Oleh: Alfa RS
“Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah Dia menciptakan untukmu isteri-isteri dari jenismu sendiri, supaya kamu cenderung dan merasa tenteram kepadanya, dan dijadikan-Nya diantaramu rasa kasih dan sayang. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi kaum yang berfikir” QS. Arrum: 21.
Cinta dan kasih sayang, entah sebatas mana perisainya. Yang jelas, rasanya kita semua pernah mengalami gejolak itu, entah cinta dalam bentuk apa dan bagaimana. Apalagi saat Pebruari, bagi sebagian kita yang dimabuk cinta, menjadikannya bulan spesial, agung, bulan kasih sayang, katanya. Entah apa yang dimaksud kasih, cinta dan sayang oleh pemabuk cinta, mungkin karena ‘mabuk’ itulah mereka belum sepenuhnya mengerti akan cinta, meskipun cinta pertama.
Kasih, cinta dan sayang yang pertama sungguh spesial, namun nyatanya? Hanya beberapa yang masih mau mengagungkannya, bahkan disaat spesial seperti kata mereka, berapakah yang masih ingat akan cinta pertamanya? Cinta pertama, kenangan SLTP, sekolah lanjutan atas, atau masa-masa saat kita ditingkat dasar sekolah? Mungkin itulah bersitan kita. Namun, saat kita sedang benar-benar ‘meraba’, rasanya semua itu biasa saja. Tidak percaya, coba renungkan.
Sudah, apa pendapat kamu? Bila memang ya, semuanya biasa, terus adakah cinta yang benar-benar cinta? Andai itu juga ada, kemudian dimanakah cinta tulus nan suci kita, kasih dan sayang yang murni tanpa pamrih. Sesuatu yang kadang-kadang membuat kita ragu, pasrah, penuh tanda tanya. Benarkah apa yang ‘si dia’ katakan, kalau ‘dia’ memang cinta kita? Kamu sendirilah yang tahu menjawabnya.
Yang jelas, menurut ‘mimpi’nya Alfa, cinta yang benar-benar ‘cinta’ itu ada, sebuah cinta yang suci mulia, kasih dan sayang tanpa pamrih, cinta pertama, and... semuanya selalu terhatur pada seseorang yang selalu ada di samping kita, tempat curahan suka dan duka. Ketika lapar, dengan tangan tulusnya menyuapkan makanan, diberikannya air susu kala kita haus, sampai diajarkannya kita akan hakikat dunia. Cinta pertama yang sangat indah, cinta dan kasih sayang seorang ibu tentunya. Adakah cinta yang paling indah daripada cinta pertama?
Mungkin ‘mimpi-mimpi’ Alfa terkesan biasa. Namun, ketika Pebruari banyak yang menjadikanya spesial, bulan kasih sayang, saat dengan mudahnya kita menemukan muda mudi berduaan, di jalan, mall, kampus, di mana-mana. Agaknya apa yang di ‘impikan’ Alfa patut diperhitungkan. Mengapa?
Pertama, bagi mereka yang sekarang mungkin sedang ber-‘pebruarian’, agaknya hanya beberapa saja dari mereka yang ‘masih ingat’ akan cinta pertamanya. Terbukti, sebagian ada yang acara ‘Pebruarian’nya tanpa melalui persetujuan sang ibu tercinta. Dan banyak juga yang persetujuan itu didapatkan akibat keterpaksaaan orang tua, terlalu cintanya pada sang anak, beliau rela diduakan oleh kita. Sesuatu yang kadang kita lupakan.
Pacaran, entah apa arti dan maksud sebenarnya. Biasanya, kalau ada cowok dan cewek saling suka, satunya nyatain dan yang lainnya terima, buat sebagian orang isinya jalan berdua, makan, nonton, curhat-curhatan, just for fun abis lah, itukah pacaran, mungkin? Yang pasti, itulah yang telah menyakitkan cinta pertama kita, menduakan ibu. Orang tua manasih yang tidak ingin putra putrinya bahagia. Nah, demi hal itu, tentunya di sanubari seorang ibu yang paling dalamnya, menurut ‘mimpi’ Alfa, tidak menginginkan apa yang kita namakan ‘pebruarian’. Karena memang hampa manfaat.
Dalam ‘mimpi’ Alfa, hati orang tua agaknya akan lebih memilih yang namanya ta’aruf, perkenalan, itupun kalau memang maksud dari pacaran mengarah ke ‘sana’, pernikahan. Karena memang ternyata ta’aruf memiliki nilai plus dari pada pacaran, disamping unsur kelegalan dari agama.
Perbandingannya, pertama, buat yang lagi pacaran katanya mau berdua terus, iya apa iya? Sehari tidak dihubungi sudah kangen berat. Begitu ketemu inginnya memandang wajah sang kekasih terus, pokoknya dunia serasa berbunga-bunga, katanya. Kedua, mereka yang pacaran lupa hal lainnya. Yang ada hanya si dia, dunia serasa milik mereka berdua, yang lainnya ngontrak. Ketiga, bukan rahasia lagi di jaman serba permisif ini, seks menjadi bumbu penyedap dalam pacaran. Seperti riset yang dulu pernah di lakukan padalima universitas terbesar di Jakarta , 67,1% mengaku pernah melakukan aktivitas seksual yang pertama kali mereka lakukan dengan pacarnya. Keempat, ternyata pacaran bukan jaminan akan berlanjut ke jenjang perkawinan. Banyak orang di sekitar kita yang sudah bertahun-tahun pacaran ternyata kandas di tengah jalan. Pacaran pun tidak menjadikan kita tahu segalanya tentang si dia. Banyak yang sikapnya berubah setelah menikah.
Sedang dalam ta’aruf kita akan menemukan, pertama, dalam ta'aruf tetap dijaga adab berhubungan antara laki-laki dan perempuan. Biasanya ada pihak ketiga yang memperkenalkan. Jadi kehawatiran orang tua sedikit berkurang akibat berkhalwat. Orang tua kita tentu tidak ingin kita berpatner dengan ‘musuh bebuyutan’, syaitan, sebagaimana sabda Rasulullah saw, “Tiada bersepi-sepian seorang lelaki dan perempuan, melainkan syetan merupakan orang ketiga diantara mereka,” ataukah ibu-ibu jaman sekarang mendukung hubungan antara anaknya dengan syaitan? Entahlah.
Kedua, dalam firman-Nya QS 51:56, kita tahu tujuan Allah menciptakan kita (manusia) untuk beribadah kepada-Nya. Nah, ta'aruf tidak menduakan tujuan tersebut dengan terus berduan dan mengkonsentrasikan pikiran kita dengan si dia. Ta’aruf hanya untuk penjajagan sebelum menikah, kalau ada kecocokan alhamdulillah, dan kalau salah satu atau keduanya nggak merasa sreg, dengan pertimbangan hati dan pikiran yang sehat ia bisa menyudahi ta'arufnya. Karena dengan ta'aruf kita boleh mengajukan kriteria calon yang diinginkan dan keputusan akhir pun harus tetap berdasar pada dialog dengan Allah melalui sholat istikharah.
Ini lebih baik daripada orang yang pacaran lalu putus. Biasanya, orang yang pacaran hatinya sudah bertaut sehingga kalau tidak cocok sulit putus, walau kadang-kadang pacarnya memiliki hal buruk, misalnya suka memukul, tidurnya ngorok, tapi terpaksa tetap menerima dengan dalih ‘cinta’, padahal hati kecilnya mengingkari hal itu. Menyakitkan bukan, tapi dengan ta'aruf, insya Allah kita akan lebih mudah bertawakkal seumpama tidak ada kecocokan.
Ketiga, kalau memang ada kecocokan, biasanya jangka waktu ta'aruf ke khitbah (lamaran) dan ke akad nikah tidak terlalu lama. Ini bisa menghindarkan kita dari berbagai macam bentuk perzinahan. Selain itu tidak ada perasaan ‘digantung’ pada pihak perempuan.
Ke empat, ta'aruf itu lebih fair. Masa penjajakan diisi dengan saling tukar informasi mengenai diri masing-masing, baik kebaikan maupun keburukannya. Bahkan sampai masalah kesukaan kita pada semur jengkol, misalnya, sebaiknya diberitahukan kepada calon kita agar tidak menimbukan kekecewaan di kemudian hari. Begitu pula dengan kekurangan-kekurangan lainnya, seperti mengidap penyakit tertentu, tidak bisa masak, atau yang lainnya. Dengan ta'aruf kita bisa berusaha mengenal si dia dan mengumpulkan informasi sebanyak-banyaknya dalam waktu yang sesingkat-singkatnya, informasipun bukan cuma dari si dia langsung, tapi juga dari orang-orang yang mengenalnya, bisa sahabat, guru ngaji, ataupun orang tuanya. Dengan ta’aruf dia tidak bisa ngaku-ngaku dirinya baik.
Berbeda dengan orang pacaran yang biasanya semu, penuh kepura-puraan. Yang perempuan akan dandan habis-habisan dan malu-malu, sampai makan pun jadi sedikit gara-gara takut dibilang rakus. Yang laki-laki biarpun lagi bokek tetap berlagak kaya, traktir ini dan itu. Sedang karena tujuannya sudah jelas untuk memenuhi sunnah Rasulullah, menikah, dalam ta’aruf mereka lebih mudah membuka diri, baik kelebihan maupun kekurangan. Tidak ada kepura-puraan.
Namun masalahnya, banyak diantara kita yang masih menganggap pacaran sebagai hal yang inti dalam meniti masa muda, kurang gaul, atau apalah. Padahal, banyak sekali pasangan yang sudah lama berpacaran, tetap merasa belum bisa mengenal pasangannya. Banyak juga yang episode akhirnya menyedihkan, bukankah itu sia-sia belaka?
Entah apa maksud ‘mimpi’ Alfa, mungkin terlalu kolot, semu, penuh ego, yang jelas itu mimpi. Dan, entah cinta, apa cinta yang sedang kita dan mereka rasakan, semoga cinta pertama.
“Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah Dia menciptakan untukmu isteri-isteri dari jenismu sendiri, supaya kamu cenderung dan merasa tenteram kepadanya, dan dijadikan-Nya diantaramu rasa kasih dan sayang. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi kaum yang berfikir” QS. Arrum: 21.
Cinta dan kasih sayang, entah sebatas mana perisainya. Yang jelas, rasanya kita semua pernah mengalami gejolak itu, entah cinta dalam bentuk apa dan bagaimana. Apalagi saat Pebruari, bagi sebagian kita yang dimabuk cinta, menjadikannya bulan spesial, agung, bulan kasih sayang, katanya. Entah apa yang dimaksud kasih, cinta dan sayang oleh pemabuk cinta, mungkin karena ‘mabuk’ itulah mereka belum sepenuhnya mengerti akan cinta, meskipun cinta pertama.
Kasih, cinta dan sayang yang pertama sungguh spesial, namun nyatanya? Hanya beberapa yang masih mau mengagungkannya, bahkan disaat spesial seperti kata mereka, berapakah yang masih ingat akan cinta pertamanya? Cinta pertama, kenangan SLTP, sekolah lanjutan atas, atau masa-masa saat kita ditingkat dasar sekolah? Mungkin itulah bersitan kita. Namun, saat kita sedang benar-benar ‘meraba’, rasanya semua itu biasa saja. Tidak percaya, coba renungkan.
Sudah, apa pendapat kamu? Bila memang ya, semuanya biasa, terus adakah cinta yang benar-benar cinta? Andai itu juga ada, kemudian dimanakah cinta tulus nan suci kita, kasih dan sayang yang murni tanpa pamrih. Sesuatu yang kadang-kadang membuat kita ragu, pasrah, penuh tanda tanya. Benarkah apa yang ‘si dia’ katakan, kalau ‘dia’ memang cinta kita? Kamu sendirilah yang tahu menjawabnya.
Yang jelas, menurut ‘mimpi’nya Alfa, cinta yang benar-benar ‘cinta’ itu ada, sebuah cinta yang suci mulia, kasih dan sayang tanpa pamrih, cinta pertama, and... semuanya selalu terhatur pada seseorang yang selalu ada di samping kita, tempat curahan suka dan duka. Ketika lapar, dengan tangan tulusnya menyuapkan makanan, diberikannya air susu kala kita haus, sampai diajarkannya kita akan hakikat dunia. Cinta pertama yang sangat indah, cinta dan kasih sayang seorang ibu tentunya. Adakah cinta yang paling indah daripada cinta pertama?
Mungkin ‘mimpi-mimpi’ Alfa terkesan biasa. Namun, ketika Pebruari banyak yang menjadikanya spesial, bulan kasih sayang, saat dengan mudahnya kita menemukan muda mudi berduaan, di jalan, mall, kampus, di mana-mana. Agaknya apa yang di ‘impikan’ Alfa patut diperhitungkan. Mengapa?
Pertama, bagi mereka yang sekarang mungkin sedang ber-‘pebruarian’, agaknya hanya beberapa saja dari mereka yang ‘masih ingat’ akan cinta pertamanya. Terbukti, sebagian ada yang acara ‘Pebruarian’nya tanpa melalui persetujuan sang ibu tercinta. Dan banyak juga yang persetujuan itu didapatkan akibat keterpaksaaan orang tua, terlalu cintanya pada sang anak, beliau rela diduakan oleh kita. Sesuatu yang kadang kita lupakan.
Pacaran, entah apa arti dan maksud sebenarnya. Biasanya, kalau ada cowok dan cewek saling suka, satunya nyatain dan yang lainnya terima, buat sebagian orang isinya jalan berdua, makan, nonton, curhat-curhatan, just for fun abis lah, itukah pacaran, mungkin? Yang pasti, itulah yang telah menyakitkan cinta pertama kita, menduakan ibu. Orang tua manasih yang tidak ingin putra putrinya bahagia. Nah, demi hal itu, tentunya di sanubari seorang ibu yang paling dalamnya, menurut ‘mimpi’ Alfa, tidak menginginkan apa yang kita namakan ‘pebruarian’. Karena memang hampa manfaat.
Dalam ‘mimpi’ Alfa, hati orang tua agaknya akan lebih memilih yang namanya ta’aruf, perkenalan, itupun kalau memang maksud dari pacaran mengarah ke ‘sana’, pernikahan. Karena memang ternyata ta’aruf memiliki nilai plus dari pada pacaran, disamping unsur kelegalan dari agama.
Perbandingannya, pertama, buat yang lagi pacaran katanya mau berdua terus, iya apa iya? Sehari tidak dihubungi sudah kangen berat. Begitu ketemu inginnya memandang wajah sang kekasih terus, pokoknya dunia serasa berbunga-bunga, katanya. Kedua, mereka yang pacaran lupa hal lainnya. Yang ada hanya si dia, dunia serasa milik mereka berdua, yang lainnya ngontrak. Ketiga, bukan rahasia lagi di jaman serba permisif ini, seks menjadi bumbu penyedap dalam pacaran. Seperti riset yang dulu pernah di lakukan pada
Sedang dalam ta’aruf kita akan menemukan, pertama, dalam ta'aruf tetap dijaga adab berhubungan antara laki-laki dan perempuan. Biasanya ada pihak ketiga yang memperkenalkan. Jadi kehawatiran orang tua sedikit berkurang akibat berkhalwat. Orang tua kita tentu tidak ingin kita berpatner dengan ‘musuh bebuyutan’, syaitan, sebagaimana sabda Rasulullah saw, “Tiada bersepi-sepian seorang lelaki dan perempuan, melainkan syetan merupakan orang ketiga diantara mereka,” ataukah ibu-ibu jaman sekarang mendukung hubungan antara anaknya dengan syaitan? Entahlah.
Kedua, dalam firman-Nya QS 51:56, kita tahu tujuan Allah menciptakan kita (manusia) untuk beribadah kepada-Nya. Nah, ta'aruf tidak menduakan tujuan tersebut dengan terus berduan dan mengkonsentrasikan pikiran kita dengan si dia. Ta’aruf hanya untuk penjajagan sebelum menikah, kalau ada kecocokan alhamdulillah, dan kalau salah satu atau keduanya nggak merasa sreg, dengan pertimbangan hati dan pikiran yang sehat ia bisa menyudahi ta'arufnya. Karena dengan ta'aruf kita boleh mengajukan kriteria calon yang diinginkan dan keputusan akhir pun harus tetap berdasar pada dialog dengan Allah melalui sholat istikharah.
Ini lebih baik daripada orang yang pacaran lalu putus. Biasanya, orang yang pacaran hatinya sudah bertaut sehingga kalau tidak cocok sulit putus, walau kadang-kadang pacarnya memiliki hal buruk, misalnya suka memukul, tidurnya ngorok, tapi terpaksa tetap menerima dengan dalih ‘cinta’, padahal hati kecilnya mengingkari hal itu. Menyakitkan bukan, tapi dengan ta'aruf, insya Allah kita akan lebih mudah bertawakkal seumpama tidak ada kecocokan.
Ketiga, kalau memang ada kecocokan, biasanya jangka waktu ta'aruf ke khitbah (lamaran) dan ke akad nikah tidak terlalu lama. Ini bisa menghindarkan kita dari berbagai macam bentuk perzinahan. Selain itu tidak ada perasaan ‘digantung’ pada pihak perempuan.
Ke empat, ta'aruf itu lebih fair. Masa penjajakan diisi dengan saling tukar informasi mengenai diri masing-masing, baik kebaikan maupun keburukannya. Bahkan sampai masalah kesukaan kita pada semur jengkol, misalnya, sebaiknya diberitahukan kepada calon kita agar tidak menimbukan kekecewaan di kemudian hari. Begitu pula dengan kekurangan-kekurangan lainnya, seperti mengidap penyakit tertentu, tidak bisa masak, atau yang lainnya. Dengan ta'aruf kita bisa berusaha mengenal si dia dan mengumpulkan informasi sebanyak-banyaknya dalam waktu yang sesingkat-singkatnya, informasipun bukan cuma dari si dia langsung, tapi juga dari orang-orang yang mengenalnya, bisa sahabat, guru ngaji, ataupun orang tuanya. Dengan ta’aruf dia tidak bisa ngaku-ngaku dirinya baik.
Berbeda dengan orang pacaran yang biasanya semu, penuh kepura-puraan. Yang perempuan akan dandan habis-habisan dan malu-malu, sampai makan pun jadi sedikit gara-gara takut dibilang rakus. Yang laki-laki biarpun lagi bokek tetap berlagak kaya, traktir ini dan itu. Sedang karena tujuannya sudah jelas untuk memenuhi sunnah Rasulullah, menikah, dalam ta’aruf mereka lebih mudah membuka diri, baik kelebihan maupun kekurangan. Tidak ada kepura-puraan.
Namun masalahnya, banyak diantara kita yang masih menganggap pacaran sebagai hal yang inti dalam meniti masa muda, kurang gaul, atau apalah. Padahal, banyak sekali pasangan yang sudah lama berpacaran, tetap merasa belum bisa mengenal pasangannya. Banyak juga yang episode akhirnya menyedihkan, bukankah itu sia-sia belaka?
Entah apa maksud ‘mimpi’ Alfa, mungkin terlalu kolot, semu, penuh ego, yang jelas itu mimpi. Dan, entah cinta, apa cinta yang sedang kita dan mereka rasakan, semoga cinta pertama.