-->

Maha Besar

Oleh: Alfa RS.

Sepertiga umurku telah habis menanti kesempatan itu. Keadaan yang dirindukan muslim lainnya, mungkin begitu. Karena memang saat itu sangat banyak sekali faedahnya, terutama nanti ketika kita hidup di akhirat, seperti kata kiai waktu pengajian kemarin. Kesempatan itu tidak bisa kita atur. Semua panggilan itu telah rapi tertata pada ’buku-Nya.’ Bagi yang dapat giliran, jangan pikir bagaimana caranya. Karena semuanya berjalan atas kehendak-Nya. Seperti ketika namaku disebut pada ’buku’ itu.
Ya, penantian panjangku akhirnya berakhir. Hari ini, kediamanku penuh sesak dengan kehadiran tetangga. Aku terkejut. Karena aku merasa tidak mengirimkan undangan pada mereka untuk berkumpul di sini melepas kepergianku ke tanah suci.
Aku heran, hari ini kenapa mereka perhatian padaku. Dalam senyum yang entah tulus atau tidak, aku melihat mereka seakan berkata; jangan lupakan aku kawan. Mereka yang biasanya untuk menyapa saja ogah, di depanku cengar-cengir layaknya pakar koalisi.
”Duh, kamu ini bisa saja ya. Baru juga beberapa hari lalu melunasi hutang di warung kopinya Mamang. Eh, tanpa disangka sudah mau berangkat ke Mekkah. Doain Mamang ya Pen,”  Mang Durip, pemilik warung langgananku memohon.
Aku tidak bisa berkata apa-apa. Aku sendiri juga masih ragu, benarkah semua itu. Pastikah kupon dari bungkus kopiku benar-benar akan membawaku sampai ke tanah suci?
Sejauh ini, walaupun aku masih sempat tidak percaya, aku yakin bahwa semua yang telah digariskan-Nya akan berjalan begitu saja. Semua keperluan untuk berhaji telah ada di tangan. Kemarin malam orang ’sepatuan’ yang mengantarnya, katanya dari bos kopi yang biasa aku beli. Tinggal buat ’jajan’. Sampai semalam aku masih bingung memikirkan masalah ini. Tapi tidak disangka tetangga pada tahu aku akan berangkat, tanpa aku mondar mandir mencari hutang seperti biasanya, mereka entah tulus atau tidak, saat ku hendak keluar dari kampung, aku merasa saku kiri dan kanan bajuku penuh dengan bungkusan. Ingin sekali aku membuka amplop itu, tapi tak mungkin. Malu.
“Pasti isinya ongkos jajan,” pikirku dalam hati.
Walaupun aku membutuhkan itu, sempat terpikir untuk mengembalikannya. Aku tak mau keberangkatanku dicampuri hal-hal sepele yang mungkin menodai perjalanan suciku. Karena aku tahu, seperti sudah terlaku di berbagai daerah. ’Shadaqah’ kepada jamaah haji, sesudah dan setelah mereka pulang, ada yang mengartikannya sebagi pinjaman. Diganti dengan barang-barang Arab, walau kadang barang itu jamaah beli di Jakarta atau daerah Indonesia sebelum dia memasuki daerahnya. Jika bukan itu, setidaknya untuk biaya mendoakan si pemberi ’shadaqah’ di depan Ka’bah.
Aku tidak mungkin memenuhi semua itu. Aku tidak akan mempunyai keyakinan bahwa jajanku pemberian para tetangga yang akhirnya membebani mentalku. Amplop ini rejeki yang Allah berikan padaku dengan perantara para tetangga. Aku juga tidak mau mendoakan saudara sesama muslimku ketika mereka memintanya, walau kadang mereka menyakitiku. Seperti yang diajarkan baginda Muhammad.
Tetanggaku, maafkan aku. Jika aku pulang tidak membawa apa-apa, bukan maksudku balas dendam dengan apa yang telah kalian perbuat padaku. Meski tiap hari kalian menghinaku, aku janji, di tanah suci nanti aku akan mendoakan kalian. Semoga hati kalian terbuka, bahwa kita ini saudara.

***
Bandara King Abdul Aziz ternyata jauh dari dugaanku. Begitu luas dan megah; mungkin karena memang ini bandara kedua yang aku lihat, setelah beberapa jam lalu untuk pertama kalinya ku lihat Bandara Juanda, Surabaya.
Di pesawat aku duduk berdampingan dengan Pak Sajak, begitu beliau mengenalkan diri. Mantan orang ’penting’. Selama perjalanan ku lihat dia bersemangat sekali mengumandangkan keagungan-Nya. Hal yang bagiku biasa, karena dalam perbincangan dengannya, aku tahu bahwa dia memang bukan orang ’bersih’ ketika berkuasa. Dengan kepergiannya ini, dia berharap Tuhan mengampuni segala keluputannya. Pak Sajak berterus terang tentang semua ’kedzalimannya’ padaku, baik yang dia lakukan pada dirinya sendiri maupun pada orang lain.
Orang penting yang ternyata tidak ’buta’ agama ini, merasa salah pada dirinya karena membiarkan dirinya melakukan kesalahan. Sedang untuk kesalahan pada orang lain, tidak bisa diungkapkan satu persatu, karena dia sendiripun tidak ingat lagi sudah berapa banyak kesalahan yang pernah diperbuatnya.
Tapi ada satu hal yang sempat membuatku naik darah. Dia bercerita pembangunan kawasan taman hiburan yang waktu pengerjaannya menimbulkan kericuhan. Bagaimana tidak, hektaran pemukiman kaum pinggiran diratakan dengan tanah. Termasuk tempat tinggal kawan dan familiku. Tapi apa mau dikata, perlawanan mereka sia-sia. Mereka harus merelakan sedikit yang mereka punya dari kerja keras tiada duanya, hanya gara-gara tanda tangan ’orang penting.’
Tapi aku masih bisa mengendalikan diri. Siapa aku ini? Biarlah itu menjadi catatan suram sejarah yang mungkin akan bermanfaat bagi generasi berikutnya.
”Monggo…”
Pak Sajak menghamburkan imajinasiku. Dengan logat khasnya berlalu menuju angkutan yang akan membawa kami ke penginapan.
Alhamdulillah, entah bagaimana prosedurnya, rombongan kami langsung berangkat. Terlihat seorang nenek di kumpulan jamaah haji Negara berbendera tiga warna sedang menunggu angkutan. Ada keinginan menolong. Tapi apa daya. Aku tidak bisa memilih, seperti cerita keterpaksaan Pak Sajak mengambil keputusan menyetujui penggusuran.  

***
Masya Allah! Maha Besar ia yang telah menghijaukan halamanku. Sepanjang jalan tak pernah ku lihat kokohnya pepohonan, apalagi yang rindang. Hanya ada beberapa kelapa genja, pikirku, di sudut kota. Mungkin itulah kurma. Entahlah? Ustadz Yuda Pratama, ketua regu kami, tidak menerangkan pemandangan itu. Aku tidak tahu sedang melintasi daerah mana. Dia hanya sibuk memimpin kalimat doa.
Andai aku jadi pemandu. Akan ku katakan; "Lihatlah! Bagaimana Allah mengatur bumi sedemikian rupa. Di bumi mulia ini yang terlihat hanya pasir. Pasir yang di kampung kita begitu mahal harganya. Atau di pojok bumi lain, tidak akan kita jumpai pasir, hanya gumpalan-gumpalan es menggunung, seakan tak berharga. Es yang di tanah ini menjadi barang mahal. Maka, Maha Besar Allah yang telah melahirkan kita di bumi Indonesia. Berbahagialah kita menjadi orang Indonesia. Bersyukurlah! Karena dengan bersyukur, kata Pak Ustadz Tuhan akan menambahkan yang kita punya."
Ah, aku kecewa! Kenapa ketua reguku hanya menuntun lidahku mengagungkan-Nya. Kenapa bukan hatiku.
Aku memang yakin akan janji-Nya; ibadah di tanah suci berlipat pahalanya. Tapi apakah rombongan ini benar-benar memenuhi syarat untuk mendapat janji itu. Aku ragu. Karena aku sendiripun tidak separipurna itu.
”Wah! Lihat Pak, itu barang yang ada di acara liputan haji televisi tahun kemarin. Nanti kalau pulang kita minta mampir kesitu yuk. Barang itu pasti akan jadi kado spesial buat pacarku.” Kata salah seorang rombongan.
Sontak aku melirik remaja yang duduk di depan itu. Terlihat kakak beradik sedang menikmati pemandangan. Perasaan iba seketika muncul di hatiku ketika orang tua mereka mengangguk tanda setuju. Entah apa makna perjalanan ini bagi mereka.

***
Allaahu Akbar, Allaahu Akbar, Allaahu Akbar.
Dari depan Ka’bah ku lihat matahari baru akan menuju peraduannya, namun kumandang takbir sudah menggema. Rasanya baru kemarin aku menginjakkan kaki di tanah suci, baru juga beberapa hari aku merasakan hunian yang tak ubahnya kontrakan buruh. Bagaimana tidak? Dengan uang berpuluh-puluh juta, ternyata kami ditumpuk dalam pemondokan. Entah ini salah siapa? Peraturan pemerintah Arab Saudi ataukah dibohongi wakil-wakil kami.
Seperti ketika pertama kali masuk Masjidil Haram, perasaan takjub, antara ya dan tidak, kembali menusuk relung hatiku. Detak jantung bergetak keras. Keringat dingin bercucuran. Lidahkupun ngilu. Ya Rabb, Maha Besar Engkau yang telah mengumpulkan kami. Maha Besar Engkau telah memangilku.
Rabb… Aku ragu. Takut sepulangnya dari pertemuan ini aku malah menjadi-jadi. Tak bisa menjaga hati. Karena di tanah yang suci inipun hatiku masih terbang kemana-mana, apalagi nanti aku di rumah.
Rabb… Tetesan air mata ini bukan makna kebahagiaan, bahagia karena telah menjalankan kewajibanku. Bukan pula bentuk syukur, karena jauh di sanubariku masih ingin selalu ’bercengkrama’ dengan-Mu di sini. Air mata ini menetes dari ketakutanku. Beri aku kekuatan menjaga hati ini. Semoga mulai hari ini aku menjadi makhluk-Mu yang bermetamorfis menjadi lebih baik setiap hari.
Rabb… Bukakan hati tetangga hamba. Terangkahlah pada mereka bahwa semuanya di hadapan-Mu sama. Kecuali ketika mereka bertaqwa.
Rabb… Ampuni hamba, ampun…
Dalam linangan air mata, samar-samar dari balik Maqom Ibrahim ku lihat jamaah makin merangkak maju mengelilingi Ka’bah. Makin banyak, tampak kian putih. Memutih dan entah cahaya apa yang ku lihat. Bukan pelangi, tapi indah. Tak nampak lagi kerumunan jamaah, entah mereka kemana atau aku yang ada dimana. Aku makin mengiba mengharapkan ampunnya.
Ampun, ampun, ampuni aku…
Tanpa ku sadari, sosok berkelebat menyapuku. Aku tedorong beberapa meter. Sakit. Maksudku membalas, malakukan perlawanan. Tapi ketika aku membuka mata. Tak ada lagi kain penutup Ka’bah, kerumunan jamaah, apalagi pelangi itu. Di depanku aparat dengan gagahnya berdiri. Menarik seenaknya diriku seakan aku tak berakal. Seperti biasa, katanya demi keindahan kota maka kami diamankan.
Tuhan, Maha Besar Engkau yang malam ini memberiku makan. Walau sepertinya akan aku nikmati dari balik teralis besi. Terima kasih Tuhan.

Rumah Tua, Idul Adha 1430.


NEXT ARTICLE Next Post
PREVIOUS ARTICLE Previous Post
NEXT ARTICLE Next Post
PREVIOUS ARTICLE Previous Post