-->

Pondasi Dasar Pemimpin Bangsa

Oleh: Alfa RS.

Saya sedikit tersenyum dan bertanya-tanya ketika membaca catatan Dino Pati Djalal, Pasti Bisa, seni memimpin ala SBY. Bagaimana tidak, tokoh sekaliber Yudhoyono berbicara tentang pentingnya akhlak dikancah politik yang “kacau” seperti sekarang ini. Mungkin itulah kejelasan bahwa bangsa ini belum lepas dari belenggu krisis multidimensi. Dan ketika generasi muda kita biarkan terjangkit krisis ini, jangan harap dimasa depan kita akan mempunyai pemimpin yang benar-benar seorang "pemimpin."
Kepemimpinan berasal dari kata pimpin atau pemimpin yang berarti tuntun, bina atau bimbing. Pimpin berarti menunjukkan jalan yang baik atau benar, dapat pula berarti mengepalai pekerjaan atau kegiatan. Bisa juga seseorang yang berada di depan dan memiliki pengikut, baik orang tersebut menyesatkan atau tidak. Menurut Sarlito Wirawan Sarwono dalam Psikologi Sosial, kepemimpinan adalah suatu proses perilaku atau hubungan yang menyebabkan suatu kelompok dapat bertindak secara bersama-sama atau secara bekerja sama atau sesuai dengan tujuan bersama. Dengan demikian, kepemimpinan adalah hal yang berhubungan dengan proses menggerakkan, memberikan bimbingan, teladan, dan masih banyak lagi arti sebuah kepemimpinan.

Kepemimpinan berfungsi untuk menggerakkan orang yang dipimpin menuju tercapainya sebuah tujuan. Supaya dapat menanamkan kepercayaan pada orang yang dipimpinnya dan menyadarkan bahwa mereka mampu berbuat sesuatu dengan baik. Dan ketika membicarakan kepemimpinan, kita tentu tidak lepas dari perbincangan mengenai sifat, sikap/perilaku dan kemampuan seorang pemimpin itu sendiri.

Untuk mencetak para pemimpin yang ideal bukanlah hal mudah. Terbukti ketika kita lihat kasus-kasus yang melibatkan para pemimpin, mulai dari pak camat sampai pak menteri. Siapa sih yang meragukan kemampuan mereka tentang apa yang dipimpinnya? Namun kenyataannya, sejarah membuktikan bahwa hal itu belum cukup. Masih saja kita temukan pelanggaran-pelanggaran yang dilakukan oleh para pemimpin.

Walaupun banyak yang mengatakan pengaruh individual seorang pemimpin kurang begitu signifikan daripada faktor kondisi, namun bila melihat realita, kiranya argumen tersebut perlu kita kaji ulang. Karakteristik sebuah watak tetap menjadi hal urgen bagi keefektifitasan sebuah kepemimpinan.

Manusia adalah makhluk hidup berjenis hewan yang memiliki akal, hati dan nafsu. Untuk menyiasati ketiganya seorang pemimpin membutuhkan kualitas spiritual yang benar-benar matang. Dan ketika kita berbicara seorang pemimpin yang sempurna, jelaslah tiada yang mampu menggantikan sosok Nabi Muhammad saw.

Mendapatkan sosok yang –meminjam kata Muhammad Husain Haekal- jutaan bibir setiap hari mengucapkannya, jutaan jantung setiap saat berdenyut, berulang kali. Dengan nama yang mulia, berjuta bibir akan terus mengucapkan, berjuta jantung akan terus berdenyut, sampai akhir zaman, mungkin hanya ada dalam mimpi. Sulit sekali berharap akan adanya pemimpin sekaliber Muhammad.

Sebagaimana yang sudah maklum bagi seorang muslim. Muhammad adalah sosok yang shiddiq (jujur), amanah (terpercaya), tabligh (cerdas) dan fathanah (transparan). Dengan kejujurannya dia digugu dan ditiru, karena memang segala tindakannya sinkron dengan hati nuraninya. Apa yang dilakukannya, maka itulah kata hatinya. Dengan kecerdasannya pula dia berpandangan luas. Pemikirannya tidak hanya sebatas kepentingan sesaat dan segelintir orang-orang di sekelilingnya, tapi demi kepentingan jangka panjang dan untuk sebesar-besar rakyatnya. Muhammad juga membuktikan bahwa dirinya memang benar-benar orang yang dapat dipercaya, mampu mengemban amanat rakyat, serta tidak sedikitpun terlintas dalam benaknya untuk berhianat. Dibawah kepemimpinannya pula, rakyat tidak merasa dibodohi. Muhammad memberikan segala informasi yang memang harus diketahui oleh rakyatnya. Sebuah pemimpin dan kepemimpinan yang sempurna.

Memang sulit. Namun untuk mengejar mimpi tersebut, kiranya generasi muda kita perlu mempertimbangkan kembali hal yang sekarang sudah diabaikan. Banyak sekali, bahkan rata-rata, generasi muda kita menjalankan separo-separo kepercayaan, keyakinan, iman. Padahal hanya dengan faktor inilah seseorang akan mampu mengendalikan antara akal, hati dan nafsu. Karena biar bagaimanapun pluralnya bangsa ini tidak ada yang mengarahkan pemeluknya untuk berbuat hal-hal yang merugikan orang lain.

Keyakinan akan menumbuhkan beberapa hal. Pertama, seseorang akan memiliki kepercayaan diri tinggi, penuh optimisme. Konsisten dengan orientasi dan berpandangan jauh kedepan memang perlu, namun tanpa adanya optimisme semua peluang sebaik apapun tidak akan menghasilkna apa-apa. Bangsa kita memang bercita-cita terus maju, bermartabat dan modern, namun ironisnya terhalang dan terbebani sikap pesimis. Padahal sudah kita tahu banyak hal terpecahkan dengan optimisme yang tinggi.

Kedua, dengan keyakinan generasi muda akan tumbuh menjadi sosok-sosok bermartabat. Harga diri adalah penopang yang harus digenggam erat oleh para pemimpin untuk merealisasikan segala visinya. Tanpa martabat seseorang akan menempuh segala cara untuk memenuhi keinginannya. Namun dengan semangat keyakinan, para remaja akan tumbuh berkembang menjadi sosok yang bermartabat.

Ketiga, iman dalam diri seseorang akan menumbuhkan idealisme, kejelasan dan kematangan visi. Bukan hanya visi sesaat, namun visi yang jauh kedepan, visi yang lebih dari komitmen kepada rakyat, bangsa dan Negaranya. Bila keyakinan menancap kuat di sanubari para remaja, ia akan bercita-cita menjadi anak-anak bangsa yang terbaik dan berfaedah bagi kemajuan bangsa dan kesejahteraan rakyat. Ia bukan generasi yang hanya memikirkan dirinya sendiri, tetapi memikirkan dan memerankan tanggung jawab sebagai anak-anak rakyat dan putra-putra bangsa yang sejati. Merekapun akan mampu menyalurkan kemampuannya dan sanggup untuk mendapatkan peran berdasarkan prestasi dan karya nyata. Bukan bersandar dan bergantung kepada para senior dan orang tua.

Keempat, tanggungjawab tinggi akan tertanam pada generasi muda. Tanggungjawab adalah salah satu dari mengapa orang akan memilih seorang pemimpin. Tanggungjawab identik dengan sikap konsisten dalam ucapan dan perilaku, juga berkaitan dengan sikap semangat yang stabil sampai masa jabatannya. Jika para remaja memegang keyakinan dengan sebenarnya, ia akan memiliki tanggungjawab lebih. Karena remaja semacam ini akan sadar ia bukan hanya bertanggungjawab pada yang dipimpinnya, tetapi juga punya tanggungjawab pada “atasan” yang telah memberinya kesempatan untuk menjadi pemimpin.

Kelima, egaliter. Ketika seseorang menjadi pemimpin tentu dia akan merasa lebih dari masyarakat lainnya, dan masyarakat kitapun tentu memaklumi. Namun ketika pola pikir itu semakin menjadi, pemakluman dari masyarakatpun lambat laun kian memudar dan mungkin akan berubah menjadi pertentangan. Untuk mengantisipasi hal ini dibutuhkan sosok yang benar-benar mengakui persamaan. Dengan kekuatan iman, seseorang akan mengakui bahwa dia hanyalah manusia biasa sama seperti rakyat lainnya. Jabatan baginya merupakan hal biasa dan menjadi sesuatu terberat yang harus dia pikul.

Pemimpin semacam ini akan lebih mengutamakan kepentingan umum, bukan hanya golongannya, karena dimatanya semuanya sama. Ia bukan hanya mampu untuk menjungjung tinggi pluralisme, bahkan remaja semacam ini sanggup hidup dalam damai dan penuh kebersamaan. Semangat bhineka tunggal ika ia pegang teguh dalam mengarungi pergaulan nasional.

Keenam, dengan kepercayaan pula generasi muda kita memiliki hal yang diakui atau tidak diharapkan oleh semua lapisan masyarakat, akhlak, moral dan etika.

Bangsa kita adalah bangsa yang berbudi luhur tinggi. Untuk mencetak kader-kader pemimpin tidak cukup dengan optimisme, bermartabat, idealisme, bertanggungjawab dan egaliter. Akhlak adalah hal yang memang perlu dikedepankan. Akhlak sosial dalam bentuk peduli dan bertanggungjawab kepada rakyat, bangsa dan Negara perlu disertai dengan akhlak pribadi yang terpuji.

Setidaknya keenam poin itulah yang akan tumbuh dalam pribadi generasi muda kita bila mereka mau benar-benar memanfaatkan kekuatan iman. Namun sekali lagi, hal ini butuh tenaga ekstra. Karena kenyataannya para remaja kita sudah jauh dari tradisi dan budaya luhur bangsa ini. Tradisi yang sudah terbukti mengantarkan para pemuda sebagai pelopor pergerakan bangsa. Generasi muda kita kini banyak yang malah terjerumus kedalam kebodohan akibat tidak mampu memilah manfaat teknologi. Melihat semua itu, peranan iman tentu sangat berperan untuk melahirkan pemimpin yang benar-benar "pimpinan."

Tapi ketika memegang sebuah kepercayaan telah dianggap ketinggalan jaman oleh generasi muda, entahlah? Hanya sejarah yang mampu menjawabnya.
NEXT ARTICLE Next Post
PREVIOUS ARTICLE Previous Post
NEXT ARTICLE Next Post
PREVIOUS ARTICLE Previous Post