-->

Memahami Suroan; Sebuah Keniscayaan

Oleh: Alfa RS

Muqoddimah
Dari sejarah yang mencatat berbagai versi tentang awal masuknya Islam di Indonesia, kita dapat mengambil kesimpulan bahwa Islam bukanlah keyakinan pertama yang ada di Nusantara. Puluhan tahun sebelum para pedagang India, China, atau Persia menginjakkan kakinya di pulau Jawa, nenek moyang kita telah memiliki berbagai macam keyakinan. Dari sana pula, kemudian muncul berbagai budaya yang tidak lepas dari warisan mereka.

Setiap orang tua tentunya tidak ingin mewariskan hal-hal negatif pada keturunannya, setidaknya itulah fitrah manusia ketika orang tua mau membenarkan hati nuraninya. Namun melihat warisan budaya kita yang kadang banyak mengandung sisi negatif, muncul berbagai pertanyaan; Apakah ini murni warisan nenek moyang, ataukah warisan orang lain yang di titipkan pada leluhur kita? Sedikit tulisan ini mencoba mengupasnya.

Jawa
Sebelum datangnya agama-agama di tanah air kita, kerohanian bangsa masih bersifat animistik/dinamistik. Mereka mempunyai paham yang beranggapan bahwa alam atau semua benda memiliki roh atau kekuatan dan percaya bahwa kekuatan itu dapat mempengaruhi keberhasilan atau kegagalan usaha manusia dalam mempertahankan hidupnya.[1] Kepercayaan inilah yang oleh Karen Armstrong (2002) disebut monoteisme primitif, percaya kepada Tuhan yang Esa.

Sebagai kepulauan yang strategis, yaitu terletak diantara dua benua (Asia dan Australia) dan dua samudra (Indonesia dan Pasifik) yang merupakan daerah persimpangan lalu lintas perdagangan dunia, menjadikan selat Malaka secara otomatis tempat persinggahan perdagangan antara Cina dan India. Akibat hubungan dagang tersebut, maka terjadilah kontak/hubungan antara Nusantara dengan India dan Cina. Dari hubungan itulah, banyak pakar berpendapat awal mula masuknya keyakinan Hindu dan Budha.

Agama Hindu masuk ke kepulauan Nusantara diperkirakan pada awal tarikh Masehi, dibawa oleh para pedagang dan musafir dari India. Di antara mereka adalah: Maha Resi Agastya yang di Jawa terkenal dengan sebutan “Batara Guru” atau “Dwipayana” dan para musafir Tiongkok, di antaranya, rahib Buddha bernama Fa Hien.[2]

Masyarakat yang pada mulanya menyembah kepada Tuhan yang monoteis. Namun, seiring dengan perkembangan sosial –bisa juga dikatakan akibat masuknya ajaran Hindu-Budha, orang Jawa mulai mengembangkan Tuhan yang dikontruksinya ke berbagai macam bentuk. Sehingga mereka mulai mengenal banyak Tuhan yang direpresentasikan lewat pemujaan terhadap roh, benda-benda keramat, gunung, bebatuan, pohon, hewan, dan lain sebagainya. Karena dalam Hindu diajarkan kepercayaan bahwa terdapat jiwa dalam setiap makhluk hidup yang disebut Atman, sebuah jiwa percikan dari Brahman (sebutan untuk Tuhan).

Segala sesuatu selain Brahman/Atma sebenarnya adalah bayangan dari padanya, dan wujud yang sebenarnya adalah wujudnya Brahman.[3]

Selanjutnya, Hindu bukan hanya memberi pengaruh kerohaniaan. Keyakinan yang berasal dari India inipun membawa penanggalan, Saka. Sebuah kalender yang menggunakan sistem bedasarkan pada pergerakan matahari yang sudah ada di daratan India sejak tahun 78 Masehi.

Sejarah mencatat, setelah agama Islam masuk Nusantara, pada tahun 1555 bertepatan dengan tahun 1633 Masehi, di Mataram Sultan Agung Prabu Hanyokrokusumo (memerintah Mataram pada 1613-1645 M.) mengeluarkan dekrit untuk merubah penanggalan Saka. Maka sejak saat itu, diberlakukanlah kalender Jawa Islam yang berlandaskan pada pergerakan bulan sebagaimana penanggalan Hijriah.

Nama-nama bulan Saka yang dulunya mengadopsi dari India; Kasa (nama bulan pertama; dalam kalender Saka India dinamakan Srawanamasa), Karo, Katiga, Kapat, Kalima, Kanaem, Kapitu, Kawolu, Kasanga, Kasepuluh, Dhesta dan Sadha. Dirubah dengan mengadopsi beberapa nama dari kalender Hijriah menjadi; Sura (bulan pertama), Sapar, Mulud, Bakda Mulud, Jumadil Awal, Jumadil Akir, Rejeb, Ruwah, Pasa, Sawal, Sela/Dulkangidah dan Besar.

Suro
Sampai saat ini, masih banyak masyarakat menganggap bulan Suro sebagai bulan penuh musibah, kesialan dan sangat sakral. Sehingga kita akan melihat berbagai ritual untuk menghindari kesialan, bencana dan musibah dilakukan mereka. Diantaranya adalah acara ruwatan, yang berarti pembersihan, kirab pusaka, larung sesaji, dan lain sebagainya.

Merenungkan kegiatan tersebut, kita akan secara jelas menemukan proses pencampuran beberapa kebudayaan. Setidaknya dimulai dengan upaya Sultan Agung, yang merumuskan gagasan menyatukan satu Suro dan satu Muharam sebagai tahun baru Jawa sekaligus tahun baru Islam.

Mungkin bagi beliau, Jawa dan Islam bukan dua wujud budaya yang harus dipertentangkan. Islam hendaklah tampil bukan dalam kulit Arab dan keketatan aturan fikihnya, melainkan dalam format kultur Jawa yang enak. Dan sebaliknya, Jawa harus ramah dan mampu menyesuaikan diri terhadap Islam, yang saat itu relatif masih baru. Sultan Agung memberi kita warisan budaya penting. Di zaman itu beliau sudah bicara pribumisasi Islam, jawanisasi Islam, dan kontekstualisasi Islam.

Sedekah laut dan jamasan pusaka yang rutin diadakan pihak kraton-kraton Jogja saat memasuki tahun baru (menurut mereka) Jawa, pada akhirnya menghentikan tujuan utama proses akulturasi budaya leluhurnya. Karena jika kita melihat kenyataan, sedikit sekali masyarakat yang mampu mencium tujuan awal diadakannya budaya tersebut.

Menurut pakar antropologi Amerika, Clifford Geertz dalam The Religion of Java, masyarakat Jawa terbagi menjadi tiga kelompok: kaum santri, abangan dan priyayi. Meskipun pendapat atas penelitiannya pada tahun 60an itu akhir-akhir ini banyak yang meragukan, tapi bila melihat perayaan satu Suro, kiranya perlu kita renungkan.

Suro adalah bulan pertama dalam kalender Jawa Islam, yang sudah semestinya bila orang Jawa merayakannya. Namun orang Jawa yang mana, santri, abangan ataukah kalangan priyayi?

Muharram
Hijriah atau sanah hijriah berasal dari kata hijrah (pindah) yang disandarkan pada huruf ya’ nisbat yang dinisbatkan pada kata sanah (tahun). Hijriah berarti tahun yang dihitung sejak hijrah Nabi Muhammad Saw. dari Mekah ke Madinah.

Sebelum datangnya Islam, di tanah Arab dikenal sistem kalender berbasis campuran antara bulan (qomariyah) dan matahari (syamsiyah). Peredaran bulan digunakan, dan untuk menyelaraskan dengan musim dilakukan penambahan jumlah hari (interkalasi).

Pada waktu itu, belum dikenal penomoran tahun. Sebuah tahun dikenal dengan nama peristiwa yang cukup penting di tahun tersebut. Misalnya, tahun dimana Muhammad lahir, dikenal dengan sebutan “Tahun Gajah”, karena pada waktu itu terjadi penyerbuan Ka’bah di Mekkah oleh pasukan gajah yang dipimpin oleh Abrahah, Gubernur Yaman (salah satu propinsi Kerajaan Aksum, kini termasuk wilayah Ethiopia).

Pada era kenabian Muhammad, sistem penanggalan pra-Islam digunakan. Pada tahun ke-9 setelah Hijrah, turun ayat 36-37 Surat At-Taubah yang melarang menambahkan hari (interkalasi) pada sistem penanggalan.

Akhirnya, pada tahun 638 M (17 H.), tepatnya 6 tahun setelah wafatnya Nabi Muhammad, khalifah Umar bin Khattab menetapkan awal patokan penanggalan Islam adalah tahun dimana hijrahnya Nabi Muhammad dari Mekkah ke Madinah. Penentuan awal patokan ini dilakukan setelah menghilangkan seluruh bulan-bulan tambahan (interkalasi) dalam periode 9 tahun. Tanggal 1 Muharam tahun 1 Hijriah bertepatan dengan tanggal 16 Juli 622, dan tanggal ini bukan berarti tanggal hijrahnya Nabi Muhammad. Peristiwa hijrahnya Nabi Muhammad terjadi bulan September 622 M. Dokumen tertua yang menggunakan sistem Kalender Hijriah adalah Papirus di Mesir pada tahun 22 H.

Sebenarnya, bukan hanya hijrahnya Nabi yang bisa dijadikan awal mulanya kalender Hijriah. Banyak peristiwa penting yang dapat dijadikan awal mula perhitungan tahun Islam ini. Seperti tahun kelahiran Nabi, tahun saat Beliau diangkat menjadi Nabi, tahun terjadinya perang Badar, tahun terjadinya haji wada’ (perpisahan) atau tahun wafatnya Rasullullah Saw. Tapi mengapa yang dipilih adalah tahun dimana Nabi hijrah?

Berlandaskan hal-hal tersebut, pemerintahan khalifah Umar bin Khattab akhirnya menetapkan tahun peristiwa tersebut sebagai tahun pertama Hijriah. Perhitungan ini bukanlah sebuah sistem yang sentimental, tetapi merupakan sistem yang mempunyai kedalaman agama dan peristiwa sejarah yang penting. Karena hijrah merupakan pengorbanan untuk sebuah kebenaran atas wahyu. Hijrah merupakan perintah ilahiah. Allah menginginkan manusia untuk memperjuangkan kebenaran. Dan tahun Islam mengingatkan kaum muslim bahwa pada setiap tahun bukan terhadap kemenangannya, tetapi akan banyaknya pengorbanan yang sama seperti yang telah dilakukan kaum Muhajirin dan Anshar itu.

Ikhtimam
Ada dua faktor pokok yang dapat kita tarik kesimpulan. Pertama, bagi seorang muslim, pergantian tahun Hijriah dan tahun Jawa yang hampir selalu bersamaan menimbulkan masalah baru. Kenapa tidak? Suro yang amat sakral menurut ajaran Jawa, jika diamalkan (melaksanakan ritual yang tidak memuat ajaran agama, meyakini kesakralan Suro) dengan dalih melestarikan budaya, jelas akan bertentangan dengan ajaran Islam dan ini adalah faktor yang utama. Karena sudah maklum dikalangan muslim (khususnya yang diyakini Nahdliyyin) bahwa hanya Allahlah yang mengetahui rahasia hari esok. Kita tidak bisa menerka besok akan kemana dan bagaimana kondisinya.

Jangankan perayaan satu suro, wong perayaan satu Muharram saja tidak pernah diajarkan dalam ajaran Islam, baik dari al Quran, al Hadis, ijma ataupun qiyas. Artinya, perayaan itu tidak pernah diperintahkan dan tidak pernah dilarang. Perayaan itu boleh-boleh saja (jawaz), asal tidak mengakibatkan orang awam menganggap bahwa perayaan itu diperintahkan.[4]

Faktor kedua adalah kemiskinan. Coba saja amati pengunjung acara-acara seperti suroan, terlihat bahwa bukan kesan melestarikan budaya. Melainkan hanya sekumpulan masyarakat yang putus asa dengan kehidupannya. Mereka menginginkan kehidupan yang lebih baik. Di kepala mereka, mungkin, dengan berebut dan mendapatkan makanan atau sesajen, akan memperlancar rezekinya.

Melestarikan budaya memang sebuah harga mati yang tidak mungkin kita tawar. Namun ketika hal itu menimbulkan sisi negatif yang lebih besar, sudah seharusnya kita berpikir ulang. Wallahu ‘Alam

Footnote:
1]. DR. Anwar Harjono SH. Indonesia Kita: Pemikiran Berwawasan Iman-Islam, Gema Insani Press, 1995. Hal. 154-155.
2]. http://www.wacananusantara.org/
3]. Moh. Rifai, Perbandingan Agama, Wicaksana, Semarang, hal. 80-81.
4]. Nihayatu al-Zain, hal. 196.
NEXT ARTICLE Next Post
PREVIOUS ARTICLE Previous Post
NEXT ARTICLE Next Post
PREVIOUS ARTICLE Previous Post