-->

Mengejar Hidayah

Oleh: Alfa RS.

Suasana malam semakin sunyi, hanya dingin malam yang kian menderu kencang, menghantam brontoseno yang baru saja berbagi aroma khasnya, menyelimuti kami yang kian asyik berbagi pengalaman. Mukasan, begitu biasa teman baru saya di panggil. Saya tak menyangka, dari raut Mukasan yang terkesan biasa-biasa saja, ternyata dia menyimpan sejarah kehidupan yang diluar dugaan. Dengan kretek yang terus melilit jemarinya, dia mulai bercerita.

”Aku adalah putra pertama dari empat bersaudara, terlahir di sebuah kota yang cukup untuk dikatakan metropolis, salah satu kota besar di pulau jawa. Saat aku lahir, bisnis properti orang tuaku sedang naik, bahkan bisa dikatakan sukses. Hingga masa kecilku tidak pernah merasa kekurangan.”

Saya hanya diam. Masih meraba kemana dia akan mengarahkan cerita kehidupannya, sempat terbersit dalam benak saya bahwa dia akan mengelu-elukan masa lalunya. Membosankan.

”hai! masih tertarik ndengerin enggak?” Mukasan mengalihkan lamunan saya.

”ya,ya… santai saja San, saya dengerim ko”. Ujar saya meyakinkannya.

”Sampai aku selesai jenjang sekolah dasar, kehidupanku masih wajar-wajar saja. Bahkan, mungkin karena keluargaku termasuk keluarga yang agamis, sampai waktu itu aku belum pernah merasakan yang namanya percintaan”
”hu…ternyata kamu katro juga ya” ledek saya.

Dia hanya diam.

”Baru setelah aku menginjak sekolah lanjutan pertama, kehidupanku mulai tidak karuan. Masa kelam itu terjadi mulai akhir tahun 1998, saat pertama kali aku merasakan yang namanya minuman keras. Betapa waktu itu nuraniku berontak, pada diriku sendiri aku berjanji untuk tidak mengulanginya lagi. Bukan sebab apa-apa kawan, disamping memang rasanya yang…, pokoknya jauh lebih nikmat softdrink merek apapun deh. Juga karena aku paham bahwa sebagai seorang muslim tidak diperbolehkan meminum minuman keras. Namun mungkin karena faktor lingkungan, sesudah itu aku tidak berhenti pesta miras, bahkan ketikak aku menginjak kelas VIII, aku sudah berani mencoba pakai narkoba.”

Esstt.

Dalam hati saya terkejut, ternyata dugaan itu salah.

Mukasan kembali merajut nikmatnya berontoseno, kopi favoritnya. Untuk menghilangkan ketegangan, saya pun ikut meneguk cawan kesayangan hadiah dari orang yang spesial. Saya tidak mau berbagi cawan dengan Mukasan, terus terang saya tidak suka yang namanya kopi, apalagi sejak dapat peringatan dari dokter.

Asap sampoerna kembali membumbul membentuk hati segi lima, berputar tidak karuan di langit-langit kamar, membuat Mukasan terlihat kembali bersemangat untuk melanjutkan ceritanya.

”dari sekian banyak jenis narkoba yang pernah aku rasakan, waktu itu aku lebih suka memakai ganja. Disamping harganya agak miring dan mudah mendapatkannya, memakai jenis ini lebih gampang, tidak menimbulkan kecurigaan walau dipakai dirumah sendiri. Kawan, terus terang kehidupanku makin tidak karuan waktu itu, akibat pengaruh ganja aku makin berani meninggalkan perintah agama.”

Rembulan makin menari indah di balik jendela kamar, menenangkan saya yang mulai berpikir tidak karuan.

”El, jujur saja waktu itu aku ingin sekali keluar sekolah, aku sudah muak dengan teman-teman brengsekku, aku mulai manyadari kehilafanku. Aku sudah tidak kuat menyembunyikan kebiasaanku di depan keluarga, terutama harus berbohong pada mama, bahkan sampai sekarangpun keluagaku belum tahu kisah hitamku. Habis mau gimana lagi, aku mau jujur pada mereka, tapi selalu ada kekuatan yang memaksaku untuk tetap diam. Takut dan…entah perasaan apa itu, aku sendiri tidak mengerti. Ada dorongan sangat kuat yang memaksaku terus gabung sama teman-teman. Tapi alhamdulillah El…”
”emangnya pripun San?” sambung saya.

”aku bisa lulus dari SLTP, walaupun nilainya sangat tidak membanggakan. Aku sangat bahagia, karena akhirnya aku bisa lepas dari mereka. Dalam benakku saat itu tidak ada pikiran untuk melanjutkan ke jenjang pendidikan yang lebih tinggi manapun. Aku hanya berharap semoga aku lekas sembuh dari penyakit masyarakat ini, aku butuh pendidikan moral. Ingin jadi lebih baik sebelum keluargaku mengetahuinya. Aku bertekad mencari tempat terbaik untuk proses penyembuhanku, agar terhindar dari lingkungan teman-temanku yang tidak mendukung.”

”udah San, ngopi dulu tuh. Biar kamu enggak ngantuk. Santai saja ceritanya.” Sela saya.

”akhirnya saat itu datang juga, pada pertengahan 2001 aku tinggalkan semuanya, termasuk seorang gadis yang kata teman-teman suka padaku. Aku menuju sebuah pesantren yang terbilang besar, pesantren yang sudah terkenal di tanah Jawa. Ya… di pesantren dan kamar inilah aku mencoba jadi lebih baik. Tahu enggak Fa… tempat inilah pertama kalinya aku tidur tidak pakai bantal dan makan tidak ditemani musik kesayanganku.”

”o…jadi kamu sudah enam tahun disini? Apa kamu sudah pernah pulang?”

”dulu, waktu tahun liburan pertamaku sempat pulang. Karena terus terang El, ternyata sulit sekali menghilangkan kebiasaanku. Sampai di rumah aku beberapa kali pake dan hatiku memutuskan untuk cepat-cepat kembali ke pesantren. Di pesantren aku sering kelabakan, ironisnya waktu itu tercium oleh bandar kawasan sini. Lalu…aku kembali terjebak dunia terlarang.”

”Dulu teman-teman sering bilang kalau hidayah datang dengan sendirinya, kalau kita ditakdirkan baik tentu kita akan jadi orang baik, begitu pula sebaliknya. Setelah empat tahun di pesantren aku baru sadar dan meyakini nuraniku yang tidak sependapat dengan mereka. Aku telah membuktikannya. Mati-matian aku ingin berubah, ingin menikmati indahnya hidayah. Namun hasilnya tidak semudah itu, butuh waktu empat tahun keluar dari lobang hitamku. Apalagi seandainya dulu aku tidak menyongsongnya, hanya duduk menanti datangnya sebuah pertolongan, mungkin sampai akhir hayatku menjadi seorang pecandu.”

Dingin malam kian tajam merobek kehangatan kamar. Mukasanpun terlihat tidak sehangat tadi, saya tatap matanya semakin lembab. Keharuan seketika merasuk nurani, saya tidak kuasa melihat kuasa illahi, hidayah bagi seorang Mukasan.

”sudah San, mungkin itulah yang terbaik buatmu. Syukurilah apa yang kamu dapatkan, karena saya yakin banyak sekali orang yang menginginkan pertolongan, walau mulut mereka tidak mengatakannya.” Ujar saya menenangkannya.

Malampun semakin larut, membuai ciptaan-Nya dengan mimpi-mimpi indah.

#Mohon maaf, nama pesantrennya disamarkan.
NEXT ARTICLE Next Post
PREVIOUS ARTICLE Previous Post
NEXT ARTICLE Next Post
PREVIOUS ARTICLE Previous Post