-->

Menjaga Akidah, Mempertahankan Indonesia

Oleh: Alfa RS.

Setelah sekian lama perjalanannya, pancasila sebagai ideologi Negara akhir-akhir ini bisa dikatakan mulai 'terancam'. Setidaknya dengan munculnya Perda (Peraturan Daerah) Syariah di beberapa daerah. Meskipun Perda Syariah itu tidak mendiskriminasikan penganut agama lain, tapi diakui atau tidak, Perda itulah yang akhirnya memunculkan wacana Perda Kota Injil –peraturan yang berlandaskan pada kitab suci umat Kristen– di Manokwari, Ibukota Propinsi Papua Barat.

Munculnya Perda itu sebenarnya bermula dari diberlakukannya kebijakan otonomi daerah. Penyelenggaraan Otonomi Khusus Propinsi Papua sendiri resmi dengan keluarnya Undang-Undang Nomor 21 tahun 2001. Melalui otonomi daerah ini, pemerintah daerah Papua diberikan kewenangan untuk mengatur dan mengurus daerahnya masing-masing dalam berbagai hal, kecuali: Politik luar negeri, pertahanan, keamanan, politik luar negeri, moneter dan fiskal serta agama.

Dalam Pasal 18 ayat (2) Undang-undang dasar 1945 dan juga dalam Pasal 10 Undang-Undang Nomor 32 tahun 2004 Tentang Pemerintahan Daerah. Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 125 dan Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4437, diatur bahwa keenam bidang tersebut diatas merupakan kewenangan pemerintah pusat. Artinya, selain enam bidang tersebut berbagai kewenangan yang ada merupakan kewenangan pemerintah daerah.

Perda Kota Injil yang mulai gencar diwacanakan sejak 2006 dan menimbulkan banyak respon itu, sebenarnya sampai kini masih dalam proses penggodokan. Pasalnya, terdapat beberapa ayat yang bertentangan dengan UU Otonomi Daerah sendiri dan mendiskriminasikan penganut agama lain, khususnya Islam. Seperti dilarang mengumandangkan adzan, memakai jilbab di tempat umum, sampai larangan mendirikan masjid di daerah yang telah ada gerejanya.

Banyak yang beranggapan, penggagasan Perda ini adalah semata karena unsur politik. Namun mereka –anggota DPRD yang menggagas Perda Kota Injil– membantah. Menurut mereka, landasan dasar Perda Kota Injil adalah sebagai bentuk pengakuan terhadap sejarah, bahwa Manokwari merupakan pintu bagi penyebaran Kristen di tanah Papua.
Menurut referensi yang berhasil penulis kumpulkan, Kristen masuk di tanah Papua tahun 1855. [1] Konon, dua misionaris Jerman, Carl Ottow dan Johan Gottleib Geissler –di Papua terkenal sebagai Rasul, tiba di pulau Mansinam, di pesisir Manokwari, dan mereka inilah yang menegaskan kawasan Manokwari sebagai tanah suci. Sejak itu, Manokwari dikenal secara tak resmi sebagai “Kota Injil”, dan dalam tahun-tahun belakangan diadakan perayaan untuk memperingati peristiwa itu setiap tanggal 5 Februari.

Terlepas dari landasan mereka merancang Perda Kota Injil, setidaknya sebagai Nahdliyyin ada beberapa hal yang menarik untuk diwacanakan. Pertama, merubah sistem dakwah kita yang selama ini cenderung devensif.

Nahdlatul Ulama (NU) sebagai payung lembaga yang bertugas mengawal akidah ahlusunnah wal jamaah, sudah saatnya mengeluarkan semacam ’perintah keras’ untuk menghadang lawan. Semisal dengan memberikan instruksi kepada setiap pesantren untuk mengirimkan santrinya di daerah-daerah yang memungkinkan terjadinya ’peperangan’. Seperti kawasan perbatasan dan daerah-daerah terluar.

Realisasi program ini tentunya tidak akan lepas dari problem. Kendala yang utama, disamping keengganan para lulusan pesantren ketika harus kembali merantau, biasanya juga ada semacam larangan dari orang tua ketika harus kembali melepas anak-anaknya. Untuk itu, dalam setiap kegiatan NU perlu adanya pemulihan tentang pemahaman ini. Patut direnungkan, ditahun 1855 saja, penginjil dari Jerman telah berhasil membidik Papua. Kenapa kita tidak?

Didaerah dalam sendiri, diperlukan kembali penekanan akan pemahaman ahlusunnah wal jamaah. Sehingga masyarakat tidak lagi memahami akidah setengah-setengah. Karena jika ’perintah keras’ itu hanya mengarah pada daerah luar, kasus-kasus seperti Santriloka –aliran sesat yang kemarin ramai di Mojokerto, sangat mungkin terulang kembali.

Kedua, memaksimalkan teknologi. Menurut seorang Praktisi IT, Judith Monique, tahun 2010 dunia, termasuk Indonesia, memasuki gerbang generasi platinum. Ringkasnya, saat ini, keseharian manusia tak bisa dilepaskan dari teknologi. Terlebih penggunaan internet.

Seiring dengan mudahnya mengakses internet, semisal dari ponsel yang sudah berbasis java saja, dengan tarif yang relatif terjangkau, masyarakat sudah bisa melihat dunia. Bahkan, situs jejaring yang sempat mengundang kontraversi saja, telah keluar dari tujuan utama pembuatnya. Karena sekarang dijadikan oleh mereka untuk medan dakwah.

Terlepas dari anggapan internet laksana pisau bermata dua, yang jelas, sudah saatnya kita berdakwah di dunia maya. Karena harus kita akui, jika kita mencari kajian Islam di internet, sedikit sekali kita menemukan gagasan-gagasan yang sejalan dengan ahlusunnah wal jamaah.

Ketiga, terkait peraturan daerah, kiranya kita cukupkan dengan Nanggroe Aceh Darussalam yang menerapkan syariat Islam. Karena sejak awal sikap NU adalah mengusung ajaran Islam dengan lentur, tanpa harus melalui jalan formal. Sebab, kehadiran institusi formal bukan suatu jaminan untuk terwujudnya nilai-nilai syariah di dalam masyarakat, sebagaimana komentar KH. MA Sahal Mahfudz pada khutbah iftitah Munas Alim Ulama dan Konbes NU di Sukolilo, Surabaya, 18 Juli 2006.

Mengutip ungkapan KH. Muhyiddin Abdusshomad, bagi NU, Pancasila, UUD 1945 dan NKRI (Negara Kesatuan Republik Indonesia) adalah upaya final umat Islam Indonesia dalam mendirikan Negara dan membentuk pemerintahan. Karena sudah jelas, seperti politik kebangsaan yang diusung NU, Negara Indonesia adalah bentuk final, sebagaimana para ulama dahulu yang menyepakati Pancasila sebagai landasan Negara. Dari ungkapan di atas, jika daerah-daerah lain menerapkan Perda Syariat seperti Aceh, maka hal itu sama saja dengan membunuh Islam di daerah lain.

Terakhir, marilah kita renungkan Khotbah Iftitah Rais Akbar KH. Hasyim Asyari dalam pembukaan Muktamar NU ke XVII, saat beliau mengajak kita berintrospeksi. ”...Marilah kita pelajari poin ini (koreksi diri) dari dimensi spirit agama, kita akan mengetahui ternyata kondisi keagamaan kemarin justru lebih baik dibanding hari ini, (Ahad, 14 Mei 1947). Pada tahun-tahun yang lalu perhatian begitu besar terhadap urusan keagamaan, namun kemudian akhir-akhir ini intensitas dan kepedulian kita terhadap masalah tersebut semakin melemah, bahkan kini hampir tak terdengar lagi gaungnya.

Lembaga-lembaga pendidikan agama sepi, penghuninya yang tinggal paling-paling sekitar sepuluh persen dibanding tahun-tahun yang lalu. Sekolah-sekolah Islam (Madrasah) banyak yang gulung tikar disebabkan oleh sedikitnya animo masyarakat dan sulitnya mencari orang-orang yang betul-betul punya tanggung jawab dan kepedulian yang besar untuk menghidupkannya kembali. Masjid-masjid dan muehalla begitu menyedihkan kondisinya, karena walau tersebar di mana-mana namun yang tinggi hanya bangunan yang sudah mulai ditinggal jamaah dan orang-orang yang mau merawatnya...” [2]

Dengan tiga poin diatas, akidah ahlusunnah wal jamaah akan tetap terjaga, disamping juga kelanggengan Negara Republik Indonesia. Semoga.

Footnote:
[1]  http://www.voa-islam.com/news/indonesia/2010/01/06/2429/
ba'asyirkalau-'kota-injilpapua-zalimi-islamkita-kirimkan-mujahidin/
[2]  http://www.lakpesdam.or.id/publikasi/281/
khotbah-iftitah-rais-akbar-kh-hasyim-asyari-pembukaan-muktamar-nahdlatul-ulama-xvii-madiun-1947
NEXT ARTICLE Next Post
PREVIOUS ARTICLE Previous Post
NEXT ARTICLE Next Post
PREVIOUS ARTICLE Previous Post