-->

Ancaman Bagi Perkawinan Islam dan Demokrasi

Oleh: Alfa RS.

Iftitah
“Fundamentalisme memang aneh dan keras dan menakutkan: ia mendasarkan diri pada
perbedaan, tetapi pada gilirannya membunuh perbedaan.” Gunawan Muhammad.[1]
Istilah fundamentalisme acap kali terdengar dan dipakai, namun makna yang sesungguhnya masih belum jelas, terlalu umum dan rentan akan perubahan.

Kata fundamentalisme banyak dipakai untuk makna-makna tertentu, tapi dalam kondisi lain terkadang kehilangan kemampuan memberi batasan secara jelas dari maksud yang dituju, kadang sampai jauh melenceng dari makna aslinya.

Pada sisi lain, makna fundamentalisme mengalami penyem¬pitan, terbatas pada agama dan kebudayaan dan lebih disempitkan lagi dihubungkan dengan Islam. Maka dengan serta merta kata fundamen¬talisme—bagi orang yang sudah terpengaruh oleh media massa Barat—akan langsung diidentikkan dengan golongan Islam politik. Ringkasnya, fundamentalisme bisa dimaknai; keteguhan dan kekakuan.

Khawarij dan Wahabi
Khawarij yang merupakan aliran klasik, saat ini secara nyata memang sudah hilang. Tidak ada aliran yang mengklaim dirinya sangat membenci Ali ibn Abi Thalib, yang hal ini adalah ciri kaum Khawarij. Namun, karakter-karakternya masih terus abadi mengikuti perjalanan sejarah Islam.

Saat ini, karakter Khawarij melekat pada salah satu golongan Islam yang begitu mudahnya mengafirkan dan menyesatkan golongan Islam lain yang tidak sependapat dengan mereka. Karakter Khawarij juga akan kita temukan dalam diri orang-orang Islam yang sering menggunakan kekerasan dan melegalkan tindakan terorisme dalam rangka menegakkan agama Allah. Seperti kaum Khawarij, untuk golongan ini, faktornya pun sama, yakni pemahaman sempit dan kaku terhadap nash yang dibungkus dengan fanatisme.[2]

Beberapa tabiat buruk ini juga menjadi bagian dari tabiat Wahabi yang muncul di jazirah Arab pada abad ke-18.

Wahabi adalah sebuah sekte keras dan kaku pengikut Muhammad ibn ‘Abdul Wahab. Ayahnya, ‘Abdul Wahab adalah hakim (qadli) ‘Uyaynah (termasuk daerah Najd, sekarang adalah belahan timur Kerajaan Saudi Arabia), pengikut madzhab Ahmad ibn Hanbal. Memang, wahabi tidak bisa dikatakan sebagai penerus Khawarij. Bahkan, ia dianggap sebagai fenomena yang sama sekali baru dan tidak mempunyai pendahulu sebelumnya dalam sejarah Islam. Para peneliti dan sejarawan Islam memandang Wahabi sebagai fenomena khas yang terpisah dari aliran-aliran pemikiran maupun gerakan Islam lainnya.

Walaupun demikian, setidaknya ada enam sisi kesamaan antara Wahabi dan Khawarij.[3] Pertama, Sebagaimana kelompok Khawarij, dengan mudahnya golongan Wahabi menuduh seorang muslim dengan sebutan kafir, pelaku syirik, bid’ah dan khurafat. Kedua, kelompok Khawarij telah disifati dengan “Pembantai kaum muslim dan perahmat bagi kaum kafir (non-muslim)”. Maka sejarah telah membuktikan bahwa kelompok Wahabi pun telah melaksanakan prilaku keji tersebut, terkhusus di awal-awal penyebarannya. Sebagaimana yang tercatat dalam kitab-kitab sejarah berupa pembantaian beberapa kabilah Arab muslim yang menolak ajaran sesat Wahabisme.

Ketiga, Khawarij dan Wahabi memiliki banyak keyakinan yang aneh dan keluar dari kesepakatan kaum muslimin. Seperti keyakinan bahwa pelaku dosa besar dihukumi kafir yang darahnya halal.

Keempat, kelompok Khawarij memiliki jiwa Jumud (kaku), mempersulit diri dan mempersempit luang lingkup pemahaman ajaran agama, maka kaum Wahabi pun mempunyai kendala yang sama. Banyak hal mereka anggap bid’ah dan syirik namun dalam penentuannya mereka tidak memiliki tolok ukur yang jelas dan kuat, bahkan mereka tidak berani untuk mempertanggungjawabkan tuduhannya tersebut dengan berdiskusi terbuka dengan kelompok-kelompok yang dianggapnya sesat.

Kelima, golongan Khawarij telah keluar dari Islam dikarenakan ajaran-ajarannya yang telah menyimpang dari agama Islam yang dibawa oleh Muhammad Rasulullah saw, Wahabi pun memiliki penyimpangan yang sama sehingga keislaman mereka pun layak untuk diragukan. Pengkafiran kelompok lain yang selama ini dilakukan oleh kaum Wahaby cukup menjadi bukti konkrit untuk meragukan keislaman mereka. karena dalam banyak riwayat disebutkan bahwa barangsiapa yang mengkafirkan seorang muslim maka ia sendiri yang terkena pengkafiran tersebut.

Keenam, Khawarij meyakini bahwa “negara muslim” (Daar al-Salam) jika penduduknya banyak melakukan maksiat dan dosa besar maka mereka kategorikan sebagai “negara zona perang” (Daar al-Harb). Karena menurut mereka, dengan banyaknya perbuatan maksiat berarti penduduk muslim tadi telah keluar dari agama Islam (kafir). Kelompok radikal Wahabi pun meyakini hal yang sama.

Ringkasnya, sikap dan kesukaan utama Wahabi sejak awal gerakannya, selain membunuh serta merampas kekayaan dan wanita, juga termasuk menghancurkan kuburan dan peninggalan-peninggalan bersejarah; mengharamkan tawassul, isti’ana dan istighatsah, syafa’at, tabarruk, dan ziarah kubur; membakar buku-buku yang tidak sejalan dengan paham mereka; memvonis musyrik, murtad, dan kafir siapa pun yang melakukan amalan-amalan yang tidak sesuai dengan ajaran Wahabi.[4]

Ikhwanul Muslimin di Indonesia
Perkumpulan yang walaupun "pandangan" tentang "ketidakjelasannya" kian nampak, namun tetap laris manis sampai saat ini.

Jamaah Ikhwanul Muslimin berdiri di kota Ismailiyah, Mesir, pada Maret 1928 dengan pendiri Hassan al-Banna, bersama keenam tokoh lainnya, yaitu Hafiz Abdul Hamid, Ahmad al-Khusairi, Fuad Ibrahim, Abdurrahman Hasbullah, Ismail Izz dan Zaki al-Maghribi.

Hasan Al-Banna lahir pada Oktober 1906 M. Di kita kecil Mahudiyah, di muara sungai Nil, sembilan puluh mil dari sebelah barat laut Kairo. Ayahnya bernama Ahmad Abdurrahman Banna yang waktu itu lebih terkenal dengan nama Sa'ati, seorang guru fiqh, tauhid dan nahwu. Sang ayah pernah belajar pada Abduh di al-Azhar, dan sempat menulis beberapa karya ilmiyah tentang hadis, fiqih dan tasawuf. Jadi Hasan Al-Banna dibesarkan di tengah keluarga yang religius yang sudah tersentuh oleh paham pembaruan.[5]

Al-Banna memulai pendidikannya di Madrasah Ar-Rasyad Ad-Diniyyah dengan menghafal Al-Qur`an dan sebagian hadis-hadis Nabi serta dasar-dasar ilmu bahasa Arab, di bawah bimbingan Asy-Syaikh Zahran seorang pengikut tarekat shufi Al-Hashafiyyah.

Selanjutnya ia masuk ke Madrasah I’dadiyyah di Mahmudiyyah, Madrasah Al-Mu’allimin Al-Ula di kota Damanhur.

Jamaah ini mengajak dan menuntut ditegakkannya syariat Allah, hidup di bawah naungan Islam, seperti yang diturunkan Allah kepada Rasulullah saw. Tujuan Ikhwanul Muslimin adalah mewujudkan terbentuknya sosok individu muslim, rumah tangga Islami, bangsa yang Islami, pemerintahan yang Islami, negara yang dipimpin oleh negara-negara Islam, menyatukan perpecahan kaum muslimin dan negara mereka yang terampas, kemudian membawa bendera jihad dan da’wah kepada Allah sehingga dunia mendapatkan ketentraman dengan ajaran-ajaran Islam. Ikhwanul Muslimin menolak segala bentuk penjajahan dan monarki yang pro-Barat, termasuk bentuk demokrasi.

Untuk mencapai tujuannya itu, kelompok ini dalam Muktamar Ikhwan V pada Januari 1939 dengan tegas menyatakan akan terjun ke gelanggang politik. Dalam dunia politik mereka memiliki dua program besar. Pertama, "internasionalisasi" gerakan, yang menekankan perjuangan bukan hanya untuk membebaskan Mesir tetapi juga seluruh "tanah air Islam" dari cengkeraman imperalis. Kedua, menegakkan "pemerintahan Islam" yang merdeka di tanah air tersebut yang mempraktekkan prinsip-prinsip Islam, menerapkan sistem sosialnya, menanamkan landasan-landasan yang kokoh dan menyampaikan dakwahnya yang arif kepada rakyatnya.

Dekralasi selanjutnya menambahkan, bahwa selama pemerintahan semacam ini tidak dibentuk, selama itu pula kaum muslimin berdosa dihadapan Allah.[6]

Pada tahun 1949 M. mobil yang ditumpangi Al-Banna ketika hendak menghadiri undangan diserang. Walaupun sempat dievakuasi, namun Al-Banna tidak tertolong karena pendarahan yang hebat. Iapun menghembuskan nafas terakhir.

Sekitar tahun 1930, Ikhwanul Muslimin masuk ke Indonesia melalui jamaah haji dan kaum pendatang Arab.

Dalam proses kemerdekaan Republik Indonesia, Organisasi ini memiliki peran penting. Atas desakan Ikhwanul Muslimin, Negara Mesir menjadi negara pertama yang mengakui kemerdekaan Republik Indonesia. Dengan demikian, lengkaplah syarat-syarat sebuah negara berdaulat bagi Republik Indonesia.

Ikhwanul Muslimin kemudian semakin berkembang di Indonesia setelah munculnya partai yang memakai ajaran Ikhwanul Muslimin, Partai Masyumi. Namun kemudian oleh Soekarno partai ini dibredel dan dilarang keberadaannya.
Entah berlatar belakang apa, pada Pemilu tahun 1999 berdiri partai yang menggunakan nama Masyumi, yaitu Partai Masyumi Baru dan Partai Politik Islam Masyumi. Selain itu berdiri juga Partai Bulan Bintang (PBB) yang mendeklarasikan dirinya sebagai keluarga besar pendukung Masyumi dan Partai Keadilan (PK, kini berganti nama menjadi Partai Keadilan Sejahtera) yang sebelumnya banyak dikenal dengan jamaah atau kelompok Tarbiyah.

Selain partai diatas, ada beberapa ormas Islam di Indonesia yang disinyalir memiliki hubungan dengan Ikhwanul Muslimin atau terinspirasi darinya, paling tidak itu terlihat dari nama ormas tersebut. Ormas itu antara lain adalah Parmusi (Persaudaraan Muslimin Indonesia) dan Ikhwanul Muslimin Indonesia (IMI).

Jadi secara umum, Ikhwanul Muslimin cukup banyak memberikan inspirasi pada organisasi-organisasi di Indonesia. Namun tidak jelas mana yang benar-benar berhubungan secara resmi dengan Ikhwanul Muslimin di Mesir.

Dari kekakuan ketiganya, kiranya pantas kita katakan bahwa mereka adalah “bersaudara.” Mengenai pemahaman sempit ini ada yang berpendapat karena bermula dari pendahulu mereka yang tidak memiliki ideologi keagamaan yang benar. Bahkan menurut Joel L. Kraemer, para pendahulu Khawarij adalah para perampok.[7]

Bahaya Partai Keadilan Sejahtera
Walaupun jika dilihat dari Piagam Deklarasi Partai Keadilan Sejahtera (PKS) dan Anggaran Dasar atau Anggaran Rumah Tangga (AD ART) PKS, PKS tidak pernah menyebutkan hubungannya dengan Ikhwanul Muslimin. Namun Menurut Yusuf Qardawi, PKS merupakan perpanjangan tangan dari gerakan Ikhwanul Muslimin Mesir yang mewadahi komunitas terbaik kalangan muda intelektual yang sadar akan agama, negeri, dunia, dan zamannya.[8]

Platform PK menyatakan hal yang sama bahwa, tujuan partai adalah mewujudkan masyarakat Indonesia yang adil dan makmur sesuai dengan kehendak Allah. Secara formal, partai ini menyatakan bahwa dasarnya adalah Pancasila dan bukan Negara Islam. Namun, Pancasila adalah prinsip yang longgar, dan, menurut partai ini, terbuka bagi penafsiran. Penerimaan Pancasila secara formal sebagai dasar partai ini tidak menimbulkan kebingungan apakah partai ini partai Islam atau bukan. Dibandingkan partai Islam lainnya, PK merupakan satu-satunya partai yang secara formal memiliki Dewan Syariah dalam strukturnya, yang bertugas memberikan bimbingan dalam mengambil keputusan politik sesuai syariah. Dalam sidang MPR di mana amandemen syariah diperdebatkan, sebagaimana dijelaskan di atas, PK betul-betul memperlihatkan identitas Islamisnya.[9] Bila kita mengamati lebih jauh tulisan Doktor Ilmu Politik dari Ohio-State University ini, jelas inisial PK itu mengarah pada PKS.
penga

Keterkaitan antara PKS dan Ikhwanul Muslimin Mesir juga diakui oleh Anis Matta, tokoh dan sekjen PKS. Ia mengungkapkan, inspirasi al-Ikhwan al-Muslimin dalam diri partai Partai Keadilan Sejahtera, kalau boleh di garis bawahi di sini, sesunguhnya memberikan kekuatan pada dua dimensi sekaligus. Pertama, inspirasi sdeologis yang –salah satunya- didasarkan kepada prinsip Syumuliyat al-Islam, sesuatu yang bukan hanya menjadi prinsip perjuangan Hasan al-Banna saja, tapi juga pejuang-pejuang yang lain. Kedua, inspirasi historis, semacam mencari model dan maket dari sebentuk perjuangan Islam di era setelah keruntuhan al-Khalifah al-Islamiyyah dan dominasi imperialism Barat atas negeri-negeri Muslim. Tetapi yang mempertemukan dua inspirasi itu pada diri Hasan al-Banna dan al-Ikhwan al-Muslimin, adalah pada aspek denyut pergerakannya. Sebab, pada saat tokoh yang lain menjadi pembaharu dalam lingkup pemikiran, Hasan al-Banna berhasil mengubah pembaharuan itu dari wacana menjadi gerakan. Dan tidak berlebihan, bila inspirasi gerak itu juga yang secara terasa dapat diselami dalam denyut Partai Keadilan Sejahtera.[10]

Dari beberapa rujukan dan temuan di atas, jiwa Khawarij dalam Wahabi, Wahabi dan Ikhwanul Muslimin, kemudian keterkaitan Ikhwabul Muslimin dengan PKS, bila melihat hasil Pemilihan Umun (Pemilu) kemarin, sebagai nahdliyyin, kita pantas bersedih. Mengapa?

Pertama, dengan bertebarannya kalangan kiai dalam jajaran kepengurusan partai politik (Parpol), terlebih bila melihat Partai Kebangkitan Nasional Ulama (PKNU) yang mana hal itu tidak memberikan nilai plus --dalam artian mendongkrak suara—bagi partai, PKNU sendiri misalnya.

Ada yang bilang hal ini buah demokrasi. Ada yang menyatakan kita (kaum santri) seperti tidak sedikit masyarakat bawah, sudah ngeh dengan politik, karena akhirnya sama saja. Tidak ada yang memperdulikan rakyat. Membangkangkah? Untuk masalah ini penulis kira sudah dicukupkan dengan banyaknya media pasca pemilu legislatif yang memuat tulisan tentang politik kiai.

Kedua, kita juga harus sedih, bahkan takut, ketika kenyataannya pemilu kemarin berhasil mengantarkan Partai Keadilan Sejahtera (PKS) masuk lima besar perolehan suara. Karena seperti ulasan di atas, PKS memiliki misi hidden yang sangat mengancam keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).

Namun sayang, kita –meminjam istilah Haedar Nashir- bagaikan kodok dalam tempayan di atas tungku siap direbus. Dan sudah dimasukkan sejak air dingin. Secara perlahan tapi pasti, tanpa menyadari bahwa dirinya sedang menjalani proses pembunuhan, kodok diam saja dan rileks di dalam tempayan.[11] Padahal, sejarah telah mencatat, bagaimana ketentraman Indonesia terusik setelah dideklarasikannya Negara Islam Indonesia (NII) atau Darul Islam (DI) di Jawa Barat, berapa jiwa melayang akibat gerakan ini?

Kita harus menerima dikatakan kodok dalam tempayan sebagaimana istilah Haedar, toh kenyataannya demikian. Dari banyaknya kalangan kita yang begitu mudahnya terbawa arus mereka dan masjid-masjid baik itu milik Nahdlatul Ulama ataupun Muhammadiyah yang telah mereka kuasai, ternyata belum mampu meyakinkan akan misi mereka yang sebenarnya.

Lihatlah bagaimana Muhammadiyah pada Desember 2006 sampai mengeluarkan Surat Keputusan Pimpinan Pusat (SKPP) Muhammadiyah Nomor: 149/Kep/I.0/B/2006. yang ditandatangani Ketua Umum Pimpinan Pusat Muhammadiyah Prof. Dr. H.M. Din Syamsuddin MA. Dan Sekertaris Umum H.A. Rosyad Sholeh. Sebuah bentuk kekhawatiran akan penyusupan di tubuh Muhammadiyah. Bahkan,
tokoh-tokoh moderat Muhammadiyah prihatin pada perkembangan bahwa kelompok-kelompok garis keras semakin kuat di Muhammadiyah sehingga mungkin saja mereka akan berhasil merebut Muhammadiyah pada Muktamar 2010.[12]

Walau tidak sekritis yang dialami Muhammadiyah, Nahdlatul Ulama (NU) juga merasakan kekhawatiran itu.

Sebagaimana dilansir NU Online, sebanyak delapan Ketua Pengurus Wilayah Lembaga Dakwah Nahdlatul Ulama (LDNU) se-Indonesia menandatangani maklumat yang berisi, “…kami menyadari dengan sepenuh hati, bahwa dewasa ini telah tumbuh dan berkembang gejala pemikiran dan gerakan ke-Islam-an (al-Harakah al-Islamiyyah) melalui praktik-praktik keagamaan yang dapat melunturkan nilai-nilai Ahlussunnah wal Jamaah ala NU, maka dengan ini kami menyatakan: ‘…Senantiasa menjalankan amaliah ibadah Ahlussunnah wal Jamaah ala NU; melestarikan praktik-praktik dan tradisi keagamaan salafush shalih; seperti salat-salat sunah, salat tarawih 20 rakaat, wirid, salawat, qunut, talqin, ziarah qubur, tahlil, manaqib, ratib, Maulid Nabi, haul dan istighotsah; serta toleran terhadap tradisi budaya yang sesuai dengan nilai-nilai Islam sebagaimana bagian dari dakwah Ahlussunnah wal Jamaah.’”[13]

Maklumat ini merupakan respon NU terhadap gerakan kelompok-kelompok garis keras yang menjadikan NU sebagai sasaran penyusupan paham mereka yang radikal dan bertentangan dengan paham Aswaja NU yang moderat.

Penulis perlu tambahkan, bahwa pada tahun 2006 saja, menurut Ketua PBNU, jumlah masjid milik warga NU yang disusupi dan diambil alih oleh kelompok-kelompok garis keras yang mengklaim dirinya paling itu mencapai ratusan. Mereka menganggap masjid-masjid NU mempraktikkan bid’ah dan beraliran sesat. Proses pengambilalihan masjid-masjid itu berbentuk penggantian para takmir masjid yang selama ini diisi oleh warga Nahdliyyin. Tradisi-tradisi ritual keagamaan khas NU pun diganti. Parahnya lagi, kelompok garis keras juga telah menyusup ke organisasi generasi muda NU dan organisasi-organisasi majelis taklim di bawah naungan NU.

Ikhtimam
Dari uraian singkat di atas, gagasan tentang Negara Islam yang sudah dibuktikan sejarah akan menimbulkan ketidakharmonisan rakyat Indonesia, kiranya tidak kita pandang sebelah mata. Karena kenyataannya sungguh ironis, masih banyak kalangan kita yang “mengagungkan” mereka.

Sebagai generasi muda NU, kiranya kita betul-betul memahami apa yang telah diwasiatkan para pendahulu kita. Paling tidak memahami karakter kita, at-Tawassuth wa al-I’tidal.

Dalam kehidupan berbangsa dan bernegara, setidaknya Nahdlatul Ulama memiliki tiga karakter; pertama, Negara nasional (yang didirikan bersama oleh seluruh rakyat) wajib dipelihara dan dipertahankan eksistensinya.

Kedua, penguasa Negara (pemerintah) yang sah harus ditempatkan pada kedudukan yang terhormat dan ditaati, selama tidak menyeleweng, dan/atau memerintah ke arah yang bertentangan dengan hukum dan ketentuan Allah. Ketiga, kalau terjadi kesalahan dari pihak pemerintah, cara memperingatkannya melalui tatacara yang sebaik-baiknya.[14]

Lebih dari sekedar menjaga keutuhan NKRI, menjaga keyakinan ahli sunnah wal jamaah ala NU harus kita kokohkan. Karena nasi telah menjadi bubur. Mereka (PKS) telah masuk dalam deretan partai besar dalam pemilu legislatif kemarin. Untuk itu, siap-siap saja mengawal “gawang” NU dari serangan mematikan.

Terakhir, penulis hanya bisa mengingatkan, serangan fundamentalis memang benar-benar nyata.

“…PKS niku sangat berbahaya…”.[15] Wallahu A’lam

Footnote:
1. Majalah Tempo, 27 Januari 2002.
2. KAISAR ’08, Aliran-Aliran Teologi Islam, Purna Siswa Aliyah 2008 Madrasah
Hidayatul Mubtadi-ien Lirboyo, Kediri, Agustus, Cet I, hal. 107.
3. http://tehranifaisal.blogspot.com/2007/03/persamaan-wahabi-dan-khawarij.html
4. The Wahid Institute, Ilusi Negara Islam; Ekspansi Gerakan Islam Transnasional di
Indonesia, Desantara Utama Media, Jakarta, Cet. I, 2009, hal. 69.
5. Imam Ghazali Said, Ideologi Kaum Fundamentalis, Diantama, Surabaya, 2003, hal.
152-153.
6. Imam Ghazali Said, Ibid, hal 160.
7. Joel L. Kraemer, diterjemahkan oleh Asep Saefullah, Renaisans Islam; Kebangkitan
Intelektual dan Budaya Pada Abad Pertengahan, Mizan, Bandung, Cet. I, 2003, hal.
105.
8. http://id.wikipedia.org/
9. Saiful Mujani, Muslim Demokrat; Islam, Budaya Demokrasi, dan Partisipasi Politik
di Indonesia Pasca Orde Baru, Gramedia Pustaka utama, Jakarta, hal. 58.
10. Anis Matta, "Kata Pengantar” dalam Aay Muhammad Furkon, Partai Keadilan Sejahtera
dan Praksis Politik Kaum Muda Muslim Indonesia Kontemporer, Bandung, Teraju,
2004.
11. Lihat Haedar Nashir, Manifestasi Gerakan Tarbiyah; Bagaimana Sikap Muhammadiyah?,
Yogyakarta, Suara Muhammadiyah, Cet. Ke-5, 2007, hal. 59.
12. Lihat Saiful Mujani, Muslim Demokrat; Islam, Budaya Demokrasi, dan Partisipasi
Politik di Indonesia Pasca Orde Baru, Gramedia Pustaka utama, Jakarta, hal. 189.
13. “NU Layani Tantangan Kelompok Islam Garis Keras,” lihat. NU Online, Selasa, 27
Februari 2007.
14. K.H. Achmad Siddiq, Khitthah Nahdliyyah, Khalista, Surabaya, Cet. III, Desember,
2005, hal. 66.
15. K.H. Ahmad Idris Marzuqi, Pengajian Hikam, Kediri, Kamis, 28 Mei 2009.
NEXT ARTICLE Next Post
PREVIOUS ARTICLE Previous Post
NEXT ARTICLE Next Post
PREVIOUS ARTICLE Previous Post