Kehidupanku biasa-biasa saja, seperti kehidupan remaja seusiaku. Lingkunganku tidak ndeso-ndeso banget lho, kurang lebih setengah jam sampai di Kota Kabupaten. Desa yang asri dan belum terkontaminasi. Pikirku waktu itu. Aku ambil kesimpul itu karena masyarakatnya masih banyak yang menjalankan ritual keagamaan. Tidak terkecuali keluarga tercintaku.
Walau bukan keluaran pondok pesantren, kedua orang tuaku sangat kental menjalankan ritual agama. Mereka mendapatkan modal keagamaan itu dari tetangga kami yang memang menguasai hal itu. Beliau jebolan pesantren terkenal, entah apa nama pesantren itu, karena memang aku belum pernah terpikir untuk menanyakannya. Yang jelas, katanya sih di daerah Jawa Timur
Sekolahku tidak jauh dari rumah, tidak sampai setengah jam kalau jalan kaki. Satu-satunya sekolah lanjutan tingkat pertama berlabel Negeri di daerahku. Hal itu pula yang membuat kehidupanku terus terkontrol, karena memang aku punya ayah yang boleh dikatakan super galak. Banyak temanku yang kecewa bila mau mengajakku jalan. Bukan jalan kemana lho, paling cuma berputar-putar mengitari arena pasar malam. Karena memang setiap malam selasa tidak jauh dari desaku ada pasar malam, lumayan buat refresing.
Setelah lulus SMP, aku melanjutkan sekolah ke luar daerah. Maklum, walaupun punya sekolahan favorit, namun daerahku belum ada yang namanya SMA. Aktifitas baru ini tentu menambah banyak pengalaman baru bagiku. Mulai kebiasaan baru sampai kenalan-kenalan baru, fans-fans baru. Kenangan yang sulit aku lupakan.
Menginjak kelas XI, perubahan besar terjadi pada diriku. Akibat tuntutan untuk menjaga diri sebagai anak yang berwajah rupawan, yang tentu sering sekali mendapat godaan, tabiat asliku mulai berkembang. Aku bersifat kian aktif, penuh petualangan, kalau teman-teman bilang aku mulai tomboi.
Apalagi setelah kedua orang tuaku pergi bekerja keluar negeri, waktu aku duduk di kelas XII, aku makin menjadi ‘lelaki’. Kemana-mana sama cowok. Sampai-sampai akupun suka pakai sepeda motor cowok. Yamaha RX King, motor balap itulah favoritku, kalau kamu pernah tahu jenis itu. Mungkin karena bentuk frustasi, atau apalah. Atau mungkin juga karena di rumah hanya ada nenek dan adikku, hampir setiap hari teman-teman nongkrong di rumahku, siang, malam, pokoknya setiap mereka ada waktu pastilah kami kumpul-kumpul.
Akibat kebiasaanku ini, semua keyakinan akan keasrian desaku hilanglah sudah. Aku mengerti akan kehidupan remaja desa, dunia malamnya. Terus terang, aku pernah minum minuman yang paling tidak nikmat sedunia, minuman keras. Bukan apa-apa, bukan mereka yang memaksa, tapi karena aku sendiri yang ingin mencobanya. Coba kamu pikir, apa kamu tidak penasaran ketika setiap hari melihat orang menikmati sesuatu? Begitu juga denganku. Karena teman-temanku biasa bawa minuman kalau nongkrong di rumah, akupun penasaran dan beberapa kali pernah mencobanya.
Iya sih, waktu itu ada sedikit masalah. Di luar negeri
Walau begitu, jangan kamu anggap aku wanita hina. Aku masih punya harga diri. Entah apa yang teman-teman lakukan kalau aku lagi mabuk, aku tidak tahu. Mungkin mereka pernah merasakannya. Yang jelas, sampai sekarang aku masih mampu mempertahankan mahkotaku, walau hanya itulah yang mampu aku pertahankan. Karena setiap hari aku selalu bergaul sama mereka, maklum dong kalau seperti itu. Tapi lumayan, daripada ‘kecelakaan’ yang banyak dialami kaum berbungkus penutup kepala, kejadian yang diluar kepala. Kok bisa yah, pikirku.
Kalau berbicara hubunganku dengan si dia, maaf, akulah yang selalu mengendalikannya. Berbagai trik aku kuasai untuk menangkal serangannya. Bukannya malah terbawa rayuan yang…, alah! Cinta, sayang dan lain sebagainya. Semuanya tidak berlaku bagiku. Pria tetaplah pria. Hanya sedikit cowok yang tidak ‘berpria’, hampir tidak ada bagiku.
Setelah kedatangan ibuku dari tanah rantau, sebagai cewek yang masih mempunyai hati nurani, akupun mulai berpikir untuk berubah. Dengan sekuat tenaga aku lawan dorongan lelakiku. Berkat bantuan ibu pula lambat laun kehidupanku kembali sedikit normal. Aku tidak tega harus melihat ibu bersedih setiap kali mendengar omongan tetangga mengenai ulahku. Namun apa mau dikata, aku tetaplah Dewi yang dulu. Akupun pasrah.
Di tahun kedua selepas aku keluar dari SMA, akhirnya ayahkupun kembali berkumpul di rumah. Ayah terkejut melihat penampilanku sekarang. Tapi dengan sabarnya ibuku menjelaskan pada ayah, dan akhirnya ayahpun mau mengerti akan posisiku. Dengan kepercayaan yang telah ayah berikan itu, tekadkupun makin besar untuk berubah.
Dan alhamdulillah, semenjak aku kembali dekat dengan teman cowok waktu SMP dulu, kehidupanku ‘kian wanita’. Teman yang sangat baik hati. Dia sekarang lagi melanjutkan studi di pesantren. Walau dia hanya beberapa bulan di rumah, tapi bagiku sungguh sangat berarti. Karena dia aku lupa trik menjadi jokinya RX King, lebih memilih soda gembira, minuman favoritnya, dari pada minuman kesukaan mereka. Paling tinggal
Tahu tidak, kadang-kadang aku kasihan sama para muslimah, akibat keluguannya mereka harus menjadi korban cinta. Mereka kaum terpelajar, tapi sungguh kasihan masih terkecoh para pendusta. Pernah terlintas dipikiranku, mungkinkah mereka takut tidak kebagian cinta? Atau…, sudahlah.
“Mereka lebih tahu dari aku
“Mungkin juga” ujarku spontan.
Stasiun terlihat di ujung jendela. Menandakan waktunya berpisah dengan Dewi Fitriyani, teman baruku. Si cantik yang telah memberiku banyak wacana. Menempatkanku dalam nikmat dan.. mungkin juga dosa, memandang indah keagungan-Nya, bani hawa yang cantik jelita. Tuhan, lindungilah dia.
Desember 2008.