yang unggul, dibutuhkan perawatan intens agar apa yang dicita-citakan tercapai.

Demi memelihara tunas harapan itu, wajar jika dalam pembukaan Undang-Undang Dasar (UUD) Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dinyatakan bahwa salah satu tujuan Negara Republik Indonesia adalah mencerdaskan kehidupan bangsa, dan untuk itu setiap warga negara Indonesia berhak memperoleh pendidikan yang bermutu sesuai dengan minat dan bakat yang dimilikinya tanpa memandang status sosial, ras, etnis, agama, dan gender.

Dan dewasa ini, jutaan anak usia sekolah di negara kita masih belum mendapatkan kesempatan bersekolah. Menurut data yang dipublikasikan Inspektorat Jenderal Depdiknas (Departemen Pendidikan Nasional), sekitar 1,5 juta anak usia 13-15 tahun terpaksa putus sekolah.

BOS
Untuk menanggulangi problem di atas, salah satu solusi pemerintah melalui Kemendiknas (Kementrian Pendidikan Nasional) adalah menyediakan pendanaan biaya non-personalia khusus bagi satuan pendidikan dasar (Sekolah Dasar [SD] dan Sekolah Menengah Pertama [SMP]) sebagai pelaksana program wajib belajar. Atau program yang biasa kita dengar dengan istilah BOS (Bantuan Operasional Sekolah).

Secara umum, tujuan dari program yang dimulai sejak Juli 2005 ini adalah untuk meringankan beban masyarakat terhadap pembiayaan pendidikan dalam rangka wajib belajar 9 tahun yang bermutu. Sedang secara khusus bertujuan untuk menggratiskan seluruh siswa miskin di tingkat pendidikan dasar dari beban biaya operasional sekolah, baik di sekolah negeri maupun swasta. Menggratiskan seluruh siswa SD negeri dan SMP negeri terhadap biaya operasional sekolah, kecuali pada Rintisan Sekolah Bertaraf Internasional (RSBI) dan Sekolah Bertaraf Internasional (SBI). Dan meringankan beban biaya operasional sekolah bagi siswa di sekolah swasta.

Dari trilyunan rupiah yang dianggarkan, besarnya biaya satuan BOS yang diterima oleh sekolah termasuk untuk BOS Buku, dihitung berdasarkan jumlah siswa dengan ketentuan; SD/MI (Madrasah Ibtidaiyah) di kota sebesar 400.000 rupiah /siswa/tahun, sedang SD/MI di kabupaten Rp. 397.000,- /siswa/tahun. Untuk SMP/MTs (Madrasah Tsanawiyah) di kota dapat jatah Rp. 575.000,- /siswa/tahun, dan SMP/MTs di kabupaten sebesar 570.000 rupiah /siswa/tahun.

Diantara alokasi dana BOS adalah untuk pembelian buku teks pelajaran dan buku referensi untuk dikoleksi diperpustakaan, pembiayaan kegiatan kesiswaan dan termasuk pembiayaan ulangan harian, ulangan umum, serta pemberian bantuan biaya transportasi bagi siswa miskin yang menghadapi masalah biaya transport dari dan ke sekolah. Dana BOS tidak diperbolehkan untuk disimpan dalam jangka waktu lama dengan maksud dibungakan, dipinjamkan kepada pihak lain, membiayai kegiatan yang tidak menjadi prioritas sekolah dan memerlukan biaya besar –misalnya studi banding, studi tour (karya wisata) dan sejenisnya, membayar bonus dan transportasi rutin untuk guru, membeli pakaian (seragam) bagi guru atau siswa untuk kepentingan pribadi (bukan inventaris sekolah), digunakan untuk rehabilitasi sedang dan berat, membangun gedung atau ruangan baru, membeli bahan atau peralatan yang tidak mendukung proses pembelajaran, dan membiayai kegiatan yang telah dibiayai dari sumber dana pemerintah pusat atau pemerintah daerah secara penuh atau secara wajar, misalnya guru kontrak (guru bantu). Dan jika masih ada sisa dana BOS, semisal sekolah tidak mempunyai siswa miskin, maka dana BOS digunakan untuk mensubsidi seluruh siswa sehingga dapat mengurangi pungutan, sumbangan, atau iuran yang dibebankan kepada orang tua siswa, minimum senilai dana BOS yang diterima sekolah.

Kemudian mulai tahun 2007, pengelolaan program BOS Kemendiknas dan BOS Depag (Departemen Agama) dipisahkan. Kemendiknas bertanggung jawab menyalurkan dana BOS ke sekolah SD/SMP, baik negeri maupun swasta yang berizin operasional dari Dinas Pendidikan. Sedangkan Departemen Agama, menyalurkan dana ke MI/MTs/Sekolah keagamaan lainnya, dengan izin operasional dari Depag. Pemerintah provinsi, kabupaten atau kota.

Gebrakan gubernur Jawa Timur

Sejak masa kampanye pilihan gubernur, Soekarwo (Pakde Karwo) dan wakilnya Saefullah Yusuf (Gus Ipul), menggemborkan program yang cukup menarik perhatian, meningkatkan derajat lembaga pendidikan agama yang tetap konsisten di jalur informal, seperti madrasah diniah dan pondok pesantren salaf.

Di mata mereka, pendidikan adalah hal urgen bagi terciptanya sebuah pembangunan. Karena mengingat potensi kekayaan Jatim yang melimpah, tentulah membutuhkan sumber daya manusia (SDM) yang berkualitas sebagai modal mendayagunakan potensi tersebut dengan pembangunan di berbagai sektor. Sedangkan dana BOS yang dikucurkan Depdiknas, menurut Pakde Karwo dan Gus Ipul, belum menjangkau madrasah diniyah (Madin) secara umum. Padahal Madin pun (pesantren) adalah lembaga yang telah terbukti mencerdaskan masyarakat dan berjasa bagi pembangunan. Setidaknya dalam wilayah moral, yang sampai saat ini belum bisa dilakukan lembaga pendidikan lainnya.

Karena itu, dengan adanya kekhususan lembaga pendidikan diniyah di Jatim, Pemprov Jatim mengucurkan BOS daerah. Ringkasnya, Pemprov Jatim berusaha meningkatkan kesetaraan antara Madin dan lembaga pendidikan umum lain dalam hal fasilitas. Dalam pelaksanaannya, BOS daerah tidak sepenuhnya dikucurkan oleh Pemprov, melainkan dengan sharing. Artinya, antara Pemprov dan Pemkab serta Pemkot urunan. Masing-masing limapuluh persen yang diambilkan dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD).

Dalam pelaksanaannya, tidak semua Madin medapatkan kucuran. Dana hanya akan diperoleh lembaga yang mau menyisipkan empat mata pelajaran; Bahasa Indonesia, Matematika, Pendidikan Kewarganegaraan, dan Ilmu Pengetahuan Alam (IPA).

Bagi Madin yang sepakat dengan kebijakan tersebut, nantinya setiap santri ula (setara SD) mendapat biaya operasional Rp. 15.000 rupiah per bulan. Sedang santri wustho (setara SMP) Rp. 25.000 per bulan. Untuk para pengajarnya, per bulan mendapatkan Rp. 960.000 untuk yang setara SD dan Rp 1.440.000 yang setingkat SMP. Dengan catatan, guru tersebut mengajar minimal 24 jam dalam sebulan.

Sejak 2006 sampai 2010, tercatat sekitar 4000 guru Madin yang disekolahkan Pemprov Jatim. Untuk meraih gelar S1, mereka tersebar di perguruan-perguruan tinggi agama Islam (PTAI) yang ada di Jawa Timur. Bahkan menurut Gus Ipul, tahun 2014 diharapkan jumlahnya meningkat 10.000-12.000 guru.

Karena besarnya dana yang dibutuhkan, sampai saat ini, baru 13 dari 38 kabupaten/ kota di Jatim yang telah menandatangani perjanjian nota kerja sama dengan Pemprov Jatim terkait dana sharing ini. Padahal, pemkab/ pemkot hanya diharuskan menyisipkan 40 persennya saja, sisanya Pemprov yang menanggung.

Eksistensi barakah di pesantren
Terlepas dari perbedaan pendapat mengenai pondok dan pesantren (secara terminologis dan historis), kiranya ada benarnya hipotesa bahwa jika kita (baca; Indonesia) tidak mengalami penjajahan, mungkin pertumbuhan sistem pendidikan akan mengikuti jalur yang ditempuh pesantren-pesantren. Sehingga perguruan-perguruan tinggi yang ada sekarang ini tidak akan berupa ITB, UI, IPB, UGM, UNAIR ataupun lainnya tetapi mungkin namanya Universitas Termas, Krapyak, Tebuireng, Langitan, Ploso, Lirboyo dan seterusnya. Kemungkinan ini ditarik setelah melihat dan membandingkan dengan sistem pendidikan di Barat sendiri. Dimana hampir semua Universitas terkenal cikal bakalnya adalah perguruan-perguruan yang semula berorientasi keagamaan.

Kesuksesan pesantren dalam menuntun anak didiknya (baca; santri), tidak bisa dilepaskan dari peran santri itu sendiri. Dimana kebanyakannya, ketika mereka memutuskan untuk menempuh pendidikan di pesantren adalah murni untuk mencari ilmu pengetahuan. Bukan dengan pandangan kemana dan bagaimana nasib mereka setelah selesai belajar. Begitupun dengan para pengajarnya. Di benak mereka, tidak pernah terbersit berapakah nominal yang akan diterima setiap bulannya. Karena Islam mengajarkan, orang yang mengerti harus membagi ilmunya pada mereka yang tidak mengerti. Ringkasnya, masyarakat pesantren masih kental dengan aroma berkah.

Pola pikir yang tertanam dalam pesantren itu ternyata bukan isapan jempol. Meskipun terus menuai kritik –tanpa menutup mata dari sebagian yang lain, banyak jebolan pesantren meraih kesuksesan. Bahkan tidak sedikit mampu mengalahkan mereka yang jauh-jauh hari meraba masa depannya.

Seperti mata uang, kehidupan memiliki dua sisi yang tidak mungkin disatukan. Begitu pula lembaga pendidikan. Dan bagi sebagian, mungkin kepedulian pemerintah Jawa Timur pada pesantren menghembuskan kebahagiaan.
NEXT ARTICLE Next Post
PREVIOUS ARTICLE Previous Post
NEXT ARTICLE Next Post
PREVIOUS ARTICLE Previous Post