-->

PREMANISME, Street Crime Vs White Collar Crime

Oleh: Alfa RS.

Nampaknya, sekarang masyarakat sudah bisa sedikit menghela nafas. Pasalnya, razia preman sering dilakukan aparat. Bahkan bulan-bulan kemarin, hampir tiap hari berita razia preman menghiasi layar kaca. Sampai-sampai salah satu jasa pengawalan transportasi ternama di negeri ini ”Gajah Oling” sudah membubarkan diri. Dari program Kapolri ini, perlu ada semacam telaah lebih lanjut mengenai efektifitas dan seberapa besar manfaatnya bagi masyarakat.
Razia premanisme ini memang menuai banyak komentar. Yang paling banyak dipertanyakan adalah, apakah dengan razia ini lantas premanisme akan benar-benar lenyap atau justru hanya dikuasai oleh oknum aparat? Pasalnya, tak sedikit oknum aparat yang justru menjadi backing premanisme, perjudian, dll. Bahkah ”Gajah Oling”pun dikomandani salah seorang purnawirawan TNI.

Banyak yang menghawatirkan pemberantasan ini hanya bersifat sporadis, kegiatan tanpa kelanjutan, kasus-kasus tanpa tepian. Bahkan hanya sebuah program pemulihan nama baik atas kegagalan aparat menyelesaikan kasus-kasus kakap. Kasus sekaliber Munir (aktifis korban premanisme), Tan Edy Tansil (garong yang membobol Bapindo 1.3 T), Maria Pauline Lumowa (preman penggondol uang 1.7 T milik BNI) ataupun penjahat berkerah putih penilap triliyunan uang rakyat lainnya masih menjadi pertanyaan.

Setelah berhasil menamatkan episode Amrozi Cs, mungkinkah penyergapan preman-preman sebuah babak baru upaya kepolisian untuk menyembunyikan kegagalan.
Selama ini tindakan premanisme sangat meresahkan dan merugikan masyarakat. Upaya pemberantasan memang sangat diperlukan untuk menangkal efek negatif premanisme di masa mendatang. Tapi apabila hanya mereka-mereka yang bertato tebal dan sangar, upaya penanganan secara komprehensif tidak akan pernah terwujud. Bukankah semestinya upaya pemberantasan premanisme street crime maupun white collar crime, atas dan bawah, berjalan seimbang sesuai dengan jalurnya masing-masing?

Ada kesan sedang terjadi diskriminasi di Negara kita, khususnya tanah Jawa. Dari pusat ada penggulungan para preman dan pasukan Satpol PP di bawah gencar merobohkan ’istana’ kaum berekonomi rendah. Aparat, apapun itu kewenangannya, semestinya obyektif dalam bertindak. Terutama menyangkut premanisme. Terlebih aparat KPK (Komoisi Pemberantasan Korupsi), banyak sekali preman berkeliaran di daerah mereka, preman ber’kerah pelangi’.

Bila melihat dari sudut substansialnya, preman-preman berdasi adalah pelaku kejahatan yang lebih besar sekaligus keji. Premanisme versi ini hanya dilakukan guna memperkaya diri para pelakunya. Akibatnya, nilai kerugian dari uang rakyat justru lebih besar. Sebaliknya, premanisme jalanan kebanyakan muncul dikarenakan persoalan untuk bertahan hidup akibat sulitnya perekonomian mereka.

Jadi, akan jauh lebih baik jika merebaknya aksi premanisme tidak semata ditangani sebagai kasus pelanggaran hukum. Karena di sisi yang lain akar masalah premanisme sebetulnya adalah kondisi sosial ekonomi masyarakat yang seringkali tidak adil. Jangan pernah kita berpikir seorang preman yang berhasil ditangkap aparat dan dijebloskan ke penjara karena terbukti melanggar hukum akan kapok dan setelah bebas akan meninggalkan dunia premanisme. Dalam kenyataan, penjara justru menjadi sekolah baru yang makin mematangkan semangat mereka untuk lebih masuk dalam pusaran dunia premanisme, mengembangkan jaringan yang lebih kuat, dan akhirnya membangun sindikat yang lebih solid.

Pada dua-tiga dekade silam, kita tentu masih ingat bahwa di tanah air ini pernah dikembangkan aksi petrus (penembakan misterius) untuk memberantas ulah preman dan pelaku kejahatan yang dinilai sudah tidak lagi bisa ditoleransi. Namun demikian, seperti kita lihat, ulah preman ternyata kembali marak dalam beberapa tahun kemudian. Mungkinkah akan ada petrus-petrus lanjutan? Karena ada kesan kuat, ketika ulah preman itu makin ditekan, ternyata dalam perkembangannya ulah mereka justru makin resistan dan taktis menyiasati tekanan.

Dengan demikian, meskipun cara-cara yang dikembangkan polisi belakangan ini terbukti secara temporer membekukan aksi premanisme untuk tidak lagi terlalu pongah dan merugikan masyarakat. Tetapi, untuk memberantas preman hingga ke akar-akarnya, tentu yang dibutuhkan bukan hanya tindakan penghukuman dan sikap represif yang terkadang malah memperbesar daya resistansi mereka. Kita harus mampu membaca akar timbulnya premanisme. Kemiskinan, kelangkaan kesempatan kerja, marginalisasi, dan kekuasaan yang cenderung korup adalah habitat yang subur bagi perkembangan premanisme di tanah air. Ketika itu sudah sanggup kita redam, mungkin dengan sendirinya premanisme sirna dari negeri tercinta.

Melirik ”Embah”nya Preman

Ketika mendengar kata ”preman”, mungkin bayangan-bayangan buruk langsung menari dibenak kita. Terlebih ketika Kapolri Jenderal Pol Bambang Hendarso Danuri menggencarkan penjaringan mereka. Namun, pernahkah anda lebih jauh mengenal dunia preman?

Menurut Prof. Koentjoro Ph.D. definisi premanisme adalah segala tindakan melawan aturan, vandalisme (perilaku atau perbuatan merusak, menghancurkan secara kasar dan biadab), tindakan brutal, dan merupakan perilaku tidak cerdas yang kebanyakan dengan menggunakan kekuatan (uang, pengaruh, massa, dll.) untuk mendapatkan tujuan tertentu dengan mengabaikan konsensus bersama. Pendapat lain mengatakan, kata Preman berasal dari kata Free Man yang artinya laki-laki penganut gaya hidup bebas seenaknya sendiri, tidak peduli lingkungan, memaksakan kehendak dan lebih jauh lagi mereka adalah pelaku tindakan kriminal. Singkatnya, Preman adalah perilaku seseorang yang membuat resah, tidak aman dan merugikan lingkungan masyarakat.
Ulung Koeshendratmoko berpendapat, ada beberapa kategori Preman yang hidup dan berkembang di masyarakat, mulai Preman tingkat bawah, menengah, atas dan juga kalangan elit. Untuk kelas pertama, penampilannya dekil, bertato dan berambut gondrong. Mereka spesialis tindak kriminal ringan. Untuk kelas menengah lebih rapi dalam berpenampilan dan juga mempunyai pendidikan cukup. Mereka biasanya bekerja dengan suatu organisasi yang rapi dan secara formal organisasi itu legal. Mereka Preman-Preman yang disewa oleh lembaga perbankan untuk menagih hutang nasabah, semisal Agency Debt Collector.

Preman kelas atas adalah kelompok organisasi yang berlindung di balik parpol atau organisasi massa, bahkan berlindung di balik agama tertentu. Untuk tingkat elit ditempati oleh oknum aparat yang menjadi beking perilaku premanisme. Ke-Preman-an mereka biasanya tidak nampak, karena mereka adalah aktor intelektual premanisme.

Kejahatan Masa Lalu

Fenomena kekerasan dalam masyarakat sudah menjalar dari dahulu kala. Ken Arok, sang pendiri kerajaan Singosari, bisa dibilang tadinya juga preman. Ia memulai karir sebagai bandit dan jawara. Tentu, dia bukanlah orang pertama yang membuka akses ke kekuasaan lewat jalur ”bawah tanah.” Hal itu terbukti melalui kajian arkeologi yang bersumber pada tulisan-tulisan Jawa Kuno dalam prasasti. Para penelitipun berhasil menemukan hukum-hukum tertulis era abad ke 9-15 Masehi, mulai kurunnya Raja Dyah Balitung di Jawa Tengah sampai masa pasca Majapahit.

Beberapa di antaranya adalah, pertama, prasasti Balingawan berangka tahun 891 M (disimpan di Museum Pusat Jakarta). Prasasti ini memuat penetapan sebidang tanah di Desa Balingawan menjadi sima (daerah perdikan/otonom). Prasasti itu lahir karena rakyatnya ketakutan, menderita, dan melarat lantaran senantiasa harus membayar pajak denda atas rah kasawur (darah tersebar berceceran) dan wankay kabunan (mayat kena embun). Hal itu terjadi karena dalam hukum Jawa kuno, desa-desa yang menjadi tempat kejadian peristiwa (TKP) mendapat sanksi harus membayar pajak pada raja. Setelah prasasti itu dibuat, barulah Desa Balingawan menjadi sebuah sima, keamanan di jalan besar terjamin, rakyat desa dan dukuh-dukuhnya tidak lagi merasa ketakutan.

Kedua, prasasti Mantyasih (907 M). Di tulis dalam tiga versi berbeda, dua diantaranya di tulis di atas lempengan perunggu dan satu di atas batu. Isi prasasti berkisar tentang penetapan sima dari Raja Rakai Watukura Dyah Balitung kepada 5 patih yang telah berjasa mengerahkan rakyat Desa Mantyasih pada waktu diselenggarakan pesta perkawinan raja. Pada suatu ketika, rakyat desa merasa ketakutan oleh ulah para penjahat dan mereka tidak dapat mengatasinya. Kelima patih diberi tugas untuk menumpas dan menjaga keamanan di jalan.

Ketiga, prasasti Kaladi (909 M). Prasasti ini juga bermasa dari Raja Rakai Watukura Dyah Balitung. Isinya tentang pemberian sima atas permohonan pejabat daerah yang bernama Dapunta Suddhara dan Dapunta Dampi karena ada hutan arapan yang memisahkan (desa-desa) itu menyebarkan ketakutan. Mereka senantiasa mendapat serangan dari Mariwun yang membuat para pedagang dan penangkap ikan merasa resah dan ketakutan siang dan malam. Maka diputuskan bersama, hutan itu dijadikan sawah agar penduduk tidak lagi merasa ketakutan.

Keempat, prasasti Sanguran (928 M). Berisikan beberapa hal yang menyangkut kejahatan, diantaranya: wipati wankay kabunan (kejatuhan mayat yang terkena embun), rah kasawur in dalan (darah yang terhambur di jalan), wakcapala (memaki-maki), duhilatan (menuduh), hidu kasirat (meludahi), hastacapala (memukul dengan tangan), mamijilakan turuh nin kikir (mengeluarkan senjata tajam), mamuk (mengamuk), mamumpan (tindak kekerasan terhadap wanita), ludan (perkelahian?), tutan (mengejar lawan yang kalah?), danda kudanda (pukul-memukul), bhandihaladi (kejahatan dengan menggunakan kekuatan magis).

Kelima, naskah Purwwadhigama. Sistem pengadilan zaman klasik membagi segala macam tindak pidana dan perdata ke dalam 18 jenis kejahatan yang disebut astadasawyawahara. Penulisan ke-18 hukum tersebut tidak selalu lengkap, kadang hanya garis besarnya, mungkin beberapa hal yang dianggap penting/sesuai dengan kondisi saat itu.

Hukum tersebut berisikan: tan kasahuranin pihutan (tidak membayar lagi utang), tan kawahanin patuwawa (tidak membayar uang jaminan), adwal tan drwya (menjual barang yang bukan miliknya), tan kaduman ulihin kinabehan (tidak kebagian hasil kerja sama), karuddhanin huwus winehakan (minta kembali apa yang telah diberikan), tan kawehanin upahan (tidak memberi upah atau imbalan), adwa rin samaya (ingkar janji), alarambaknyan pamalinya (pembatalan transaksi jual-beli), wiwadanin pinanwaken mwan manwan (persengketaan antara pemilik ternak dan penggembalanya), kahucapanin watas (persengketaan mengenai batas-batas tanah), dandanin saharsa wakparusya (hukuman atas penghinaan dan makian), pawrttinin malin (pencurian), ulah sahasa (tindak kekerasan), ulah tan yogya rin laki stri (perbuatan tidak pantas terhadap suami-istri), kadumanin drwya (pembagian hak milik atau pembagian warisan), totohan prani dan totohan tan prani (taruhan dan perjudian
Dengan melihat 18 aturan hukum pidana tersebut, jelaslah bahwa masyarakat Jawa Kuno bukanlah suatu masyarakat yang senantiasa aman, tenteram, damai dan jauh dari segala tindak kejahatan. Dan setidaknya untuk saat sekarang ini ada tiga hal yang sedang marak terjadi saat ini, seperti ulah sahasa (tindak kekerasan), ulah tan yogya rin laki stri (perbuatan tidak pantas terhadap suami istri), serta totohan prani dan totohan tan prani (taruhan dan perjudian).

Kemudian di era Hindia Belanda berjaya, premanisme semakin tumbuh subur. Pada masa ini, para preman semakin tampil ke permukaan. Di Batavia misalnya, para jagoan menguasai jaringan tenaga kerja. Mereka juga menjalin hubungan dengan jaringan pedagang Arab, guru-guru mengaji, serta pentolan-pentolan rampok di kampung-kampung pantai utara Karawang dan hutan-hutan di kaki gunung sebelah selatan. Hubungan tersebut kerap dimanfaatkan untuk menggerogoti kekuasaan kolonial. Karenanya, penguasa kolonial perlu mengerahkan Marsose dan Veldpolitie (polisi kota) untuk menghadapi para jagoan.

Premanisme Hari Esok

Perilaku premanisme dan kejahatan jalanan merupakan problematika sosial yang berawal dari sikap mental masyarakat yang kurang siap menerima pekerjaan yang dianggap kurang bergengsi, kurang memiliki prestise. Menurut psikolog dan dosen Fakultas Psikologi Universitas Medan Area (UMA), Anna WD Puba S.Psi. MSi, penanganan premanisme tidak cukup melalui proses hukum, tetapi harus melibatkan institusi yang berfungsi dalam pembinaan mental.

Perilaku premanisme dan kejahatan jalanan, adalah penyakit masyarakat yang berasal dari belum tertatanya pola pikir dan kesiapan mental dalam menghadapi problematika hidup. Diperlukan formulasi yang tepat untuk mengatasinya.

Walaupun toh jenis preman terbagi dalam dua jenis, preman kecil dan preman berdasi, namun sebagian besar dari aktifitas premanisme dipicu desakan ekonomi. Lapangan kerja minim dan semakin tingginya biaya kebutuhan hidup sehari-hari, menuntut mereka menggunakan premanisme. Menurut Sosiolog Universitas Negeri Medan (Unimed), Prof Dr Bungaran Antonius Simanjuntak, solusi untuk masalah preman adalah menciptakan lapangan kerja.

Namun begitu, masalah mental sesungguhnya adalah hal yang lebih pokok. Jika mereka belum mampu memopol premanismenya, niscaya apapun tempat dan di manapun mereka berdiri, preman akan lahir kembali. Enam puluh tiga tahun sudah kemerdekaan kita, tapi selama itu pula premanisme mencekik kita. Terlebih punggawa-punggawa White Collar Crime, preman berdasi. Kapankah mereka mampu kita brangus? Semoga.
NEXT ARTICLE Next Post
PREVIOUS ARTICLE Previous Post
NEXT ARTICLE Next Post
PREVIOUS ARTICLE Previous Post