Oleh Alfa RS.
Dari ketiganya, tentu kita dengan mudah memahami betapa pentingnya peran seorang pengajar. Namun kenyataannya, berapakah diantara para santri yang telah siap terjun menekuninya? Semoga tulisan sederhana ini bermanfaat.
Hijrah Nabi
Senin malam kemarin (9/12/2010), penanggalan Hijriah memasuki titik awal. Momen tahun baru Islam tersebut, sarat dengan hikmah dibalik pindahnya Nabi Muhammad dari Mekah ke Madinah.
Secara lebih luas, arti hijrah menurut Syekh Muhammad Ibnu Abdul Wahab adalah kewajiban bagi setiap muslim untuk berpindah dari Negara yang sulit untuk menjalankan syariat Islam ke Negara yang mudah menjalankannya (Negara Islam). Dan masih menurut beliau, kewajiban tersebut masih akan tetap berlaku sampai datangnya hari kiamat.
Beliau menguatkan definisi itu dengan dua ayat. ”Sesungguhnya orang-orang yang diwafatkan malaikat dalam keadaan menganiaya diri sendiri, (kepada mereka).[1] Malaikat bertanya: "Dalam keadaan bagaimana kamu ini?" Mereka menjawab: "Adalah kami orang-orang yang tertindas di negeri (Mekah)". Para malaikat berkata: "Bukankah bumi Allah itu luas, sehingga kamu dapat berhijrah di bumi itu?" Orang-orang itu tempatnya neraka Jahannam, dan Jahannam itu seburuk-buruk tempat kembali. Kecuali mereka yang tertindas baik laki-laki atau wanita ataupun anak-anak yang tidak mampu berdaya upaya dan tidak mengetahui jalan (untuk hijrah). Mereka itu, mudah-mudahan Allah memaafkannya. Dan adalah Allah Maha Pemaaf lagi Maha Pengampun,” QS. An-Nisaa’: 97-99 dan ”Hai hamba-hamba-Ku yang beriman, sesungguhnya bumi-Ku luas, maka sembahlah Aku saja,” QS. Al-‘Ankabuut: 56. [2]
Namun permasalahannya, jika pemahaman Negara Islam kita ketengahkan di bumi kita (Indonesia), maka hal tersebut akan menimbulkan berbagai masalah. Seperti kelompok-kelompok yang belakangan sering mewacanakannya. Maka menurut hemat penulis, arti hijrah seperti diungkapkan Syekh Muhammad Ibnu Abdul Wahab tersebut dipindahkan mejadi; kewajiban bagi setiap muslim (yang memiliki ilmu) untuk berpindah dari daerah yang sudah terorganisir syariat Islamnya, ke daerah yang sama sekali atau juga belum maksimal syiar Islamnya.
Dakwah Bagi Kang Santri
Diakui atau tidak, era platinum yang penuh kemodernan seperti saat ini tidak serta-merta mengasingkan manusia dari ketuhanan. Baik yang percaya tentang keesaan Tuhan, ataupun mereka yang hanya mampu mengakui keberadaan sesuatu yang mengatur dunia seisinya. Hal itu bisa kita buktikan dengan masih seringnya terdengar kabar tentang aliran-aliran baru yang katanya bersumber dari Tuhan. Kenapa demikian?
Satu hal yang harus kita catat di sini, bahwa manusia secara naluriah sebenarnya mengakui keberadaan Tuhan. Sejak dalam rahim sang ibu, ia sudah mengakui bahwa Allah adalah Tuhan yang wajib ia sembah. Sebagaimana terangkum dalam QS. Al A’raaf: 172: ”Dan (ingatlah), ketika Tuhanmu mengeluarkan keturunan anak-anak Adam dari sulbi mereka dan Allah mengambil kesaksian terhadap jiwa mereka (seraya berfirman): “Bukankah Aku ini Tuhanmu?” Mereka menjawab: “Betul (Engkau Tuhan kami), kami menjadi saksi”. (Kami lakukan yang demikian itu) agar di hari kiamat kamu tidak mengatakan: “Sesungguhnya kami (bani Adam) adalah orang-orang yang lengah terhadap ini (keesaan Tuhan).”
Dalam kebingungan mencari Dzat pencipta, sayangnya, banyak yang akhirnya salah jalan. Kesalahan itu ada yang karena ulah sendiri (memang tidak mengakui keesaan Allah) dan ada yang karena kesalahan oknum-oknum yang sengaja menyeret mereka dalam ‘kegelapan’. Nah, di sinilah sangat diharapkan peranan besar para santri dalam artian yang sebenar-benarnya, bukan santri gadungan. Bagaimana ia setelah terjun kemasyarakat mampu menjadi ‘payung’ yang menghantarkan umat ke jalan kebenaran.
Seperti kita ketahui bersama, setiap tahunnya, ribuan orang santri tercatat sebagai tamatan pondok pesantren yang ada di seluruh pelosok negeri. Semestinya, jumlah yang begitu besar dapat dimanfaatkan oleh masyarakat luas. Paling tidak mampu memayungi daerah sekitar dimana dia tinggal.
Jika merenungkan pernyataan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi, Muhaimin Iskandar, dalam sebuah pertemuan, rasanya kenyataan memang berkata lain. Santri-santri salaf ternyata masih enggan –kalau tidak dikatakan takut– untuk menyampaikan pada masyarakat apa-apa yang telah ia peroleh waktu mesantren. Dalam artian, para santri memang masih sangat jauh kwalitas atau himmah dakwahnya jika dibandingkan dengan ‘mereka’. Padahal bukan sebuah rahasia lagi, entah apa jadinya masyakat jika ke depan hanya ‘mereka’ yang kesana-kemari menyerukan kalam-Nya. Mungkin juga Islam ala Ahli Sunnah Waljamaah tidak dapat dinikmati anak cucu kita. Naudubillah!
Untuk menanggulangi hal tersebut, kiranya dalam keseharian akang santri –lebih tepatnya jika hal ini menjadi semacam pelajaran atau masukan di lantai sekolah atau pengajian, ada obrolan atau kajian yang khusus membahas pentingnya menyebarkan apa yang para santri terima di pesantren. Namun secara teknis, hal ini rasanya tidak mungkin akan terjadi. Karena kita tentu sudah tahu, bisa dikatakan, kurikulum pesantren rata-rata sudah baku.
Solusi lain untuk mengatasi problem ini adalah dengan diadakannya kegiatan ekstrakulikuler. Dalam kegiatan itu, panitia bisa mendatangkan seseorang yang memang benar-benar telah merasakan pahit dan manisnya ‘mbabat tanah’. Seperti halnya para pendiri pondok pesantren waktu pertama kali menginjakkan kaki mereka di tanah yang akhirnya didirikan sebuah pesantren binaannya.
Namun kemudian, hal inipun menimbulkan masalah baru. Karena salah satu kebiasaan santri-santri dari dulu adalah, inginnya berleha-leha pada saat liburan. Maka sudah dapat dipastikan, kegiatan tersebut akan sepi peserta. Dan kalau mau jujur, ketika peserta yang hadir banyakpun, kegiatan semacam ini dirasa kurang begitu memberikan kesan. Karena sesuatu yang diajarkan adalah hal yang benar-benar bersentuhan langsung dangan hati.
Walhasil, demi tujuan mulia tersebut, menurut hemat penulis, ada dua hal yang setidaknya bisa dilakukan untuk menjadikan seseorang sebagai pribadi yang tergugah untuk berdakwah.
Pertama, aktif dalam kegiatan yang bersifat kebersamaan. Hal ini bisa diartikan beragam. Baik itu kegiatan yang bersifat keagamaan, diskusi pelajaran, semisal. Atau juga yang bersifat sekedar pengalaman, seperti aktif dalam kepengurusan kelas dan lain sebagainya. Bisa juga yang hanya sekedar kegiatan cangkruan. Dengan aktif diberbagai kegiatan tersebut, seseorang tentu akan mendapati gesekan-gesekan yang tentunya akan menjadi pelajaran berharga ketika dia telah pulang nanti. Berbeda dengan orang yang selalu menyendiri. Ketika suatu saat mendapat problem, gesekan dengan tetangga, semisal, yakinlah (seperti yang diceritakan sebagian lulusan pesantren pada penulis), dia akan sangat kebingungan karena belum terbiasa.
Kedua, ketika mereka (kang santri) telah mendapat kewajiban safari dakwah (karena sepengetahuan penulis, beberapa pesantren ada yang sudah mempunyai kegiatan seperti halnya kuliah kerja nyata [KKN]), hilangkan pandangan bahwa kegiatan tersebut merupakan kewajiban dari pesantren. Nikmatilah kegiatan itu. Buatlah seolah Anda (kang santri) memang benar-benar akan menyampaikan apa-apa yang telah dipelajari selama di pesantren. Dengan begitu, penulis yakin hasilnya akan lebih memuaskan ketimbang hanya untuk menghilangkan kewajiban pesantren.
Terakhir, selamat memupuk himmah berdakwah.
Footnote:
1] Yang dimaksud dengan orang yang menganiaya diri sendiri di sini, ialah orang-orang muslimin Mekah yang tidak mau hijrah bersama Nabi sedangkan mereka sanggup. Mereka ditindas dan dipaksa oleh orang-orang kafir ikut bersama mereka pergi ke perang Badar; akhirnya di antara mereka ada yang terbunuh dalam peperangan itu.
2] Al-Syarh al-Usul al-Tsalatsah, Maktabah Syamilah
”Serulah (manusia) kepada jalan Tuhanmu dengan hikmah (perkataan yang tegas dan benar yang dapat membedakan antara yang hak dan yang bathil) dan pelajaran yang baik dan bantahlah mereka dengan cara yang baik. Sesungguhnya Tuhanmu Dialah yang lebih mengetahui tentang siapa yang tersesat dari jalan-Nya dan dialah yang lebih mengetahuo orang-orang yang mendapat petunjuk,” QS. An-Nahl: 125.
”Barang siapa (muslim yang berakal dan baligh) yang mengetahui kemungkaran, maka hilangkanlah dengan tangannya. Jika tidak mampu, maka dengan lisannya. Apabila tak kuasa, tolaklah dengan hatinya dan hal tersebut adalah selemah-lemahnya iman,” HR. Muslim dari Abu Sa’id Al Khudri ra.
”Kalau sudah di rumah, jangan sampai melalaikan mengajar,” kurang lebih demikian kalimat yang disampaikan para masyayikh.
Dari ketiganya, tentu kita dengan mudah memahami betapa pentingnya peran seorang pengajar. Namun kenyataannya, berapakah diantara para santri yang telah siap terjun menekuninya? Semoga tulisan sederhana ini bermanfaat.
Hijrah Nabi
Senin malam kemarin (9/12/2010), penanggalan Hijriah memasuki titik awal. Momen tahun baru Islam tersebut, sarat dengan hikmah dibalik pindahnya Nabi Muhammad dari Mekah ke Madinah.
Secara lebih luas, arti hijrah menurut Syekh Muhammad Ibnu Abdul Wahab adalah kewajiban bagi setiap muslim untuk berpindah dari Negara yang sulit untuk menjalankan syariat Islam ke Negara yang mudah menjalankannya (Negara Islam). Dan masih menurut beliau, kewajiban tersebut masih akan tetap berlaku sampai datangnya hari kiamat.
Beliau menguatkan definisi itu dengan dua ayat. ”Sesungguhnya orang-orang yang diwafatkan malaikat dalam keadaan menganiaya diri sendiri, (kepada mereka).[1] Malaikat bertanya: "Dalam keadaan bagaimana kamu ini?" Mereka menjawab: "Adalah kami orang-orang yang tertindas di negeri (Mekah)". Para malaikat berkata: "Bukankah bumi Allah itu luas, sehingga kamu dapat berhijrah di bumi itu?" Orang-orang itu tempatnya neraka Jahannam, dan Jahannam itu seburuk-buruk tempat kembali. Kecuali mereka yang tertindas baik laki-laki atau wanita ataupun anak-anak yang tidak mampu berdaya upaya dan tidak mengetahui jalan (untuk hijrah). Mereka itu, mudah-mudahan Allah memaafkannya. Dan adalah Allah Maha Pemaaf lagi Maha Pengampun,” QS. An-Nisaa’: 97-99 dan ”Hai hamba-hamba-Ku yang beriman, sesungguhnya bumi-Ku luas, maka sembahlah Aku saja,” QS. Al-‘Ankabuut: 56. [2]
Namun permasalahannya, jika pemahaman Negara Islam kita ketengahkan di bumi kita (Indonesia), maka hal tersebut akan menimbulkan berbagai masalah. Seperti kelompok-kelompok yang belakangan sering mewacanakannya. Maka menurut hemat penulis, arti hijrah seperti diungkapkan Syekh Muhammad Ibnu Abdul Wahab tersebut dipindahkan mejadi; kewajiban bagi setiap muslim (yang memiliki ilmu) untuk berpindah dari daerah yang sudah terorganisir syariat Islamnya, ke daerah yang sama sekali atau juga belum maksimal syiar Islamnya.
Dakwah Bagi Kang Santri
Diakui atau tidak, era platinum yang penuh kemodernan seperti saat ini tidak serta-merta mengasingkan manusia dari ketuhanan. Baik yang percaya tentang keesaan Tuhan, ataupun mereka yang hanya mampu mengakui keberadaan sesuatu yang mengatur dunia seisinya. Hal itu bisa kita buktikan dengan masih seringnya terdengar kabar tentang aliran-aliran baru yang katanya bersumber dari Tuhan. Kenapa demikian?
Satu hal yang harus kita catat di sini, bahwa manusia secara naluriah sebenarnya mengakui keberadaan Tuhan. Sejak dalam rahim sang ibu, ia sudah mengakui bahwa Allah adalah Tuhan yang wajib ia sembah. Sebagaimana terangkum dalam QS. Al A’raaf: 172: ”Dan (ingatlah), ketika Tuhanmu mengeluarkan keturunan anak-anak Adam dari sulbi mereka dan Allah mengambil kesaksian terhadap jiwa mereka (seraya berfirman): “Bukankah Aku ini Tuhanmu?” Mereka menjawab: “Betul (Engkau Tuhan kami), kami menjadi saksi”. (Kami lakukan yang demikian itu) agar di hari kiamat kamu tidak mengatakan: “Sesungguhnya kami (bani Adam) adalah orang-orang yang lengah terhadap ini (keesaan Tuhan).”
Dalam kebingungan mencari Dzat pencipta, sayangnya, banyak yang akhirnya salah jalan. Kesalahan itu ada yang karena ulah sendiri (memang tidak mengakui keesaan Allah) dan ada yang karena kesalahan oknum-oknum yang sengaja menyeret mereka dalam ‘kegelapan’. Nah, di sinilah sangat diharapkan peranan besar para santri dalam artian yang sebenar-benarnya, bukan santri gadungan. Bagaimana ia setelah terjun kemasyarakat mampu menjadi ‘payung’ yang menghantarkan umat ke jalan kebenaran.
Seperti kita ketahui bersama, setiap tahunnya, ribuan orang santri tercatat sebagai tamatan pondok pesantren yang ada di seluruh pelosok negeri. Semestinya, jumlah yang begitu besar dapat dimanfaatkan oleh masyarakat luas. Paling tidak mampu memayungi daerah sekitar dimana dia tinggal.
Jika merenungkan pernyataan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi, Muhaimin Iskandar, dalam sebuah pertemuan, rasanya kenyataan memang berkata lain. Santri-santri salaf ternyata masih enggan –kalau tidak dikatakan takut– untuk menyampaikan pada masyarakat apa-apa yang telah ia peroleh waktu mesantren. Dalam artian, para santri memang masih sangat jauh kwalitas atau himmah dakwahnya jika dibandingkan dengan ‘mereka’. Padahal bukan sebuah rahasia lagi, entah apa jadinya masyakat jika ke depan hanya ‘mereka’ yang kesana-kemari menyerukan kalam-Nya. Mungkin juga Islam ala Ahli Sunnah Waljamaah tidak dapat dinikmati anak cucu kita. Naudubillah!
Untuk menanggulangi hal tersebut, kiranya dalam keseharian akang santri –lebih tepatnya jika hal ini menjadi semacam pelajaran atau masukan di lantai sekolah atau pengajian, ada obrolan atau kajian yang khusus membahas pentingnya menyebarkan apa yang para santri terima di pesantren. Namun secara teknis, hal ini rasanya tidak mungkin akan terjadi. Karena kita tentu sudah tahu, bisa dikatakan, kurikulum pesantren rata-rata sudah baku.
Solusi lain untuk mengatasi problem ini adalah dengan diadakannya kegiatan ekstrakulikuler. Dalam kegiatan itu, panitia bisa mendatangkan seseorang yang memang benar-benar telah merasakan pahit dan manisnya ‘mbabat tanah’. Seperti halnya para pendiri pondok pesantren waktu pertama kali menginjakkan kaki mereka di tanah yang akhirnya didirikan sebuah pesantren binaannya.
Namun kemudian, hal inipun menimbulkan masalah baru. Karena salah satu kebiasaan santri-santri dari dulu adalah, inginnya berleha-leha pada saat liburan. Maka sudah dapat dipastikan, kegiatan tersebut akan sepi peserta. Dan kalau mau jujur, ketika peserta yang hadir banyakpun, kegiatan semacam ini dirasa kurang begitu memberikan kesan. Karena sesuatu yang diajarkan adalah hal yang benar-benar bersentuhan langsung dangan hati.
Walhasil, demi tujuan mulia tersebut, menurut hemat penulis, ada dua hal yang setidaknya bisa dilakukan untuk menjadikan seseorang sebagai pribadi yang tergugah untuk berdakwah.
Pertama, aktif dalam kegiatan yang bersifat kebersamaan. Hal ini bisa diartikan beragam. Baik itu kegiatan yang bersifat keagamaan, diskusi pelajaran, semisal. Atau juga yang bersifat sekedar pengalaman, seperti aktif dalam kepengurusan kelas dan lain sebagainya. Bisa juga yang hanya sekedar kegiatan cangkruan. Dengan aktif diberbagai kegiatan tersebut, seseorang tentu akan mendapati gesekan-gesekan yang tentunya akan menjadi pelajaran berharga ketika dia telah pulang nanti. Berbeda dengan orang yang selalu menyendiri. Ketika suatu saat mendapat problem, gesekan dengan tetangga, semisal, yakinlah (seperti yang diceritakan sebagian lulusan pesantren pada penulis), dia akan sangat kebingungan karena belum terbiasa.
Kedua, ketika mereka (kang santri) telah mendapat kewajiban safari dakwah (karena sepengetahuan penulis, beberapa pesantren ada yang sudah mempunyai kegiatan seperti halnya kuliah kerja nyata [KKN]), hilangkan pandangan bahwa kegiatan tersebut merupakan kewajiban dari pesantren. Nikmatilah kegiatan itu. Buatlah seolah Anda (kang santri) memang benar-benar akan menyampaikan apa-apa yang telah dipelajari selama di pesantren. Dengan begitu, penulis yakin hasilnya akan lebih memuaskan ketimbang hanya untuk menghilangkan kewajiban pesantren.
Terakhir, selamat memupuk himmah berdakwah.
Footnote:
1] Yang dimaksud dengan orang yang menganiaya diri sendiri di sini, ialah orang-orang muslimin Mekah yang tidak mau hijrah bersama Nabi sedangkan mereka sanggup. Mereka ditindas dan dipaksa oleh orang-orang kafir ikut bersama mereka pergi ke perang Badar; akhirnya di antara mereka ada yang terbunuh dalam peperangan itu.
2] Al-Syarh al-Usul al-Tsalatsah, Maktabah Syamilah