-->

Memetik Perang Salib, Mampukah?

Oleh: Alfa RS

“Dan perangilah mereka itu, sehingga tidak ada fitnah lagi dan (sehingga) agama itu hanya untuk Allah belaka. Jika mereka berhenti (dari memusuhi kamu), maka tidak ada permusuhan (lagi), kecuali terhadap orang-orang yang zalim,” (QS. al-Baqarah: 193).
“Dan perangilah di jalan Allah orang-orang yang memerangi kamu, (tetapi) janganlah kamu melampaui batas, karena sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang melampaui batas,” (QS. al-Baqarah: 190).

Dua dari beberapa ayat yang jelas menerangkan bahwa peperangan dalam kerangka jihad bisa terjadi karena, 1) Kaum muslimin diserang; 2) Untuk melenyapkan fitnah (kekufuran) dan permusuhan; 3) Demi membela yang tertindas tanpa melihat agama mereka.

Dalam hubungannya dengan orang-orang Yahudi dan Nasrani, meski terdapat ayat; “Orang-orang Yahudi dan Nasrani tidak akan senang kepada kamu sehingga kamu mengikuti millah mereka...,” (QS. al-Baqarah: 120). Namun ayat ini tak pernah dipakai kaum muslimin sebagai legitimasi memerangi Yahudi dan Nasrani, hanya karena agama mereka. Justru sebaliknya, kaum Yahudi dan Nasrani di dalam Darul Islam menikmati perlindungan yang tidak mereka temukan di negara lain.

Namun perang salib, yang lama maupun yang baru, justru makin menunjukkan bahwa kekufuran adalah musuh kita.

Fakta-fakta Perang Salib
Tidak terlalu mudah mendapatkan gambaran yang akurat tentang peristiwa Perang salib yang sesungguhnya. Beberapa penulis sejarah menggambarkannya berbeda-beda, dan sebagian tampak berlebih-lebihan.

Kesulitan lainnya adalah mengenai nama-nama tempat atau kerajaan dalam buku-buku sejarah lama yang tidak dilengkapi peta, sehingga sulit dipastikan nama dan lokasinya di zaman modern ini. Apalagi bila buku-buku tersebut ditulis dalam bahasa yang berbeda-beda, misalnya dari sumber berbahasa Arab atau Latin.

Pada tulisan ini sengaja dicari fakta-fakta dari sumber-sumber Islam dan non Islam, agar didapatkan keseimbangan informasi, terutama mengenai kondisi front masing-masing. Secara keseluruhan perang salib berlangsung selama hampir dua abad, dengan momen-momen penting sebagai berikut:

Di Clermont Perancis, Paus Urbanus II (1088-1099) memulai inisiatif mempersatukan dunia Kristen (yang saat itu terbelah antara Romawi Barat di Roma dan Romawi Timur atau Byzantium di Konstantinopel). Kebetulan saat itu raja Byzantium sedang merasa terancam oleh ekspansi kekuasaan Saljuk, yakni orang-orang Turki yang sudah memeluk Islam.

Ketika terasa cukup sulit untuk mempersatukan para pemimpin dunia Kristen dengan ego dan ambisinya masing-masing, maka dicarilah suatu musuh bersama. Dan musuh itu ditemukan: umat Islam. Sasaran jangka pendeknyapun didefinisikan; pembebasan tempat-tempat suci Kristen di bumi Islam, termasuk Baitul Maqdis. Sedang sasaran jangka panjangnya adalah melumat umat Islam.

Pasukan salib tidak berencana membunuh Khalifah. Yang mereka rencanakan adalah membunuh Islam, menghapus khilafah dan menghancurkan umat yang melindunginya dan hidup untuknya. Apa artinya seorang Khalifah jika lembaga Khilafah tidak ada lagi? Apa yang bisa dikerjakan Khalifah jika umat yang dipimpinnya tewas semua?

1096 – Serangan Salib Pertama
Diberangkatkan untuk merebut Yerusalem. Pada 1099 pasukan di bawah Gottfried von Bouillon merebut Yerusalem. Mereka mendirikan negara-negara salib, yakni negara-negara boneka di wilayah-wilayah yang diduduki tentara salib.

Namun karena kelemahan Byzantium dan perpecahan dikalangan muslim sendiri, negara-negara boneka ini berkembang sebagai negara-negara latin yang feodalistis (menguasai wilayah) dan tirani (sewenang-wenang), dimana seluruh penduduk yahudi dan muslim dihabisi.

Pada Serangan Salib Kedua (1147-1149)
Pasukan salib berusaha merebut wilayah-wilayah di sepanjang pantai laut tengah, baik yang dikuasai muslim maupun bukan, seperti misalnya wilayah Athena, Korinthia dan beberapa pulau-pulau Yunani. Ini menunjukkan bahwa serangan salib sebenarnya tidak spesifik ditujukan hanya kepada umat Islam.

Serangan Salib Ketiga (1189-1192)
Terjadi setelah Sholahuddin al Ayyubi berhasil mempersatukan kembali wilayah-wilayah Islam di Mesir dan Syiria. Pada 1171 Sholahuddin berhasil menyingkirkan kekuasaan Fathimiyah di Mesir yang merupakan separatisme dari Khilafah di Bagdad, dan mendirikan pemerintahan Ayyubiah yang loyal kepada Khalifah. Pada 1187 al-Ayyubi berhasil merebut kembali Yerusalem. Serangan salib ketiga ini dipimpin oleh tokoh-tokoh Eropa yang paling terkenal; Friedrich I Barbarosa dari Jerman, Richard I Lionheart dari Inggris dan Phillip II dari Perancis. Namun di antara mereka ini sendiri terjadi perselisihan dan persaingan yang tidak sehat, sehingga Friedrich mati tenggelam, Richard tertawan (akhirnya dibebaskan setelah memberi tebusan yang mahal), sedang Phillip bergegas kembali ke Perancis untuk merebut Inggris justru selama Richard tertawan.

Serangan Salib Keempat (1202-1204)
Terjadi ketika pasukan salib dari Eropa Barat ingin mendirikan kerajaan Norman (Eropa Barat) diatas puing-puing Yunani. Paus Innocentius III menyatakan pasukan salib telah murtad (excommuned). Di Konstantinopel permintaan-permintaan tentara salib menimbulkan perlawanan rakyat, yang dibalas tentara salib dengan membakar kota itu serta mendudukkan kaisar latin serta padri latin. Sebelumnya, kaisar dan padri Konstantinopel selatan Yunani. Tahun 1212, ribuan pemuda Perancis diberangkatkan dengan kapal untuk bergabung dengan pasukan salib, namun oleh kapten kapal mereka justru dijual sebagai budak ke Afrika Utara. Reputasi pasukan salib dan respek atasnya sudah semakin pudar.

Serangan Salib Kelima (1218-1221)
Diumumkan oleh Paus Innocentius dan Konzil Lateran IV, yang juga menetapkan undang-undang inkuisisi (pemeriksaan dengan sistem pengisian keterangan/blangko) dan berbagai aturan anti yahudi. Untuk mendapatkan kembali kontrol atas pasukan salib, jabatan raja Yerusalem digantikan oleh wakil Paus. Jabatan raja Yerusalem ini hanyalah formalitas idealis, tanpa kekuasaan sesungguhnya, karena de fakto (menurut kenyataan) Yerusalem telah direbut kembali oleh al-Ayyubi.

Serangan Salib Keenam (1228-1229)
Dipimpin oleh kaisar Jerman Freidrich II. Sebagai orang yang dimurtadkan (excommuned) dia berhasil merebut kembali Jerusalem. Paus terpaksa mengakui dia sebagai raja Yerusalem. Sepuluh tahun kemudian Yerusalem berhasil direbut kembali oleh kaum muslimin.

Serangan Salib Ketujuh (1248-1254)
Dipimpin oleh Ludwig IX dari Perancis yang telah dinobatkan sebagai "orang suci" oleh Paus Bonifatius VIII. Meski di negerinya Ludwig dikenal sebagai penegak hukum yang baik, namun ia memimpin sebuah organisasi yang amburadul sehingga justru tertangkap di Mesir.

Kemudian pada masa Paus Gregorius X (1274) dan juga setelah jatuhnya Konstantinopel (1453), perang salib pernah diserukan kembali, namun tak pernah dimulai. Sejak perang salib keempat, perang ini sudah jatuh popularitasnya.

Sementara itu, tanpa dibawah lambang pasukan salib, pada 1236 Cordoba, pusat Daulah Islam di Andalusia direbut kembali oleh pasukan Katolik Kastilia. Pada 1258 Bagdad –pusat Khilafah– dihancurkan oleh Mongol-Tartar. Kedua serangan ini juga punya akibat yang sangat fatal pada sejarah umat Islam selanjutnya.

Bagi Eropa, hasil positif perang salib yang utama adalah motivasi yang dalam banyak hal ikut memajukan Eropa. Ini karena perang salib mempertemukan bangsa Eropa dengan peradaban yang lebih tinggi. Efek negatifnya adalah secara teologis Eropa makin terpolarisasi (menentang). Dunia Kristen Barat makin membentengi diri dan bersikap memusuhi terhadap segala yang berasal dari luar. Dan ini berjalan hingga abad 20. Mentalitas perang salib ini juga pernah digunakan beberapa penguasa Barat untuk menekan kaum protestan. Dan pada Perang Dunia II, Hitler memotivasi pasukannya ketika melawan Rusia sebagai "Perang salib melawan Atheisme."

Oleh karena itu, bila George W. Bush "kelepasan" menyebut-nyebut perang salib demi minyak, senjata dan ideologi kapitalisme, hal itu tak perlu mengherankan lagi.

Analisis Perang Salib
Al-Wakil menuliskan bahwa sebab-sebab yang mendorong orang-orang Kristen terjun ke medan perang bertahun-tahun adalah QS. Ali-Imran: 165;
1. Penyebab utama perang salib adalah kedengkian orang-orang Kristen kepada Islam dan umatnya. Umat Islam berhasil merebut wilayah-wilayah strategis yang sebelumnya mereka kuasai (terutama di Timur Tengah). Mereka menunggu kesempatan yang tepat untuk meraih apa yang hilang dari tangannya, balas dendam terhadap umat yang mengalahkannya. Kesempatan itu datang ketika umat Islam lemah dan kehilangan jati dirinya yang kuat yang sebelumnya meredam perpecahan dan menyatukan langkah.
Para tokoh agamawan Kristen bangkit menyerukan pembersihan tanah-tanah suci di Palestina dari tangan-tangan kaum muslimin dan membangun gereja dan pemerintahan Eropa di dunia Timur. Perang mereka dinamakan perang salib karena tentara-tentara Kristen menjadikan salib sebagai simbol obsesi suci mereka dan meletakkannya di pundak masing-masing.
2. Perasaan keagamaan yang kuat. Orang-orang Kristen meyakini kekuatan gereja dan kemampuannya untuk menghapus dosa walau setinggi langit.
3. Perlakuan in-toleran orang-orang Saljuk terhadap orang-orang Kristen dan para peziarah Kristen yang menuju Yerusalem. Orang-orang Saljuk adalah penguasa wilayah Turki yang relatif belum lama memeluk Islam dan belum begitu memahami syariat Islam dalam memperlakukan agama lain.
4. Ambisi Sri Paus yang ingin menggabungkan gereja Timur (ortodoks) dengan gereja Katolik Roma. Paus ingin menjadikan dunia Kristen seluruhnya menjadi satu negara agama yang dipimpin langsung Sri Paus.
5. Kegemaran tokoh-tokoh dan tentara Kristen untuk berpetualang ke negara lain dan mendirikan pemerintahan boneka di sana.

Bagi para pemimpin Kristen, kondisi waktu itu sangat tepat untuk memulai serangan ke dunia Islam, karena;
1. Ada kelemahan dinasti Saljuk, sehingga front terdepan dunia Islam terpecah belah.
2. Tidak adanya orang kuat yang menyatukan perpecahan umat Islam. Khilafah de facto terbagi sedikitnya menjadi tiga negara; Abbasiyyah di Bagdad, Umayyah di Cordoba dan Fathimiyyah di Kairo.
3. Beberapa kabilah pesisir telah masuk agama Kristen seperti Genoa dan Venezia, inilah yang memuluskan jalan antara Eropa dan negara-negara Timur.
4. Kemenangan Sri Paus atas raja sehingga Sri Paus memiliki kekuatan mengendalikan para raja dan gubernur di Eropa.

Dampak Perang Salib
Bangsa Eropa belajar berbagai disiplin ilmu yang saat itu berkembang di dunia Islam lalu mengarangnya dalam buku-buku yang bagi dunia Barat tetap terasa mencerahkan. Mereka juga mentransfer industri dan teknologi konstruksi dari kaum muslimin, sehingga pasca perang salib terjadi pembangunan yang besar-besaran di Eropa. Gustav Lebon berkata: "Jika dikaji hasil perang salib dengan lebih mendalam, maka didapati banyak hal yang sangat positif dan urgen (penting). Interaksi bangsa Eropa selama dua abad masa keberadaan pasukan salib di dunia Islam boleh dikatakan faktor dominan terhadap kemajuan peradaban di Eropa. Perang salib membuahkan hasil gemilang yang tak pernah mereka bayangkan sebelumnya."

Lalu apa yang didapat oleh kaum muslimin? Tidak ada. Perang salib menghabiskan aset umat baik harta benda maupun putra-putra terbaik. Kemiskinan terjadi karena seluruh kekayaan negara dialokasikan untuk perang. Dekadensi (kemerosotan) moral terjadi karena perang memakan habis orang laki-laki dan pemuda. Kemunduran ilmu pengetahuan terjadi karena umat menghabiskan seluruh waktunya untuk memikirkan perang sehingga para ulama tidak punya waktu untuk mengadakan penemuan-penemuan dan karya-karya baru kecuali yang berhubungan dengan dunia perang.

Perang salib merupakan salah satu titik balik dari sejarah keemasan umat Islam. Perang salib yang melelahkan telah ikut berkontribusi atas proses hancurnya Khilafah Abbasiyyah, sehingga serangan Tartar atas Bagdad pada 1258 hanya sekedar finalisasi dari proses tersebut.

Menghadapi Perang Salib Baru
Dengan melihat fakta-fakta serta analisis diatas, tampak bahwa dari sisi kaum muslimin perang salib, apapun motif sesungguhnya, selalu hanya berdampak negatif. Namun demikian, jangankan bila diserang, umat Islam memang harus memikul amanah al-Quran untuk melawan fitnah (kekufuran) dan kezaliman. Dan kapitalisme pimpinan Amerika Serikat adalah bentuk termodern dari kekufuran dan kezaliman itu. Sedang Israel di Palestina adalah front terdepan perang tersebut.

Dari sisi orang-orang Barat, istilah perang salib dihadapi dengan beragam. Pada masyarakat Barat yang sekuler, motivasi religius seperti pada abad 11-13 sudah tak ada lagi. Istilah itu hanya dilontarkan sebagai "penyatu opini" bahwa mereka sama-sama terancam oleh Islam (maka dibuat skenario serangan teror 9/11 atas WTC), seakan-akan perang salib dimulai oleh kaum muslimin, dan secara militer umat Islam memang masih memiliki kekuatan yang mampu menggoyang kedigdayaan Barat.

Faktanya, dari sisi manapun, ekonomi, teknologi, militer, umat Islam sekarang ini berbeda dengan umat Islam abad 11-13, yang masih memiliki khilafah yang berfungsi baik, serta ekonomi dan teknologi yang lebih maju dari Barat. Kini dunia Islam terpecah dalam puluhan negara, yang kesemuanya dipimpin oleh para diktator yang ‘membebek’ pada Barat. Mereka tergantung pada ekonomi dan teknologi Barat. Sedang rakyatnya hidup dengan berorientasi pada budaya Barat dan gandrung mengkonsumsi produk industri Barat.

Alfa bukan bermaksud mengarahkan untuk kembali pada sistem khilafah, karena sudah jelas bahwa NKRI (Negara Kesatuan Republik Indonesia) adalah bentuk final. Sekarang, bagaimanakah kita dengan segala apa yang kita miliki mampu melawan atau setidaknya mencegah perang salib baru. Wallahu ‘alam.
NEXT ARTICLE Next Post
PREVIOUS ARTICLE Previous Post
NEXT ARTICLE Next Post
PREVIOUS ARTICLE Previous Post