-->

Haruskah Pemilu

Oleh: Alfa RS.

Pemilu, menurut sebagian merupakan syarat sebuah demokrasi. Demokrasi, mungkin bagi sebagian hal ini biasa. Namun bagi penulis, melihat semarak Pemilu yang kian ‘meriah’ dan membingungkan -terutama bagi mereka yang hanya tinggal memilih- kiranya perlu kita suguhkan, bisa juga dikatakan ‘penyegaran’ kembali akan hal itu.

Secara bahasa, demokrasi berasal dari bahasa Yunani Demokratia. Demos artinya rakyat (people) dan cratos artinya pemerintahan atau kekuasaan (rule), berarti demokrasi mengandung makna suatu sistem politik dimana rakyat memegang kekuasaan tertinggi, bukan kekuasaan oleh raja atau kaum bangsawan. Secara etimologi, demokrasi adalah bentuk pemerintahan atau kekuasaan negara yang tertinggi, dimana sumber kekuasaan tertinggi adalah kekuasaan (ke) rakyat (an) yang terhimpun melalui majelis yang dinamakan Majelis Pemusyawaratan Rakyat.

Dalam kamus besar bahasa Indonesia, di sebutkan bahwa demokrasi adalah (bentuk atau sistem) pemerintahan yang seluruh rakyatnya turut serta memerintah dengan perantara wakilnya. Untuk menjalankannya, ada kekuasaan legislatif (dipegang oleh MPR [Majelis Permusyawatan Rakyat] yang terdiri dari dua badan; DPR (anggotanya terdiri dari wakil-wakil Partai Politik, saat ini berjumlah 550 orang) dan DPD (anggotanya mewakili provinsi yang ada di Indonesia, sekarang beranggotakan 128 orang), kekuasaan eksekutif (berpusat pada presiden, wakil presiden, dan kabinet) dan kekuasaan yudikatif (sejak masa reformasi dijalankan oleh Mahkamah Agung, Komisi Yudisial, dan Mahkamah Konstitusi.)

Dari sana mungkin kita akan bertanya, sebegitu njlimetnyakah bentuk Negara kita? Mungkin juga dan itulah demokrasi. Artinya, ‘dalam bentuk’ Negara kita memang benar-benar menjadikan rakyat segalanya, pemerintahan kita berkedaulatan (kekuasaan tertinggi) rakyat yang dipimpin oleh seorang presiden.

Nah, menuju ke arah sana (kekuasaan tertinggi berada pada rakyat) maka sembilan April nanti kita menggelar Pemilihan Umum (Pemilu). Hari itu kita akan memilih anggota legislatif (DPR dan DPD) yang tampangnya sudah jauh-jauh hari menghiasi jalan raya. Mereka, dengan berbagai simbol dan lambang inilah yang akan mewakili kita mengurus Negara.

Lalu, untuk mengajukan seorang calon pemimpin kita (presiden), sebuah ‘simbol’ harus memiliki 25 persen suara sah, suara kita pada 9 April nanti. Mudahnya, kalau ‘simbol’ kita gugur, kurang dari 25 persen perolehan suaranya, maka kita tidak berkesempatan memberikan calon presiden. Setelah presiden terpilih, dia akan menentukan siapa-siapa saja yang akan mendampinginya mengatur Negara, orang inilah yang disebut dengan kabinet atau menteri.

Sejarah mencatat, bangsa Indonesia untuk pertama kalinya menggelar Pemilu pada pada tahun 1955, sepuluh tahun setelah kita merdeka. Pemilupun dilakukan dua kali; 29 September 1955 dan 15 Desember 1955 setelah lahirnya UU No.7 tahun 1953 tentang Pemilu. UU yang menjadi payung hukum Pemilu secara langsung, umum, bebas dan rahasia.

Mungkin karena memandang demokrasi dari sisi yang lain; melawan monopoli kaum politisi, pejabat dan teknokrat untuk begitu saja menentukan apa yang baik bagi masyarakat, menambah makin banyaknya ‘relawan’ yang hendak memikul Indonesia. Entah dari visi dan misi bagaimana, yang jelas menurut penulis keberadaan peserta Pemilu kali ini begitu memalukan. Khususnya bagi muslimin.

Negara kita berpenduduk terbesar keempat di dunia (perk. 24 Januari 2009 jumlahnya 237,512,352 jiwa) dan mayoritas memeluk agama Islam (sekitar 85,2%) yang menjadikan kita Negara Muslim terbesar di dunia. Sedangkan partai politik adalah sebuah organisasi yang mencalonkan kandidat untuk ‘santai’ di DPR dan mewakilkan sejumlah prinsip, teori dari ide-ide khusus yang diusung oleh mayoritas anggotanya.

Kalau melihat prinsip dan ideologi parpol di Amerika, orang paling bodoh berpolitik pun paling tidak bisa membedakan, bahwa Partai Republik arah kebijakannya lebih konservatif; sementara Demokrat lebih ke arah perubahan. Perbedaan yang jelas ini bisa dijadikan dasar bagi pemilih untuk mengambil sikap. Misalnya, jika warga itu pro-aborsi, maka dia akan mendukung Partai Demokrat; sementara jika ia mendukung hak kepemilikan senjata bagi individu, maka akan mencoblos Partai Republik.

Sedang di Indonesia, pada pemilu 1999 dan 2004, ada beberapa prinsip dan ideologi parpol; Pancasila, Islam, dan Marhaenisme. Penulis belum begitu mengetahui tentang ideologi dan prinsip seluruh parpol yang akan bertanding nanti. Namun, parpol yang menggaruk pemilih lewat ‘celah agama’ -khususnya Islam- kurang lebih sama dalam prinsip-prinsipnya. Jika begini, kenapa harus bangun banyak parpol? Bukankah lebih gampang menyatukan parpol yang serupa, sehingga kesempatan meraih kursi dan merepresentasikan ideologi dan prinsipnya di parlemen lebih terbuka? Ataukah slogan dari rakyat, oleh rakyat dan untuk rakyat telah membingungkan rakyat?

Rujukan:
Yan Pranadya Puspa, Kamus Hukum, Aneka Ilmu, Semarang. Cetakan pertama 1977. hlm. 295.
Saifullah Yusuf dan Fachruddin Salim, Pergulatan Indonesia Membangun Demokrasi, Penerbit PP Gerakan Pemuda Ansor, cetakan pertama, 2000
NEXT ARTICLE Next Post
PREVIOUS ARTICLE Previous Post
NEXT ARTICLE Next Post
PREVIOUS ARTICLE Previous Post