Oleh: Alfa RS.
Selasa dua puluh Januari lalu, Amerika Serikat menapaki sejarah baru setelah Barack Obama diambil sumpahnya sebagai presiden ke-44 Amerika Serikat. Fenomena yang mendorong munculnya tokoh muda Indonesia bertarung pada sembilan April nanti.
Berkaca pada Wiliam Riker (1982) dalam Political Men, “Keunikan demokrasi adalah karena adanya perpaduan tujuan dan cara. Bukan sekedar tujuan harus baik, tapi juga cara untuk mencapainya”, maka, putusan Mahkamah Konstitusi (MK) delapan belas Pebruari lalu adalah satu dari sekian banyak keunikan itu.
Benar apa yang dijadikan pertimbangan hukum MK mencekal calon perseorangan, syarat 20 persen kursi dan 25 persen suara sah untuk pencalonan presiden dan wapres itu tidak berpotensi menyebabkan pemilu yang tidak demokratis, langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil. Diantara keduanyapun tidak ada korelasi logis. Namun, apakah 25 persen suara itu harga mati?
Terlepas dari kinerja Komisi Pemilihan Umum (KPU) yang diragukan banyak kalangan, (Kompas, Selasa, 9/1/09), melihat indikasi adanya kendala kekuasaan oleh kerumunan, tentu duapuluh lima persen merupakan hal kecil.
Mencari tokoh yang konstruktif, kreatif, partisipatif, integratif, rasional, objektif, dan pragmatis dalam menetapkan kebijakan, sangatlah sulit. Terlebih dengan kondisi politik Indonesia sekarang. Sebelum menjadi liar, dunia politik sudah waktunya memasuki sendi keruhanian yang sarat akan kebenaran dan keadilan.
Berbicara demokrasi, tentu kita tidak akan lepas dari peran Nabi Muhammad. Lewat piagam Madinah ia tuangkan ide adanya suatu tatanan sosial-politik yang diperintahkan bukan oleh kemauan pribadi, melainkan secara bersama-sama; bukan oleh prinsip-prinsip ad hoc yang dapat berubah sejalan dengan keinginan pemimpin, melainkan oleh prinsip-prinsip yang dilembagakan dalam dokumen kesepakatan dasar semua anggota masyarakat, yaitu sebuah undang-undang.
Menurut Muhammad Arkoun, eksperimen Madinah itu telah menyajikan kepada umat manusia contoh tatanan sosial-politik yang mengenal pendelegasian wewenang (artinya, kekuasaan tidak memusat pada tangan satu orang seperti sistem diktatoral, melainkan kepada orang banyak melalui musyawarah) dan kehidupan berkonstitusi.
Prinsip partisipatif-egaliter juga nampak dalam pidato penerimaan pengangkatan Abu Bakar menjadi pengganti pertama Muhammad. Pidato pertama tentang statemen politik yang amat maju, begitu anggapan banyak ahli sejarah.
Pidato itu merupakan manifesto politik secara singkat dan padat menggambarkan kontinuitas prinsip-prinsip tatanan masyarakat yang telah diletakkan oleh Muhammad. Abu Bakar mengakui bahwa ia adalah “orang kebanyakan”, mengharap rakyat membantunya jika bertindak benar dan meluruskannya bila keliru, menyerukan agar semua pihak menepati etika kejujuran sebagai amanat, menegaskan atas persamaan prinsip kemanusiaan (egalitarianisme), keadilan sosial, dan memelihara jiwa perjuangan (sikap hidup penuh cita-cita luhur dan melihat jauh ke masa depan).
Setelah demokrasi berjalan lebih dari 10 tahun, masih kita temukan “kursi-kursi” disalah gunakan. Meminjam istlahnya Michael H. Hart, seorang pemimpin yang tangguh, tulen, dan efektif, kiranya sosok Muhammad patut kita rindukan setelah lebih dari seribu tiga ratus tahun yang lalu tiada.
Selasa dua puluh Januari lalu, Amerika Serikat menapaki sejarah baru setelah Barack Obama diambil sumpahnya sebagai presiden ke-44 Amerika Serikat. Fenomena yang mendorong munculnya tokoh muda Indonesia bertarung pada sembilan April nanti.
Berkaca pada Wiliam Riker (1982) dalam Political Men, “Keunikan demokrasi adalah karena adanya perpaduan tujuan dan cara. Bukan sekedar tujuan harus baik, tapi juga cara untuk mencapainya”, maka, putusan Mahkamah Konstitusi (MK) delapan belas Pebruari lalu adalah satu dari sekian banyak keunikan itu.
Benar apa yang dijadikan pertimbangan hukum MK mencekal calon perseorangan, syarat 20 persen kursi dan 25 persen suara sah untuk pencalonan presiden dan wapres itu tidak berpotensi menyebabkan pemilu yang tidak demokratis, langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil. Diantara keduanyapun tidak ada korelasi logis. Namun, apakah 25 persen suara itu harga mati?
Terlepas dari kinerja Komisi Pemilihan Umum (KPU) yang diragukan banyak kalangan, (Kompas, Selasa, 9/1/09), melihat indikasi adanya kendala kekuasaan oleh kerumunan, tentu duapuluh lima persen merupakan hal kecil.
Mencari tokoh yang konstruktif, kreatif, partisipatif, integratif, rasional, objektif, dan pragmatis dalam menetapkan kebijakan, sangatlah sulit. Terlebih dengan kondisi politik Indonesia sekarang. Sebelum menjadi liar, dunia politik sudah waktunya memasuki sendi keruhanian yang sarat akan kebenaran dan keadilan.
Berbicara demokrasi, tentu kita tidak akan lepas dari peran Nabi Muhammad. Lewat piagam Madinah ia tuangkan ide adanya suatu tatanan sosial-politik yang diperintahkan bukan oleh kemauan pribadi, melainkan secara bersama-sama; bukan oleh prinsip-prinsip ad hoc yang dapat berubah sejalan dengan keinginan pemimpin, melainkan oleh prinsip-prinsip yang dilembagakan dalam dokumen kesepakatan dasar semua anggota masyarakat, yaitu sebuah undang-undang.
Menurut Muhammad Arkoun, eksperimen Madinah itu telah menyajikan kepada umat manusia contoh tatanan sosial-politik yang mengenal pendelegasian wewenang (artinya, kekuasaan tidak memusat pada tangan satu orang seperti sistem diktatoral, melainkan kepada orang banyak melalui musyawarah) dan kehidupan berkonstitusi.
Prinsip partisipatif-egaliter juga nampak dalam pidato penerimaan pengangkatan Abu Bakar menjadi pengganti pertama Muhammad. Pidato pertama tentang statemen politik yang amat maju, begitu anggapan banyak ahli sejarah.
Pidato itu merupakan manifesto politik secara singkat dan padat menggambarkan kontinuitas prinsip-prinsip tatanan masyarakat yang telah diletakkan oleh Muhammad. Abu Bakar mengakui bahwa ia adalah “orang kebanyakan”, mengharap rakyat membantunya jika bertindak benar dan meluruskannya bila keliru, menyerukan agar semua pihak menepati etika kejujuran sebagai amanat, menegaskan atas persamaan prinsip kemanusiaan (egalitarianisme), keadilan sosial, dan memelihara jiwa perjuangan (sikap hidup penuh cita-cita luhur dan melihat jauh ke masa depan).
Setelah demokrasi berjalan lebih dari 10 tahun, masih kita temukan “kursi-kursi” disalah gunakan. Meminjam istlahnya Michael H. Hart, seorang pemimpin yang tangguh, tulen, dan efektif, kiranya sosok Muhammad patut kita rindukan setelah lebih dari seribu tiga ratus tahun yang lalu tiada.