Oleh: Alfa RS
Hampir semua pesantren baik yang salaf ataupun modern, hampir melarang para santrinya untuk bermain playstation (PS). Mengenai hal ini kadang banyak yang kurang setuju, apalagi bagi akang santri yang sudah terbiasa memainkan berbagai permainan ketika di rumah.
Padahal kalau kita mau sedikit berpikir, mungkin akan mendukung program para pengurus yang telah melindungi para santrinya. Mengapa? Karena selain menimbulkan kecanduan, permainan ini ternyata bisa mengakibatkan sindrom tertentu. Seperti keterangan dari seorang dokter yang akan saya bagi dengan anda, semoga ada manfaatnya.
Awalnya adalah tulisan di jurnal Medical British tentang kasus anak usia 15 tahun di wilayah Inggris yang menderita hand-arm vibration syndrome. Gejalanya, tangan bergerak sendiri hingga susah dikoordinasikan. Selain itu, jari-jemari berwarna putih dan di ujung-ujungnya terjadi pembengkakan. "Kalau dicoba digerakkan, terasa sakit dan lama-lama jemari yang tadinya putih jadi merah," jelas dr. Karel Staa, SpA. dari RS Pondok Indah Jakarta.
Padahal, lanjut Karel, sindrom tersebut biasanya hanya diderita orang dewasa, bukan anak-anak. "Umumnya orang dewasa kena sindrom ini akibat kecelakaan kerja. Terutama pekerja pabrik yang sering menggunakan benda-benda yang menimbulkan getaran seperti bor."
Nah, kembali ke kasus anak tadi, setelah dipelajari ternyata ia menghabiskan waktu 7 jam sehari untuk bermain PS. "Sarafnya rusak hingga gerakan-gerakan untuk melakukan kegiatan sehari-hari jadi terganggu. Alhasil, ia harus menjalani fisioterapi." Tuh, bahayakan.
Kendati kasus seperti ini baru pertama kali ditemukan, bukan tak mungkin akan bertambah lagi jumlahnya. "Bahkan di Indonesia mungkin saja sudah ada kasus serupa namun tidak dilaporkan, hingga tidak ada yang tahu," kata Karel.
Selain gejala tadi, PS juga didengung-dengungkan berdampak buruk pada mata. Salah satu penyebabnya karena gambar PS yang selalu bergerak-gerak sehingga menambah beban kerja mata. Masalahnya, bola mata harus "mengejar-ngejar" gambar untuk bisa mengikuti gerakannya. Jika hal itu dilakukan terus-menerus, mata jadi pegal karena ototnya tidak bisa berelaksasi sama sekali. Asal tahu saja, menurut para ahli, beban mata ketika bermain PS bisa 4 kali lebih melelahkan ketimbang membaca!
Kelelahan mata juga disebabkan monitor PS yang berwarna dan flickering (sering berkejap). Sementara saraf mata baru akan bekerja bila terkena sinar. Jadi, ketika sinar terus-menerus datang tanpa jeda, mata tak punya kesempatan untuk memperbaiki dirinya dan timbul kelelahan. Nah, kalau mata dipakai main PS selama 30 menit sampai 7 jam tanpa istirahat, "Dikhawatirkan dalam waktu 1-3 tahun saja, mata akan mengalami keluhan miyop atau rabun." Tambah dr. Karel Staa, SpA
Kekhawatiran lain berkaitan dengan jarak mata kita saat bermain PS yang sering terlampau dekat dengan monitor. Padahal, kondisi itu membuat otot-otot mata bekerja lebih keras. "Ketika melihat jauh, sebenarnya mata bekerja dengan santai karena posisi bola mata dalam keadaan sejajar. Sebaliknya, ketika objek berada dalam jarak dekat, mata akan bekerja lebih berat karena bola mata harus bergeser mendekat. Bila keseringan, bola mata akan berusaha menjadikan posisi yang dekat tadi menjadi posisi yang nyaman. Akhirnya, si kecil bisa terancam menderita mata minus atau silinder," urai Karel.
Playstation sebenarnya tidak bisa "dituduh" sebagai satu-satunya faktor penentu minus-tidaknya mata, mengingat faktor genetik juga memegang peranan dalam hal ini. Seorang anak yang salah satu atau bahkan kedua orang tuanya berkacamata minus, kemungkinan besar akan lebih cepat mengenakan kaca mata ketimbang yang tidak.
Dampak yang muncul pun bersifat individual alias tidak akan sama pada setiap anak. Soalnya, lanjut Karel, kasus PS pada dasarnya hampir sama dengan kasus alergi. Beberapa anak akan lebih sensitif pada dampak yang ditimbulkan dibanding anak lain. "Ini karena karakter anatomi masing-masing individu, berbeda-beda." Tidak ada rumusan pasti mengapa si A yang selalu bermain PS dengan frekuensi dan durasi yang sama dengan si B, bisa mengalami dampak yang berlainan. Dengan kata lain, tidak dapat disamaratakan melainkan harus dilihat kasus per kasus.
Menurut Karel, masih ada beberapa dampak yang bisa terjadi akibat bermain playstation. Di antaranya: Kerusakan tumbuh kembang fisik. Saking asyiknya main PS, kita tentu akan nongkrong di depan monitor dalam jangka waktu lama, hingga tubuh tidak aktif bergerak. Ini tentu membuat otot-otot kita tidak terlatih. Alhasil, kemampuan motorik kasarnya akan terhambat. Danpak lainnya adalah obesitas, penimbunan lemak yang berlebihan dalam jaringan subkutan di seluruh tubuh, gampangannya penyakit berupa kegemukan yang berlebihan.
Dari ulasan tadi, kiranya kita perlu untuk memikirkan kembali jika kita mau bermain playstation. So, bukan maksud menggurui, namun kiranya kita tidak usah mengeluh dengan apa yang selama ini digariskan oleh pesantren, karena apa yang telah disepakati sejatinya untuk kebaikna kita bersama.
Terakhir, mungkin akan lebih baik jika liburan nanti kita isi dengan kegiatan yang lebih positif. Setuju?
Hampir semua pesantren baik yang salaf ataupun modern, hampir melarang para santrinya untuk bermain playstation (PS). Mengenai hal ini kadang banyak yang kurang setuju, apalagi bagi akang santri yang sudah terbiasa memainkan berbagai permainan ketika di rumah.
Padahal kalau kita mau sedikit berpikir, mungkin akan mendukung program para pengurus yang telah melindungi para santrinya. Mengapa? Karena selain menimbulkan kecanduan, permainan ini ternyata bisa mengakibatkan sindrom tertentu. Seperti keterangan dari seorang dokter yang akan saya bagi dengan anda, semoga ada manfaatnya.
Awalnya adalah tulisan di jurnal Medical British tentang kasus anak usia 15 tahun di wilayah Inggris yang menderita hand-arm vibration syndrome. Gejalanya, tangan bergerak sendiri hingga susah dikoordinasikan. Selain itu, jari-jemari berwarna putih dan di ujung-ujungnya terjadi pembengkakan. "Kalau dicoba digerakkan, terasa sakit dan lama-lama jemari yang tadinya putih jadi merah," jelas dr. Karel Staa, SpA. dari RS Pondok Indah Jakarta.
Padahal, lanjut Karel, sindrom tersebut biasanya hanya diderita orang dewasa, bukan anak-anak. "Umumnya orang dewasa kena sindrom ini akibat kecelakaan kerja. Terutama pekerja pabrik yang sering menggunakan benda-benda yang menimbulkan getaran seperti bor."
Nah, kembali ke kasus anak tadi, setelah dipelajari ternyata ia menghabiskan waktu 7 jam sehari untuk bermain PS. "Sarafnya rusak hingga gerakan-gerakan untuk melakukan kegiatan sehari-hari jadi terganggu. Alhasil, ia harus menjalani fisioterapi." Tuh, bahayakan.
Kendati kasus seperti ini baru pertama kali ditemukan, bukan tak mungkin akan bertambah lagi jumlahnya. "Bahkan di Indonesia mungkin saja sudah ada kasus serupa namun tidak dilaporkan, hingga tidak ada yang tahu," kata Karel.
Selain gejala tadi, PS juga didengung-dengungkan berdampak buruk pada mata. Salah satu penyebabnya karena gambar PS yang selalu bergerak-gerak sehingga menambah beban kerja mata. Masalahnya, bola mata harus "mengejar-ngejar" gambar untuk bisa mengikuti gerakannya. Jika hal itu dilakukan terus-menerus, mata jadi pegal karena ototnya tidak bisa berelaksasi sama sekali. Asal tahu saja, menurut para ahli, beban mata ketika bermain PS bisa 4 kali lebih melelahkan ketimbang membaca!
Kelelahan mata juga disebabkan monitor PS yang berwarna dan flickering (sering berkejap). Sementara saraf mata baru akan bekerja bila terkena sinar. Jadi, ketika sinar terus-menerus datang tanpa jeda, mata tak punya kesempatan untuk memperbaiki dirinya dan timbul kelelahan. Nah, kalau mata dipakai main PS selama 30 menit sampai 7 jam tanpa istirahat, "Dikhawatirkan dalam waktu 1-3 tahun saja, mata akan mengalami keluhan miyop atau rabun." Tambah dr. Karel Staa, SpA
Kekhawatiran lain berkaitan dengan jarak mata kita saat bermain PS yang sering terlampau dekat dengan monitor. Padahal, kondisi itu membuat otot-otot mata bekerja lebih keras. "Ketika melihat jauh, sebenarnya mata bekerja dengan santai karena posisi bola mata dalam keadaan sejajar. Sebaliknya, ketika objek berada dalam jarak dekat, mata akan bekerja lebih berat karena bola mata harus bergeser mendekat. Bila keseringan, bola mata akan berusaha menjadikan posisi yang dekat tadi menjadi posisi yang nyaman. Akhirnya, si kecil bisa terancam menderita mata minus atau silinder," urai Karel.
Playstation sebenarnya tidak bisa "dituduh" sebagai satu-satunya faktor penentu minus-tidaknya mata, mengingat faktor genetik juga memegang peranan dalam hal ini. Seorang anak yang salah satu atau bahkan kedua orang tuanya berkacamata minus, kemungkinan besar akan lebih cepat mengenakan kaca mata ketimbang yang tidak.
Dampak yang muncul pun bersifat individual alias tidak akan sama pada setiap anak. Soalnya, lanjut Karel, kasus PS pada dasarnya hampir sama dengan kasus alergi. Beberapa anak akan lebih sensitif pada dampak yang ditimbulkan dibanding anak lain. "Ini karena karakter anatomi masing-masing individu, berbeda-beda." Tidak ada rumusan pasti mengapa si A yang selalu bermain PS dengan frekuensi dan durasi yang sama dengan si B, bisa mengalami dampak yang berlainan. Dengan kata lain, tidak dapat disamaratakan melainkan harus dilihat kasus per kasus.
Menurut Karel, masih ada beberapa dampak yang bisa terjadi akibat bermain playstation. Di antaranya: Kerusakan tumbuh kembang fisik. Saking asyiknya main PS, kita tentu akan nongkrong di depan monitor dalam jangka waktu lama, hingga tubuh tidak aktif bergerak. Ini tentu membuat otot-otot kita tidak terlatih. Alhasil, kemampuan motorik kasarnya akan terhambat. Danpak lainnya adalah obesitas, penimbunan lemak yang berlebihan dalam jaringan subkutan di seluruh tubuh, gampangannya penyakit berupa kegemukan yang berlebihan.
Dari ulasan tadi, kiranya kita perlu untuk memikirkan kembali jika kita mau bermain playstation. So, bukan maksud menggurui, namun kiranya kita tidak usah mengeluh dengan apa yang selama ini digariskan oleh pesantren, karena apa yang telah disepakati sejatinya untuk kebaikna kita bersama.
Terakhir, mungkin akan lebih baik jika liburan nanti kita isi dengan kegiatan yang lebih positif. Setuju?