Pemilu, menurut sebagian merupakan syarat sebuah demokrasi. Demokrasi, mungkin bagi sebagian hal ini biasa. Namun bagi penulis, melihat semarak Pemilu yang kian ‘meriah’ dan membingungkan -terutama bagi mereka yang hanya tinggal memilih- kiranya perlu kita suguhkan, bisa juga dikatakan ‘penyegaran’ kembali akan hal itu.
Secara bahasa, demokrasi berasal dari bahasa Yunani Demokratia. Demos artinya rakyat (people) dan cratos artinya pemerintahan atau kekuasaan (rule), berarti demokrasi mengandung makna suatu sistem politik dimana rakyat memegang kekuasaan tertinggi, bukan kekuasaan oleh raja atau kaum bangsawan. Secara etimologi, demokrasi adalah bentuk pemerintahan atau kekuasaan negara yang tertinggi, dimana sumber kekuasaan tertinggi adalah kekuasaan (ke) rakyat (an) yang terhimpun melalui majelis yang dinamakan Majelis Pemusyawaratan Rakyat.
Dalam kamus besar bahasa
Dari
Nah, menuju ke arah
Lalu, untuk mengajukan seorang calon pemimpin kita (presiden), sebuah ‘simbol’ harus memiliki 25 persen suara sah, suara kita pada 9 April nanti. Mudahnya, kalau ‘simbol’ kita gugur, kurang dari 25 persen perolehan suaranya, maka kita tidak berkesempatan memberikan calon presiden. Setelah presiden terpilih, dia akan menentukan siapa-siapa saja yang akan mendampinginya mengatur Negara, orang inilah yang disebut dengan kabinet atau menteri.
Sejarah mencatat, bangsa
Mungkin karena memandang demokrasi dari sisi yang lain; melawan monopoli kaum politisi, pejabat dan teknokrat untuk begitu saja menentukan apa yang baik bagi masyarakat, menambah makin banyaknya ‘relawan’ yang hendak memikul
Negara kita berpenduduk terbesar keempat di dunia (perk. 24 Januari 2009 jumlahnya 237,512,352 jiwa) dan mayoritas memeluk agama Islam (sekitar 85,2%) yang menjadikan kita Negara Muslim terbesar di dunia. Sedangkan partai politik adalah sebuah organisasi yang mencalonkan kandidat untuk ‘santai’ di DPR dan mewakilkan sejumlah prinsip, teori dari ide-ide khusus yang diusung oleh mayoritas anggotanya.
Kalau melihat prinsip dan ideologi parpol di Amerika, orang paling bodoh berpolitik pun paling tidak bisa membedakan, bahwa Partai Republik arah kebijakannya lebih konservatif; sementara Demokrat lebih ke arah perubahan. Perbedaan yang jelas ini bisa dijadikan dasar bagi pemilih untuk mengambil sikap. Misalnya, jika warga itu pro-aborsi, maka dia akan mendukung Partai Demokrat; sementara jika ia mendukung hak kepemilikan senjata bagi individu, maka akan mencoblos Partai Republik.
Sedang di Indonesia, pada pemilu 1999 dan 2004, ada beberapa prinsip dan ideologi parpol; Pancasila, Islam, dan Marhaenisme. Penulis belum begitu mengetahui tentang ideologi dan prinsip seluruh parpol yang akan bertanding nanti. Namun, parpol yang menggaruk pemilih lewat ‘celah agama’ -khususnya Islam- kurang lebih sama dalam prinsip-prinsipnya. Jika begini, kenapa harus bangun banyak parpol? Bukankah lebih gampang menyatukan parpol yang serupa, sehingga kesempatan meraih kursi dan merepresentasikan ideologi dan prinsipnya di parlemen lebih terbuka? Ataukah slogan dari rakyat, oleh rakyat dan untuk rakyat telah membingungkan rakyat?
Rujukan:
Yan Pranadya Puspa, Kamus Hukum, Aneka Ilmu,
Saifullah Yusuf dan Fachruddin Salim, Pergulatan Indonesia Membangun Demokrasi, Penerbit PP Gerakan Pemuda Ansor, cetakan pertama, 2000