-->

PKL, Kerikil Padang Pasir

Oleh: Alfa RS

Seabad sudah Negara kita bangkit, katanya. Pancasila, banyak yang membicarakannya. Kemanusiaan yang adil dan beradab, masih dihafal menjadi sila kedua. Bukan itu saja, pada tanggal 13 Agustus 2003, pemerintah menetapkan setiap orang berhak untuk hidup serta berhak mempertahankan hidup dan kehidupannya. Lalu pada BAB XIV Pasal 34 ayat 1, pemerintah menjamin kehidupan para fakir miskin dan anak-anak yang terlantar dipelihara oleh Negara. Namun, sudahkah semua konsep itu terlaksana setelah sekian lama kita merdeka?

Berbicara tentang kemiskinan, tentu kita tidak bisa lepas dari yang namanya Pedagang Kaki Lima (PKL), yang akhir-akhir ini semakin dikambinghitamkan oleh Pemerintah Kota (Pemkot), khususnya di pulau Jawa. PKL dituduh menjadi penyebab kebobrokan tatanan kota, perusak keindahan dan ketertiban kota. Padahal, apabila kita mau mengaca pada daerah-daerah yang menjadi objek pariwisata, kehadiran PKL justru sangat dibutuhkan untuk memberikan kepuasan pada para wisatawan. Dengan adanya mereka di sekitar tempat wisata, secara tidak langsung, merekalah yang memperkenalkan keindonesiaan kita dengan beragam bentuk pakaian daerah ataupun juga masakan misalnya.

Lebih parahnya lagi, Pemkot seakan-akan buta akan segala hal tentang orang-orang miskin, yang dalam undang-undang sudah jelas dilindungi. Terbukti apabila ada penertiban, aparat seolah-olah tidak punya jiwa kemanusiaan. Mereka dengan semena-mena mengangkut bahkan menghancurkan satu-satunya harapan fakir miskin.

Benar memang, apabila PKL melanggar undang-undang NO 38 tahun 2004 tentang fungsi jalan. Namun, tidak adakah cara yang lebih manusiawi, yang lebih menegakkan hak asasi manusia (HAM) yang selama ini ramai diperbincangkan?

Terkait masalah PKL, pemerintah pusat semestinya turun tangan, jangan hanya mengelu-elukan fakir miskin dalam undang-undang, yang dijaminlah, dilindungi, dipelihara dan, entah besok apa lagi yang mereka sematkan dalam undang-undang terkait fakir dan miskin. Tapi kanyataannya mana? Solusi relokasi, kami kira kurang tepat. Mengapa?

Pertama, kita harus sadar, para PKL hanya mempunyai modal pas-pasan dan penghasilan yang tidak seberapa. Kita harus mengakui bahwa penghasilan yang minim itu mereka dapatkan setelah mereka mencoba dari tempat satu ke tempat yang lainnya. Kalau ada tempat yang lebih menjanjikan, tentu mereka akan pindah dengan sendirinya. Siapasih yang tidak mau berpenghasilan banyak, mampu menutupi kehidupan keluarga, membahagiankan istri dan anak-anaknya? Orang yang berpendidikan saja, seperti bapak-bapak menteri kita, yang sudah dapat jatah tiap bulannya, masih banyak yang goyang sana goyang sini mencari tambahan materi, seperti kasus-kasus korupsi yang tidak pernah sepi. Iya kan?

Kedua, kitapun harus tahu bahwa di kota bukan hanya ada orang-orang berdasi. Walau ada sebagian orang berdasi yang tidak gengsi nongkrong di lapak-lapak PKL, tapi kebanyakan orang-orang yang tidak berdasilah yang menjadi langganan PKL. Dari kenyataan itu, Pemkot mestinya perlu mempertimbangkan apabila nanti para pedagang kaki lima itu dipindahkan, terus orang-orang miskinnya mau belanja dimana? Ke tempat relokasi? Kayaknya tidak mungkin. Wong kalau di PKL saja kadang-kadang ngutang dulu, lalu dari mana uang untuk ongkos ketempat relokasinya?

Menurut hemat Alfa, pemerintah pusat harus memberikan aturan tegas kepada pemerintah kota agar mereka tidak lagi main kasar pada para PKL. Mereka mengerti akan maksud Pemkot mengalihkan tempat mereka berjualan. Tapi, mereka juga kecewa kepada Pemkot yang tidak mau mengerti kebutuhan mereka. Lahan yang mereka tempati sekarang adalah satu-satunya lahan mereka mengais rezeqi, tempat anak-anak mereka menaruh asa dari bangku sekolah. Kalau mereka sampai dibrangus, akan lebih banyak lagi anak-anak yang berkeliaran dijalan raya. Kalau sudah begitu, mana bentuk pemeliharaan pemerintah terhadap kaum bawah?

Menurut hematku, solusi yang selama ini diterapkan sudah waktunya dirubah. Karena biar bagaimanapun kekerasan tidak akan menyelesaikan masalah. Sikap saling pengertian antara Pemkot dan para PKL lah yang sebenarnya justru akan menambah ketertiban kota. Mereka tidak perlu diusir, yang penting bagaimana lapak-lapak mereka tidak mengganggu jalan raya, bisa diupayakan dengan melakukan pelebaran dan bagaimana pula mereka menjaga kebersihan kota. Hal ini bisa dengan memberlakukan aturan bahwa, setiap PKL yang tidak buang sampah pada tempatnya maka lapaknya akan langsung dibrangus. Mungkin dengan itu semua akan terciptalah komunitas yang saling menguntungkan, masyarakat yang rapih, adil dan makmur tentunya.

Sebagaimana basic penulis yang belajar di pesantren, kami hanya mau mengingatkan pemerintah sekali lagi, bahwa yang namanya kekerasan tidak akan menyelesaikan masalah. Malah, kekerasan yang dilakukan oleh aparat pada para pedagang kaki lima akan menjadi sebuah bomerang bagi pejabat yang berwenang. Karena dalam hal ini mereka didzolimi. Dan orang yang didzolimi itu segala doanya akan dikabulkan.

Atau, pernahkah kita lihat PKL yang digusur malah mendoakan pejabat biar sukses? Saya kira tidak ada. Yang ada justru makian, hinaah dan mendoakan pejabat yang terkait akan segera lengser. Bila sudah begitu, sanggupkah para wakil rakyat dikepengurusan kota menanggalkan jabatannya terlalu cepat? Pemerintah juga harus tahu diri, hal yang menjadikan bobroknya sebuah kota bukan hanya para PKL. Para anggota harus sadar bahwa sampai saat ini moral para anggota dewanpun belum tertata rapi, bobroknya masih menempel dimana-mana. Jadi, kasihanilah orang bawah, jangan tambah kesusahan mereka.

"permintaannya orang yang didzalimi itu ampuh (mudah terkabul) walaupun ia itu bukanlah ahli ibadah, karena masalah ibadah adalah urusan dia dan Tuhannya" seperti itulah kira-kira pesan Muhammad kepada ummatnya agar tidak mudah menyakiti orang lain. Oleh karenanya pikirkan kembali jika PKL benar-benar mau ditertibkan.
NEXT ARTICLE Next Post
PREVIOUS ARTICLE Previous Post
NEXT ARTICLE Next Post
PREVIOUS ARTICLE Previous Post