-->

Polemik Idul Adha

Oleh: Alfa RS

Beberapa hari lagi kita akan merayakan Idul Adha, suasana yang kadang tidak dapat kita rasakan kebahagiaannya karena keadaan. Ya, bagaimana mau bahagia, kalau makan saja masih seperti biasa, seadanya.
Terlepas dari semua itu, penulis mencoba menyajikan hal lain yang tentunya lebih dari sekedar perasaan bahagia atau tidak.

Bila kita tengok beberapa tahun kebelakang, kita akan menjumpai tahun-tahun dimana ada perbedaan penentuan awal bulan Dzulijjah antara pemerintah Arab Saudi dan Indonesia. Contohnya pada Dzulhijjah 1427 H/ 2006 M. dimana Saudi menetapkan Awal Dzulhijjah pada hari Kamis (21 Desember 2006) dan Indonesia menetapkan hari Jum'at (22 Desember 2006) maka untuk umat Islam Indonesia melaksanakan puasa Arafah dan Tarwiyah sesuai dengan ketetapan pemerintah setempat, yakni tanggal 8-9 Dzulhijjah (29-30 Desember 2006).

Tahun berikutnya, perbedaan itu kembali terjadi. Dalam penetapan hari Idul Adha 1428 H./ 2007 M. pemerintah melalui Departemen Agama menetapkan bahwa Idul Adha 1428 H jatuh pada hari Kamis, 20 Desember 2007. Bila Idul Adha adalah 10 Dzulhijjah, maka 9 Dzulhijjah-nya atau Hari Arafah, hari dimana jamaah haji wukuf di Arafah, mestinya jatuh sehari sebelumnya, yakni Rabu, 19 Desember 2007. Sedang Mahkamah Agung Kerajaan Arab Saudi mengumumkan bahwa wukuf atau hari Arafah (9 Dzulhijjah) jatuh pada Selasa, 18 Desember 2007. Dengan demikian Idul Adha (10 Dzulhijjah) akan jatuh pada hari Rabu, 19 Desember 2007, bukan hari Kamis, 20 Desember 2007 seperti yang telah ditetapkan oleh pemerintah Indonesia.[1]

Tentu keadaan ini mengundang tanya, bagaimana umat harus bersikap?

Bila ingin puasa hari Arafah, kapan harus dilakukan: Selasa, 18 Desember sesuai dengan hari ketika jamaah haji wukuf di Arafah, atau Rabu, 19 Desember sesuai dengan ketentuan pemerintah Indonesia? Bila memilih Rabu, 19 Desember, pertanyaannya, betulkah hari itu adalah hari Arafah, mengingat jamaah haji di sana hari itu justru tengah merayakan Idul Adha dan sudah melakukan wukuf sehari sebelumnya? Bila benar seperti ketetapan pemerintah bahwa hari Arafah jatuh pada hari Rabu tanggal 19 Desember, bukankah berpuasa pada Rabu, 19 Desember berarti berpuasa di hari yang justru dilarang untuk berpuasa karena pada faktanya hari Arafah yang sesungguhnya – saat para jamaah haji melakukan wukuf di Arafah - terjadi pada Selasa, 18 Desember? Bila pemerintah bersikeras bahwa hari Arafah jatuh pada Rabu 19 Desember, lantas Arafah mana yang dimaksud oleh pemerintah, mengingat Arafah hanya ada satu, yakni di tanah suci, tempat para jamaah haji melakukan wukuf. Dan bila memilih puasa di hari Selasa 18 Desember, kapan harus shalat Idul Adha-nya? Rabu, 19 Desember atau Kamis, 20 Desember?

Mungkin kita akan beranggapan peristiwa ini sangat menyedihkan sekaligus memalukan bagi umat Islam. Namun sebenarnya, ini hanya masalah sepele yang tidak perlu kita pusingkan. Karena ini semata didasarkan pada perbedaan posisi geografis antara Negara kita dan Arab Saudi.

Pelaksanaan Idul Adha di Arab Saudi sehari setelah wukuf adalah suatu kepastian, namun untuk wilayah lain perlu diperjelas lagi, sebab bumi ini tidaklah datar. Ada yang secara mudah mendefinisikan bila wukuf di Arafah jatuh hari Jumat maka Idul Adha jatuh hari Sabtu untuk seluruh dunia dan termasuk di Indonesia tanpa memperhatikan hari itu 10 Dzulhijjah atau bukan. Sejauh ini, belum ada keterangan pasti yang dapat dijadikan landasan pendapat ini, selain mengikuti kelaziman hari dalam definisi syamsiyah dalam kalender umum.

Hal yang perlu diperhatikan, jika kita dipaksakan melaksanakan Idul Adha bersamaan dengan Arab Saudi, kita malah akan disebut mendahului, bukan mengikuti Arab Saudi. Karena dari segi waktu shalat Idul Adha pasti mendahului. Sebab ketika di Indonesia melaksanakan shalat Idul Adha pukul 07.00 WIB, di Arab Saudi masih sekitar pukul 03.00 dini hari.

Jadi, perbedaan itu akan kita rasakan kesemuannya bila melihat dua aspek. Pertama aspek astronomis penentuan awal Dzulhijjah, dan kedua aspek syari'ah (fikih) yang berkaitan dengan puasa hari Arafah. Seperti yang telah dijelaskan sekilas di atas, perbedaan itu bermula dari letak geografis yang mengharuskan Indonesia dan Arab Saudi berbeda dalam waktu. Hal ini tidak dapat kita tampik, selamanya Indonesia tidak akan pernah sama dengan Arab Saudi.

Dari perbedaan waktu itu, otomatis secara fikih kita tidak bisa mengikuti Idul Adhanya Arab Saudi. Karena ketika shalat ied digelar di sana, kita belum masuk waktu diperbolehkannya melakukan shalat ied, yang secara fikih harus dilakukan setelah matahari terbit atau masuknya waktu shalat dhuha.

Ide untuk menyamakan Idul Adha di Indonesia sama dengan Arab Saudi bahkan diseluruh dunia pada dasarnya akan mengingkari bundarnya bumi, Idul Adha bisa dilaksanakan sama diseluruh dunia jika kita mampu merubah bumi menjadi datar seperti datarnya lapangan sepak bola.

Daya Tarik Makkah

Umat Islam Indonesia, bahkan dunia, yang menunaikan ibadat haji tiap tahun terus meningkat. Timbul pertanyaan, mengapa minat masyarakat begitu besar. Jawabannya, paling kurang dua hal.

Pertama, ketakwaan umat makin meningkat, walau di sana-sini banyak menimbulkan pertanyaan. Kedua, daya tarik Tanah Suci (Makkah dan Madinah). Daya tarik itu paling kurang dua hal pula. Pertama, Tanah suci itu relatif aman. Kebiasaan culik-menculik dan bunuh-membunuh di zaman jahiliah memang kenyataan, tetapi itu tidak mungkin terjadi di Tanah Suci, karena semua suku Arab menghormatinya. “Dan apakah mereka tidak memperhatikan, bahwa sesungguhnya Kami telah menjadikan (negeri mereka) tanah suci yang aman, sedang manusia sekitarnya rampok-merampok. Maka mengapa (sesudah nyata kebenaran) mereka masih percaya kepada yang bathil dan ingkar kepada nikmat Allah?” (QS. Al 'Ankabuut: 67).

Dan sekalipun Ka'bah pernah rusak dihantam peluru pada zaman Khalifah Yazid bin Mu'awiyah, Tanah Suci relatif aman. Bahkan keamanan itu dapat dilihat pada kawasan Saudi Arabia pada umumnya sampai sekarang, dibanding kawasan-kawasan sekelilingnya.

Kedua, adanya keistimewaan pada Masjidil Haram dan Ka'bah sendiri. Masjidil Haram, di samping istimewa dengan besarnya nilai ibadah yang dikerjakan di dalamnya, paling kurang istimewa pula karena menjadi kiblat, yaitu titik pusat ibadat.

Kepergian seorang muslim ke Tanah Suci, di samping untuk menyempurnakan keislamannya, yaitu mengerjakan rukun Islam kelima, memperoleh damainya Tanah Suci, seperti yang telah Allah firmankan, meraup laba beribadat di dalam Masjidil Haram, serta harapan doanya akan terkabul di bawah naungan martabat ka'bah.

Semangat Dzulhijjah

Menurut penulis, dua peristiwa besar yang terjadi di bulan ini tidak bisa disamaratakan. Ada perbedaan pokok antara Idul Adha dan pelaksanaan ibadah haji. Esensi Idul Adha bukan semata ritual penyembelihan kurban, melainkan lebih dari itu. Begitu juga pelaksanaan haji, bukan sekedar pengguguran kewajiban rukun Islam bagi yang mampu melaksanakannya.

Idul Adha artinya kembali kepada semangat berkurban. Berbeda dengan Idul Fitri yang artinya kembali kepada fitrah, Idul Adha lebih berupa kesadaran sejarah akan kehambaan yang dicapai Nabi Ibrahim dan Nabi Ismail AS. Bagaimana kehambaan itu dapat kita kenang dan esensinya mampu untuk kita aplikasikan dalam keseharian.

Dalam QS. Ash Shaaffaat 100-111, Allah swt. menggambarkan kejujuran Nabi Ibrahim dalam melaksanakan ibadah kurban. Indikatornya dua hal:

Pertama, al istijabah al fauriyah yakni kesigapannya dalam melaksanakan perintah Allah sampai pun harus menyembelih putra kesayangannya. Ini nampak ketika Nabi Ibrahim langsung menemui putranya Ismail begitu mendapatkan perintah untuk menyembelihnya.

Kedua, shidqul istislam yakni kejujuran dalam melaksanakan perintah. Allah berfirman:“Tatkala keduanya telah berserah diri dan Ibrahim membaringkan anaknya atas pelipis (nya), (nyatalah kesabaran keduanya).” (QS. Ash Shaaffaat: 103).

Inilah pemandangan yang sangat menegangkan. Bayangkan, seorang ayah dengan jujur sedang siap-siap melakukan penyembelihan. Tanpa sedikitpun ragu. Kata aslamaa yang artinya keduanya berserah diri menunjukkan makna bahwa penyerahan diri tersebut tidak hanya terjadi sepihak, melainkan kedua belah pihak, baik dari Ibrahim maupun Ismail.

Dari sini nampak bahwa untuk mencapai derajat kehambaan sejati, tidak ada lain kecuali dengan membuktikan al istijabah al fauriyyah dan shidqul istislam. Nabi Ibrahim dan Nabi Ismail telah membuktikan kedua hal tersebut.

Sedang ritual haji lebih kepada penyadaran bahwa manusia adalah makhluk yang tak punya apa-apa. Kain ihram yang putih dan sederhana menyimbolkan kesucian dan pelucutan keduniawian dari manusia. Tiadalah yang pantas manusia sombongkan di hadapan Yang Maha Kuasa. Pangkat, suku, dan kekayaan tidak lagi terlihat. Begitu juga thawaf yang menggambarkan kebebasan manusia beraktifitas. Namun aktifitas itu tetaplah harus berada dalam orbit aturan Allah, mengelilingi ka’bah. Lewat ritual sa’i, kita diajarkan untuk gigih dalam upaya mendapatkan karunia Allah. Sebagaimana kegigihan Siti Hajar mencari mata air.

Wukuf di Arafah atau berdiam diri di Padang Arafah bermakna pengenalan. Saat inilah seorang muslim diharapkan bisa lebih mengenali dirinya dan Allah Swt sebagai Rabbnya dengan berdiam, merenung, introspeksi dan bertaubat. Hal ini menggambarkan bagaimana manusia di padang Mahsyar, diam, cemas dan penuh harap saat menunggu keputusan Allah Swt: Surga atau Neraka.

Tahalul yang berarti halal yaitu menggunting/ mencukur rambut. Setelah bertahalullul, sesuatu yang semula tidak diperbolehkan menjadi boleh. Karena itu, muslim hanya melakukan yang dihalalkan Allah. Sehingga diharapkan, mereka akan lebih baik menjalankan ajaran agama ketika telah kembali ke kampung halamannya. Wallahu A'lam.

Footnote:
[1]. Republika, 12 Desember 2007.
NEXT ARTICLE Next Post
PREVIOUS ARTICLE Previous Post
NEXT ARTICLE Next Post
PREVIOUS ARTICLE Previous Post