Oleh: Alfa RS.
Idealnya, sebuah definisi haruslah mampu merangkum dan mengounter. Dan ketika mendefinisikan sebuah perguruan tinggi idaman (PTI), rasanya hampir tidak mungkin. Karena disamping bersifat relatif, harus ada pengkotakan sudut pandang.
Secara umum, pada hakekatnya perguruan tinggi hanyalah beberapa centimeter persegi dari bagian bumi yang ditempati seorang manusia untuk 'mengenal' dunia. Perguruan tinggi adalah sejengkal tanah yang harus dilalui oleh anak cucu Adam jika ingin 'bertemu' dunia. Dengan proses perkenalan itu, tidak lagi mengkhawatirkan jika dikemudian hari dia berhasil bertemu dengan sang dunia.
Kelengkapan fasilitas dan keberadaan dosen profesional yang handal, adalah hal wajar dan tak boleh ditawar bagi sebuah lembaga yang mengacungkan diri mampu menjembatani antara mahasiswa dan dunia. Dan bagi sebagian, mungkin inilah model PTI yang selama ini mereka rindukan. Sedang yang bermodal pas-pasan, PTI bagi mereka adalah yang mampu dan mau memahami keuangannya. Di mata mereka fasilitas dan dosen nomor berapa, yang penting bagaimana caranya cepat 'bertemu' dunia. Parahnya, mereka yang tidak mempunyai masalah finansial banyak yang menyepelehkan proses 'perkenalan' itu.
Perguruan tinggi baru berdiri kemarin. Sebelum dia didirikan sudah ada pesantren yang sampai hari ini masih tetap eksis. Tentang apa dan bagaimana sebuah pesantren merancang perjalanan hidupnya, penulis kira kita –khususnya pengelola perguruan tinggi– sangat mengerti hal itu.
Permasalahannya sekarang, sudikah perguruan tinggi berguru pada pesantren? Padahal, sadarkah kita kalau Al-Azhar yang telah menelorkan tokoh-tokoh 'super' pun bermula dari sebuah 'masjid' sederhana? So, libatkan nurani kalian dalam menentukan PTI.
Idealnya, sebuah definisi haruslah mampu merangkum dan mengounter. Dan ketika mendefinisikan sebuah perguruan tinggi idaman (PTI), rasanya hampir tidak mungkin. Karena disamping bersifat relatif, harus ada pengkotakan sudut pandang.
Secara umum, pada hakekatnya perguruan tinggi hanyalah beberapa centimeter persegi dari bagian bumi yang ditempati seorang manusia untuk 'mengenal' dunia. Perguruan tinggi adalah sejengkal tanah yang harus dilalui oleh anak cucu Adam jika ingin 'bertemu' dunia. Dengan proses perkenalan itu, tidak lagi mengkhawatirkan jika dikemudian hari dia berhasil bertemu dengan sang dunia.
Kelengkapan fasilitas dan keberadaan dosen profesional yang handal, adalah hal wajar dan tak boleh ditawar bagi sebuah lembaga yang mengacungkan diri mampu menjembatani antara mahasiswa dan dunia. Dan bagi sebagian, mungkin inilah model PTI yang selama ini mereka rindukan. Sedang yang bermodal pas-pasan, PTI bagi mereka adalah yang mampu dan mau memahami keuangannya. Di mata mereka fasilitas dan dosen nomor berapa, yang penting bagaimana caranya cepat 'bertemu' dunia. Parahnya, mereka yang tidak mempunyai masalah finansial banyak yang menyepelehkan proses 'perkenalan' itu.
Perguruan tinggi baru berdiri kemarin. Sebelum dia didirikan sudah ada pesantren yang sampai hari ini masih tetap eksis. Tentang apa dan bagaimana sebuah pesantren merancang perjalanan hidupnya, penulis kira kita –khususnya pengelola perguruan tinggi– sangat mengerti hal itu.
Permasalahannya sekarang, sudikah perguruan tinggi berguru pada pesantren? Padahal, sadarkah kita kalau Al-Azhar yang telah menelorkan tokoh-tokoh 'super' pun bermula dari sebuah 'masjid' sederhana? So, libatkan nurani kalian dalam menentukan PTI.