Oleh : Alfa RS.
Dia meniduri, tapi tak menyelimutiku. Aku dipandang, namun dilarang melirik. Aku terus dicibir, tak pernah sekalipun aku boleh membela diri. Ah! Kodrat ini tak ku mengerti.
Dulu aku istimewa dan benar-benar diistimewakan. Sampai-sampai aku punya bermacam-macam sesuatu untuk lebih membuatku istimewa. Aku bisa dan biasa memainkan riak dengan indah. Menopang tetangga dengan sedikit alunanku.
Kini mereka menghimpit, menelanjangi dan menginjakku. Kepedihan ini dulu tidak pernah aku rasakan. Tetangga dan mantan suamiku begitu perhatian. Aku disayang. Bukan tempat pelampiasan dan sarang orasi kelabu. Aku cantik, jauh dari kondisiku seperti sekarang. Namun masa itu harus ku relakan pergi. Katanya suamiku itu palsu. Dia merebutku dari Benten Londoni.
“Situ! Aku Cirendeu. Cirendeu, suamimu.”
Aku masih ingat itu. Ketika pertama kali aku bertemu dia yang begitu gagah perkasa. Dengan sebatang bambu runcing dia terkam suamiku. Dia menghampiri dan mendekapku. Dia mengaku suamiku, suami sebenarnya. Dulu aku percaya begitu saja. Aku tak punya pilihan. Suamiku tewas. Berpangku pada tetangga tak mungkin, karena mereka semuanya dibawah kendali Cirendeu.
Namun kini setelah lebih dari tujuh puluh tahun, aku mulai meragukan. Kondisinya kacau. Sibuk dengan urusan ini itu. Dimana-mana ia katakan mencintai dan mempedulikanku. Tapi nyatanya? Aku hanya tempat menimbun kebusukan dan bahan orasinya. Aku lelah.
Plak!
Kebiasaannya terulang lagi. Dia menamparku.
“Situ! Kamu gimana sih? Kata tetangga kamu tidak becus mengurus keluarga. Jangan kau anggap karena sering keluar aku tidak memperhatikanmu.”
“Apa kau tidak menghargai aku lagi? Kenapa, kenapa Tu?”
Biasa. Walau nadanya begitu tinggi tetap tak mampu menjulurkan lidahku. Mengapa pula aku mesti bicara, sabetan dan irisan saja tak mampu menangiskanku.
Aku tidak pernah meminta seperti apa yang diberikan suami tetangga. Aku bukan penggila aksesoris yang penuh warna. Aku hanya mau dia peduli. Peduli dan menghargai akan keberadaanku. Aku takut. Takut kelelahan atas perlakuannya menumbuhkan marah. Marah yang menjalar menjadi benci dan dendam. Dendam yang menuntunku melakukan perbuatan diluar kebiasaan.
Tahun lalu ketakutanku sedikit berkurang. Dia berbeda, sedikit perhatian. Walau tak pernah diungkapkan dia berikan apa-apa yang kuinginkan. Aku senang.
Namun ternyata kebahagiaanku hanya sementara. Perhatian itu semu. Rekayasa. Dia berikan itu demi orasinya. Orasi yang kian hari makin memanaskan daun dinginku.
“Jeng! Apa tidak sebaiknya cari yang lain saja. Aku yakin Jeng Situ bakal mendapat yang lebih baik. Buat apa terus bersama kalau nyatanya seperti itu”
Aku hampir pernah termakan bujukan itu. Tapi tak tega. Aku terlalu sayang mereka. Walau hanya minoritas, aku sangat menghargai itu. Mereka yang mau peduli dan tulus menyayangiku. Mereka yang bukan hanya berorasi dan berargumentasi. Aku tak bisa membayangkan andai pergi. Bukan masalah kemana dan sama siapa. Aku takut dengan apa mereka akan memberi seyum pada keluarganya. Mereka yang hanya mampu mengandalkanku.
Aku masih ingat ketika dulu aku bertengkar hebat dengannya. Walau aku hanya sedikit marah, kulihat mereka kelimpungan. Ku saksikan keluarga mereka menjerit, menangis. Aku tak peduli. Tapi bila melirik minoritas yang terkena imbas kemarahanku, aku ikut terharu. Coba Cirendeu mau sedikit mengerti. Andai waktu itu aku tak meredam kemarahan mereka hanya tinggal kenangan. Tapi itu bukan aku. Aku bukan Cirendeu yang hanya pandai berorasi.
“Hai! Ditanya kok malah bengong”
“Aku ini masih suamimu”
Aku diam.
Plak!
Sekali lagi kurasakan manisnya tangan itu. Tangan yang dengan lembut dan halus ketika memegang mikrofon. Suara yang biasanya berbusa hijau diatas podium
“Mas…”
“Apa! Mau nangis”
“Bukan. Aku takkan bisa menangis karena kelopakku adalah tangisan. Kau takkan melihatku menitikkan air mata karena pipiku adalah mata air.”
Plak!
“Kau mulai berani melawan.”
“Mas, aku hanya ingin kau perhatian. Masih ingatkah Mas Cirendeu akan kondisiku saat pertama kita jumpa lagi. Jujur, dengan segala sikap Mas, sekarang aku ragu apakah benar Mas adalah suami asliku.”
“Apa?”
Cirendeu kembali bersiap melayangkan tangannya.
“Ni Mas. Tampar di sini.”
Ku ajukan samudera mata airku.
“Apa. Tidak berani. Coba Mas sedikit punya perasaan. Kalau dulu Mas bilang bahwa aku sedang bersama suami palsu, lalu kenapa dia lebih sayang, perhatian dan mempedulikanku. Sedang Mas? Apa yang telah Mas berikan buatku. Hampir tujuh puluh tahun kita bersama Mas. Tapi rasanya semua itu tak ada artinya.”
“Apa kau lupa dengan pemberianku waktu itu.”
“Aku ingat Mas. Tapi itu tak seberapa bila dibandingkan penderitaan yang ku alami.”
Ku lihat rautnya berubah.
“Tapi aku memang benar-benar suamimu.”
“Tapi kenapa Mas perlakukan aku seperti ini. Ini tak adil Mas.”
Plak!
“Awas kau nanti.”
Aku sudah bertekad hari ini akan melampiaskan semuanya. Namun dengan santainya dia meninggalkanku seorang diri. Mengkrangkengku dalam peraturan kelabu.
***
Malam kurasakan telah jauh. Namun entah mengapa kemarahan itu kian menjadi. Kekhawatiranku terbukti, aku marah padanya dan mereka yang tak mau memperdulikanku. Maafkan aku wahai minoritas. Malam ini aku ingin menyudahi semuanya.
Ku dengar teriakan mereka. Mengiris hati. Tapi mau bagaimana lagi. Bila aku tak begini selamanya aku akan terus tertindas. Aku tak peduli minoritas berkata apa. Saat ini waktunya aku membuka pelipis mereka. Pelipis yang biasanya hanya melirik. Aku mau mereka melotot. Bukan hanya aku, tapi juga keluargaku. Aku ingin mereka merasakan sakitnya menjadi pajangan.
“Jeng…”
Ku rasakan usapan lembut.
“Masih ingatkah kau denganku?”
“Kartini.”
“Syukurlah kalau kau ingat. Mengapa kau setega itu. Kau bukan Situ yang ku kenal dulu. Situ sahabatku sangat peduli sesama. Dia rela berkorban banyak demi tetangga.”
“Kartini. Mengapa kau tega berbicara seperti itu. Bukan maksudku menyakiti mereka. Tapi mereka sendiri yang memulainya. Aku hanya ingin mengingatkan mereka betapa sakitnya tidak dipedulikan. Itu saja.”
“Tapi tetap saja. Aku juga dulu merasa dikecewakan. Tapi tidak lantas menjadikanku seseorang yang tanpa batas. Kalau mereka sekarang tidak mempedulikan kita, mungkin hanya karena belum merasa benar-benar membutuhkanmu. Coba kau lihat tetanggamu. Seberapa banyakkah yang masih mau berteduh diserambimu.”
“Ya, hanya beberapa. Dan mereka itulah yang selalu memperhatikanku.”
“Nah. Berarti kau sudah sadar bahwa jagat telah berubah. Jangan pula kau salahkan suamimu. Aku tahu dia sering mengecewakanmu. Tapi yakinlah bahwa semua itu berbeda dengan apa yang ada dalam pikiranmu.”
Aku diam.
“Situ, pernahkah kau ingat Cibeureum, keluargamu di Lambang Jaya. Kemarin aku mampir kesana dan dia cerita banyak tentang apa yang dialaminya. Dia sangat tertekan. Penderitaannya jauh lebih menyakitkan dari apa yang kau alami. Tapi dia tetap tegar.”
“Ya, aku tahu dia menderita”
“Lalu kenapa kamu melakukan semua ini. Sebagai panutan, mestinya apa yang kau lakukan tidak boleh sembarangan. Gimana kalau mereka nanti meniru kelakuanmu. Habislah sudah.”
“Kartini, apa yang kulakukan ini demi mereka. Demi si Cinanangsi, si Legoso, si Lumbu dan semua keluargaku yang telah mereka lantarkan.”
“Tapi mereka tidak menginginkan ini bukan?”
“Kata siapa? Maaf Kartini. Mereka sebenarnya sangat tersiksa dan ingin sekali memberi pelajaran pada suami-suami dan tetangga mereka. Tapi aku larang. Aku berjanji pada mereka bahwa suatu saat nanti aku akan memberi tetangga mereka pelajaran. Dan sekaranglah pelajaran mahal itu aku berikan.”
Kulihat Kartini diam.
“Kartini, bukan maksudku mengotori hari kelahiranmu. Aku bahkan berharap mereka mau kembali memikirkan apa yang dulu kau perjuangkan.”
“Ah! Kau memang pandai beralasan.”
“Tapi itu kenyataannya. Tidakkah kau lihat mereka dengan santainya mendayung sekolah disaat sekolah hanya tinggal pilih saja.”
“Sudahlah.”
“Kartini. Kartini…”
Kartini berlalu. Kartini, sebelum kulakukan inipun aku sadar aku bersalah. Tapi merekapun banyak salah. Bahkan lebih parah. Mereka bersalah pada sesamanya tapi seakan tak pernah ada yang merasa. Mungkin apa yang kulakukan terlalu salah buatmu Kartini. Tapi sungguh, ini karena keterpaksaanku. Maafkan aku.
***
Kayaknya apa yang aku rencanakan berhasil. Walau harus menjadikan kalian lebih minoritas. Aku bangga menampar dia dan mereka. Terima kasih buat kalian yang rela ikut tertampar. Bukan maksudku menyakiti kalian, tapi lihatlah. Bagaimana kini semuanya bukan hanya melihatku. Kalian lihat, lihat. Dengan berbagai macam simbol mereka mengelu-elukanku. Resapilah orasi-orasi mereka. Orasi yang mengingatkanku pada mendiang Cirendeu.
Minoritas. Firasatku mengatakan mereka sama seperti Cirendeu. Tapi, nikmatilah. Kapan lagi mereka mau berselimut dengan kalian. Sementara kalian menikmati orasi mereka aku akan pergi mencari suami sesungguhnya dan mengunjungi sanak saudara. Aku akan memberikan penjelasan pada mereka. Aku tak mau keluargaku meniruku. Cukuplah aku yang memberikan pelajaran. Tapi, aku tak janji mereka tidak memberi pelajaran lain andai materi yang kuberikan tidak merubah kalian. Semoga itu tak terjadi.
Rumah Tua, 28 Maret 2009
Dia meniduri, tapi tak menyelimutiku. Aku dipandang, namun dilarang melirik. Aku terus dicibir, tak pernah sekalipun aku boleh membela diri. Ah! Kodrat ini tak ku mengerti.
Dulu aku istimewa dan benar-benar diistimewakan. Sampai-sampai aku punya bermacam-macam sesuatu untuk lebih membuatku istimewa. Aku bisa dan biasa memainkan riak dengan indah. Menopang tetangga dengan sedikit alunanku.
Kini mereka menghimpit, menelanjangi dan menginjakku. Kepedihan ini dulu tidak pernah aku rasakan. Tetangga dan mantan suamiku begitu perhatian. Aku disayang. Bukan tempat pelampiasan dan sarang orasi kelabu. Aku cantik, jauh dari kondisiku seperti sekarang. Namun masa itu harus ku relakan pergi. Katanya suamiku itu palsu. Dia merebutku dari Benten Londoni.
“Situ! Aku Cirendeu. Cirendeu, suamimu.”
Aku masih ingat itu. Ketika pertama kali aku bertemu dia yang begitu gagah perkasa. Dengan sebatang bambu runcing dia terkam suamiku. Dia menghampiri dan mendekapku. Dia mengaku suamiku, suami sebenarnya. Dulu aku percaya begitu saja. Aku tak punya pilihan. Suamiku tewas. Berpangku pada tetangga tak mungkin, karena mereka semuanya dibawah kendali Cirendeu.
Namun kini setelah lebih dari tujuh puluh tahun, aku mulai meragukan. Kondisinya kacau. Sibuk dengan urusan ini itu. Dimana-mana ia katakan mencintai dan mempedulikanku. Tapi nyatanya? Aku hanya tempat menimbun kebusukan dan bahan orasinya. Aku lelah.
Plak!
Kebiasaannya terulang lagi. Dia menamparku.
“Situ! Kamu gimana sih? Kata tetangga kamu tidak becus mengurus keluarga. Jangan kau anggap karena sering keluar aku tidak memperhatikanmu.”
“Apa kau tidak menghargai aku lagi? Kenapa, kenapa Tu?”
Biasa. Walau nadanya begitu tinggi tetap tak mampu menjulurkan lidahku. Mengapa pula aku mesti bicara, sabetan dan irisan saja tak mampu menangiskanku.
Aku tidak pernah meminta seperti apa yang diberikan suami tetangga. Aku bukan penggila aksesoris yang penuh warna. Aku hanya mau dia peduli. Peduli dan menghargai akan keberadaanku. Aku takut. Takut kelelahan atas perlakuannya menumbuhkan marah. Marah yang menjalar menjadi benci dan dendam. Dendam yang menuntunku melakukan perbuatan diluar kebiasaan.
Tahun lalu ketakutanku sedikit berkurang. Dia berbeda, sedikit perhatian. Walau tak pernah diungkapkan dia berikan apa-apa yang kuinginkan. Aku senang.
Namun ternyata kebahagiaanku hanya sementara. Perhatian itu semu. Rekayasa. Dia berikan itu demi orasinya. Orasi yang kian hari makin memanaskan daun dinginku.
“Jeng! Apa tidak sebaiknya cari yang lain saja. Aku yakin Jeng Situ bakal mendapat yang lebih baik. Buat apa terus bersama kalau nyatanya seperti itu”
Aku hampir pernah termakan bujukan itu. Tapi tak tega. Aku terlalu sayang mereka. Walau hanya minoritas, aku sangat menghargai itu. Mereka yang mau peduli dan tulus menyayangiku. Mereka yang bukan hanya berorasi dan berargumentasi. Aku tak bisa membayangkan andai pergi. Bukan masalah kemana dan sama siapa. Aku takut dengan apa mereka akan memberi seyum pada keluarganya. Mereka yang hanya mampu mengandalkanku.
Aku masih ingat ketika dulu aku bertengkar hebat dengannya. Walau aku hanya sedikit marah, kulihat mereka kelimpungan. Ku saksikan keluarga mereka menjerit, menangis. Aku tak peduli. Tapi bila melirik minoritas yang terkena imbas kemarahanku, aku ikut terharu. Coba Cirendeu mau sedikit mengerti. Andai waktu itu aku tak meredam kemarahan mereka hanya tinggal kenangan. Tapi itu bukan aku. Aku bukan Cirendeu yang hanya pandai berorasi.
“Hai! Ditanya kok malah bengong”
“Aku ini masih suamimu”
Aku diam.
Plak!
Sekali lagi kurasakan manisnya tangan itu. Tangan yang dengan lembut dan halus ketika memegang mikrofon. Suara yang biasanya berbusa hijau diatas podium
“Mas…”
“Apa! Mau nangis”
“Bukan. Aku takkan bisa menangis karena kelopakku adalah tangisan. Kau takkan melihatku menitikkan air mata karena pipiku adalah mata air.”
Plak!
“Kau mulai berani melawan.”
“Mas, aku hanya ingin kau perhatian. Masih ingatkah Mas Cirendeu akan kondisiku saat pertama kita jumpa lagi. Jujur, dengan segala sikap Mas, sekarang aku ragu apakah benar Mas adalah suami asliku.”
“Apa?”
Cirendeu kembali bersiap melayangkan tangannya.
“Ni Mas. Tampar di sini.”
Ku ajukan samudera mata airku.
“Apa. Tidak berani. Coba Mas sedikit punya perasaan. Kalau dulu Mas bilang bahwa aku sedang bersama suami palsu, lalu kenapa dia lebih sayang, perhatian dan mempedulikanku. Sedang Mas? Apa yang telah Mas berikan buatku. Hampir tujuh puluh tahun kita bersama Mas. Tapi rasanya semua itu tak ada artinya.”
“Apa kau lupa dengan pemberianku waktu itu.”
“Aku ingat Mas. Tapi itu tak seberapa bila dibandingkan penderitaan yang ku alami.”
Ku lihat rautnya berubah.
“Tapi aku memang benar-benar suamimu.”
“Tapi kenapa Mas perlakukan aku seperti ini. Ini tak adil Mas.”
Plak!
“Awas kau nanti.”
Aku sudah bertekad hari ini akan melampiaskan semuanya. Namun dengan santainya dia meninggalkanku seorang diri. Mengkrangkengku dalam peraturan kelabu.
***
Malam kurasakan telah jauh. Namun entah mengapa kemarahan itu kian menjadi. Kekhawatiranku terbukti, aku marah padanya dan mereka yang tak mau memperdulikanku. Maafkan aku wahai minoritas. Malam ini aku ingin menyudahi semuanya.
Ku dengar teriakan mereka. Mengiris hati. Tapi mau bagaimana lagi. Bila aku tak begini selamanya aku akan terus tertindas. Aku tak peduli minoritas berkata apa. Saat ini waktunya aku membuka pelipis mereka. Pelipis yang biasanya hanya melirik. Aku mau mereka melotot. Bukan hanya aku, tapi juga keluargaku. Aku ingin mereka merasakan sakitnya menjadi pajangan.
“Jeng…”
Ku rasakan usapan lembut.
“Masih ingatkah kau denganku?”
“Kartini.”
“Syukurlah kalau kau ingat. Mengapa kau setega itu. Kau bukan Situ yang ku kenal dulu. Situ sahabatku sangat peduli sesama. Dia rela berkorban banyak demi tetangga.”
“Kartini. Mengapa kau tega berbicara seperti itu. Bukan maksudku menyakiti mereka. Tapi mereka sendiri yang memulainya. Aku hanya ingin mengingatkan mereka betapa sakitnya tidak dipedulikan. Itu saja.”
“Tapi tetap saja. Aku juga dulu merasa dikecewakan. Tapi tidak lantas menjadikanku seseorang yang tanpa batas. Kalau mereka sekarang tidak mempedulikan kita, mungkin hanya karena belum merasa benar-benar membutuhkanmu. Coba kau lihat tetanggamu. Seberapa banyakkah yang masih mau berteduh diserambimu.”
“Ya, hanya beberapa. Dan mereka itulah yang selalu memperhatikanku.”
“Nah. Berarti kau sudah sadar bahwa jagat telah berubah. Jangan pula kau salahkan suamimu. Aku tahu dia sering mengecewakanmu. Tapi yakinlah bahwa semua itu berbeda dengan apa yang ada dalam pikiranmu.”
Aku diam.
“Situ, pernahkah kau ingat Cibeureum, keluargamu di Lambang Jaya. Kemarin aku mampir kesana dan dia cerita banyak tentang apa yang dialaminya. Dia sangat tertekan. Penderitaannya jauh lebih menyakitkan dari apa yang kau alami. Tapi dia tetap tegar.”
“Ya, aku tahu dia menderita”
“Lalu kenapa kamu melakukan semua ini. Sebagai panutan, mestinya apa yang kau lakukan tidak boleh sembarangan. Gimana kalau mereka nanti meniru kelakuanmu. Habislah sudah.”
“Kartini, apa yang kulakukan ini demi mereka. Demi si Cinanangsi, si Legoso, si Lumbu dan semua keluargaku yang telah mereka lantarkan.”
“Tapi mereka tidak menginginkan ini bukan?”
“Kata siapa? Maaf Kartini. Mereka sebenarnya sangat tersiksa dan ingin sekali memberi pelajaran pada suami-suami dan tetangga mereka. Tapi aku larang. Aku berjanji pada mereka bahwa suatu saat nanti aku akan memberi tetangga mereka pelajaran. Dan sekaranglah pelajaran mahal itu aku berikan.”
Kulihat Kartini diam.
“Kartini, bukan maksudku mengotori hari kelahiranmu. Aku bahkan berharap mereka mau kembali memikirkan apa yang dulu kau perjuangkan.”
“Ah! Kau memang pandai beralasan.”
“Tapi itu kenyataannya. Tidakkah kau lihat mereka dengan santainya mendayung sekolah disaat sekolah hanya tinggal pilih saja.”
“Sudahlah.”
“Kartini. Kartini…”
Kartini berlalu. Kartini, sebelum kulakukan inipun aku sadar aku bersalah. Tapi merekapun banyak salah. Bahkan lebih parah. Mereka bersalah pada sesamanya tapi seakan tak pernah ada yang merasa. Mungkin apa yang kulakukan terlalu salah buatmu Kartini. Tapi sungguh, ini karena keterpaksaanku. Maafkan aku.
***
Kayaknya apa yang aku rencanakan berhasil. Walau harus menjadikan kalian lebih minoritas. Aku bangga menampar dia dan mereka. Terima kasih buat kalian yang rela ikut tertampar. Bukan maksudku menyakiti kalian, tapi lihatlah. Bagaimana kini semuanya bukan hanya melihatku. Kalian lihat, lihat. Dengan berbagai macam simbol mereka mengelu-elukanku. Resapilah orasi-orasi mereka. Orasi yang mengingatkanku pada mendiang Cirendeu.
Minoritas. Firasatku mengatakan mereka sama seperti Cirendeu. Tapi, nikmatilah. Kapan lagi mereka mau berselimut dengan kalian. Sementara kalian menikmati orasi mereka aku akan pergi mencari suami sesungguhnya dan mengunjungi sanak saudara. Aku akan memberikan penjelasan pada mereka. Aku tak mau keluargaku meniruku. Cukuplah aku yang memberikan pelajaran. Tapi, aku tak janji mereka tidak memberi pelajaran lain andai materi yang kuberikan tidak merubah kalian. Semoga itu tak terjadi.
Rumah Tua, 28 Maret 2009